Ketika Kritik Terhadap Penguasa dibungkam Demokrasi

Ketika Kritik Terhadap Penguasa dibungkam Demokrasi
HANA ANNISA AFRILIANI, S.S (PENULIS BUKU DAN AKTIVIS DAKWAH)

Demokrasi mempertontonkan sebuah anomali. Kebebasan berpendapat yang menjadi pilarnya, nyatanya dikhianati sendiri. Indonesia yang mengklaim dirinya sebagai negara demokratis, faktanya tak sepenuhnya menjalankan spirit berdemokrasi. Kebebasan dipasung negara jika dianggap inkonstitusional. Dan parahnya, hal tersebut dilakukan manakala syariat Islam kaffah yang yang disuarakan.

Berbagai kebijakan pun digulirkan demi ‘mengatur’ agar radikalisme tak berkembang biak. Sementara makna radikalisme itu sendiri masih belum jelas arahnya, yang seperti apa. Karena hakikatnya, secara bahasa kata radikalisme bukanlah sesuatu yang negatif.

Iklan Pemkot Baubau

Namun sayang, oleh penguasa hari ini, radikalisme seolah disematkan pada sebuah kejahatan dan ancaman bagi negara sehingga wajib dibumihanguskan. Ironis!Begitulah jika sebuah istilah dijadikan alat untuk memukul lawan.

Hari ini, siapa saja yang menyerukan agar syariat Islam diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara langsung dituding radikal. Menyusul hal tersebut, kritik terhadap penguasa alias muhasabah lil hukam dibungkam. Lewat Surat Keputusan Bersama (SKB) 11 menteri yang telah disahkan 12 November 2019 silam, pemerintah membuat beberapa aturan bagi para ASN. Hal tersebut tidak lain dalam rangka membungkam suara kritis ASN.

Di antara isi SKB 11 Menteri tersebut diantaranya:

1. Penyampaian pendapat baik lisan maupun tulisan dalam format teks, gambar, audio, atau video, melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan Pemerintah.

2. Penyampaian pendapat baik lisan maupun tulisan dalam format teks, gambar, audio, atau video, melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap salah satu suku, agama, ras, dan antar golongan.

3. Penyebarluasan pendapat yang bermuatan ujaran kebencian sebagaimana pada angka 1 dan 2 melalui media sosial (share, broadcast, upload, retweet, repost, dan sejenisnya).

4. Tanggapan atau dukungan sebagai tanda setuju pendapat sebagaimana angka 1 dan 2 dengan memberikan likes, dislike, love, retweet, atau comment di media sosial.

5. Pemberitaan yang menyesatkan baik secara langsung maupun melalui media sosial.

6. Penyebarluasan pemberitaan yang menyesatkan baik secara langsung maupun melalui media sosial.

7. Penyelenggaraan kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah.

8. Keikutsertaan pada organisasi dan/atau kegiatan yang diyakini mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah.

9. Penggunaan atribut yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah.

10. Pelecehan terhadap simbol negara baik secara langsung maupun melalui media sosial.

11. Perbuatan sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai 10 dilakukan secara sadar oleh ASN.

Kesebelas larangan tersebut memotret dengan jelas betapa penguasa begitu paranoid terhadap kebangkitan Islam. Bagaimana tidak, radikalisme yang disematkan kepada Islam, digebuk penguasa sedemikian rupa. Lewat kuasa, suara kebenaran diredam. Ketidaksejalanan dengan penguasa dianggap musuh. Sungguh ironis!

Menciderai Demokrasi

Sungguh, hal tersebut sejatinya menciderai demokrasi yang katanya mengusung kebebasan berpendapat. Kritik terhadap pengusa merupakan bagian dari demokrasi yang katanya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Berarti semestinya aspirasi rakyat dijadikan rujukan utama dalam membuat kebijakan. Tak hanya itu, kritik terhadap penguasa juga semestinya dijamin karena merupakan wujud kepedulian rakyat terhadap jalannya pemerintahan.

Selayaknya prinsip demokrasi yang menjadikan suara rakyat bak suara Tuhan, semestinya apapun yang disuarakan rakyat didengar dan dijadikan bahan pertimbangan. Bukan malah diredam dan dibungkam. Sungguh, prinsip demokrasi pada akhirnya menguap sebatas teori saja. Lantas masih layakkah demokrasi dipertahankan?

Kewajiban Mengoreksi Penguasa

Membunuh kritik sama dengan melanggengkan kezaliman penguasa. Rakyat dipaksa bersikap apatis terhadap segala kondisi yang melilitnya. Lewat berbagai kebijakan, rakyat ditekan. Diancam pidana. Ini jelas sangat berbahaya.

Dalam pandangan Islam, mengoreksi penguasa atau muhasabah lil hukam merupakan sebuah kewajiban yang sangat mulia.

Rasulullah Saw bersabda:

«أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ»

“Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zhalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Nasa’i, al-Hakim dan lainnya)

Islam sangat mendorong setiap Muslim untuk melakukan muhasabah lil hukam. Hal ini semata-mata dalam rangka tetap menjaga iklim ideal di tengah-tengah masyarakat agar tetao berada dalam koridor hukum syara. Ketika penguasa membuat aturan yang menzalimi rakyatnya dan bertentangan dengan syariat, tentu harus dikoreksi, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.

Adapun tolak ukur zalim atau tidaknya penguasa adalah apakah penguasa tersebut menerapkan syariat Islam dalam menjalankan kekuasaannya ataukah tidak. Menjalankan hukum Islam ini diqiyaskan dengan menegakkan salat.

Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-  bersabda:

«سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا»

“Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)”. Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat” Jawab Rasul.”  (HR. Muslim)

Oleh karena itu, setiap Muslim tidak boleh bersikap lemah terhadap segala tekanan yang menghadang kewajiban dari Allah Swt. Sungguh, ada Allah sebaik-baiknya penolong, ada Allah sebaik-baiknya pelindung. Bagaimana pun, kebenaran akan menemukan jalannya. Allahu Akbar!!

HANA ANNISA AFRILIANI, S.S (PENULIS BUKU DAN AKTIVIS DAKWAH)