Menimbang Pariwisata Sebagai Pendongkrak Devisa

Oleh : Depy SW

Ekonomi Terpuruk

Iklan KPU Sultra

Kembang kempis ekonomi Indonesia. Terlebih dengan adanya perang dagang Amerika Serikat-China. Direktur Riset Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Piter Abdullah mengatakan, dampak dari perlambatan ekonomi global yang diakibatkan perang dagang AS – China, menyebabkan harga dan permintaan komoditas yang menjadi andalan ekspor Indonesia semakin tersungkur. (m.liputan6.com. 06/10/2019)

Ketika ekspor terancam, sementara SDA berada dalam cengkeraman asing, maka pemerintah menjadikan sektor pariwisata sebagai bidikan seksi untuk menggenjot devisa negara. Pemerintah memandang bahwa pariwisata berjasa dalam menyokong ekonomi negara, sebagai penyumbang devisa terbesar ketiga setelah sawit dan batu bara.

“Pariwisata perlu didorong karena saat ini menjadi penyumbang devisa terbesar ketiga dan potensinya ke depan sangat besar. (Sektor Pariwisata) secara langsung dapat mengurangi deficit neraca perdagangan, jasa dan pendapatan atau yang disebut defisit transaksi berjalan,” kata Perry Warjiyo, Gubernur BI seperti dilansir TribunJogja.com, 29/08/2018.

Hal senada disampaikan Staf Ahli Menteri PPN Bidang Sinergi Ekonomi dan Pembiayaan, Amalia Adininggar Widya. Menurutnya, pariwisata dianggap sangat potensial untuk menjadi kunci dan solusi dalam menghadapi dampak ekonomi akibat perang dagang yang memanas antara Amerika Serikat dan  China. (monitorday.com/29 Juni 2019).

Dikte Asing

Di balik ambisi pemerintah menjadikan pariwisata sebagai pendongkrak devisa tidak luput dari provokasi World Bank Group. Lembaga kapitalis barat seperti UN WTO (United Nation World Tourism Organizations, IDB (International Development Bank), G-20, UNESCO, ILO (International Labour Organization) dan OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) juga mempunyai andil dalam menebarkan mantra tourism is a key of economic growth. (Muslimahnews.30/12/2018)

Tanpa disadari, sihir lembaga kapitalis barat telah menjerat negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Hal ini bisa dibuktikan dari disetujuinya pinjaman Indonesia kepada Bank Dunia oleh Direktur Eksekutif Bank Dunia sebesar US$300 juta (sekitar Rp. 4,2 triliun) untuk mengembangkan layanan dan infrastruktur dasar pariwisata. Namun, bagi barat, tentu tidak ada makan siang gratis.

Hingar bingarnya pariwisata tanah air, ternyata belum mampu membawa rakyat sejahtera.  Mengapa demikian? Sebuah studi tentang leakage di Thailand memperkirakan bahwa 70% uang yang digunakan oleh para turis akhirnya mengalir ke luar negeri melalui agen wisata luar negeri, hotel, makanan dan minuman yang diimpor, dan sebagainya.

Import leakage terutama dilakukan oleh negara berkembang karena negara bersangkutan tidak memiliki industri untuk menyediakan kebutuhan turis asing. Demikian juga export leakage. Terjadi karena pengambilan keuntungan oleh investor asing yang bergerak di bidang jasa pariwisata. Jadi, dari 100 USD yang digunakan turis untuk berwisata di negara berkembang, hanya sekitar 5 USD saja yang benar-benar dapat dimanfaatkan oleh negara bersangkutan. (youthproactive.com. 19/05/2016)

Belum  lagi dampak yang lainnya. Kedatangan turis plus life style mereka, memberikan pengaruh yang cukup signifikan terutama bagi masyarakat di lingkungan wisata. Cara berpakaian, makanan maupun minuman, interaksi/pergaulan. Bisa jadi penduduk lokal pun terseret budaya mereka yang cenderung permisif. Kerusakan aqidah pun menjadi sebuah keniscayaan. Hal ini dikarenakan banyak tempat wisata yang justru menjadikan ritual berbau syirik sebagai pemikat wisatawan. Belum lagi kerusakan lingkungan dan menjamurnya prostitusi demi memberikan pelayanan prima bagi wisatawan yang membutuhkan.

Nampaknya pemerintah perlu mempertimbangkan lagi dalam menjadikan pariwisata sebagai pendongkrak devisa. Mantra tourism is a key of economic growth seolah ingin mengalihkan perhatian Indonesia dari pemanfaatan SDA sebagai sektor strategis pendongkrak devisa. Alhasil, kapitalisasi SDA akan terus berlanjut.

Islam dan Pariwisata

Allah Ta’ala berfirman dalam QS. Thaha : 124-126 yang artinya :

“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” Berkatalah ia: “Yaa Rabbku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya seorang yang melihat”. Allah berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini pun kamu dilupakan”

Ayat di atas cukup menjadi peringatan bagi kita. Jebakan hutang, penjajahan, kemiskinan dan aneka macam masalah sosial adalah akibat berpaling dari syari’ah Allah.

Padahal Allah telah menyempurnakan Islam, sebagaimana Firman-Nya dalam QS. Al Maidah ayat 3. Islam tidak hanya mengatur masalah individu, namun juga bagaimana mengatur sebuah negara. Termasuk mengatur sistem ekonomi, sehingga rakyat bisa sejahtera. Yaitu, dengan mengelola sumber-sumber pemasukan negara beserta pemanfaatannya. Sumber-sumber tersebut antara lain : fa’i (QS. 59 :7), zakat (QS. 2 : 43), kharaj, ghonimah (QS. 8 :41), jizyah (QS. 9 : 29), wakaf (QS. 3: 92), . Pengelolaan SDA pun wajib dilakukan oleh negara.

Hampir 13 abad sistem tersebut diterapkan dalam naungan sebuah institusi negara. Dan sejarah pun mencatat bahwa kesejahteraan hadir di tengah-tengah umat, baik muslim maupun kafir. Negara tidak membebani rakyat dengan aneka macam kenaikan harga dan pajak untuk mendongkrak devisa. Terlebih, dengan strategi pendongkrak ekonomi yang sebenarnya merugikan negara dan menguntungkan asing. Wallahu a’lam.