Penghujung tahun 2019, ada banyak peristiwa yang terjadi. Sebut saja kejadian memilukan dari Etnis Uighur di Cina. Beberapa waktu lalu menjadi buah bibir, termasuk di Indonesia sebagai negeri dengan mayoritas muslim terbanyak.
Menimpali krisis kemanusiaan atas diskriminasi yang dilakukan pemerintah Cina kepada muslim minoritas di Xinjiang, Mahfud MD selaku Menkopolhukam dalam pernyatannya menyikapi hal ini. “Itu Bu Menlu sudah melakukan langkah-langkah ya. Kita punya jalan diplomasi lunak sejak dulu, kita menjadi penengah dan mencari jalan yang baik, bukan konfrontatif gitu ya. Oleh sebab itu, nanti Bu Menlu sudah bukan menyiapkan karena kasus lama ya. Kita sudah sering,” sahutnya di Gembir, Jakarta, Kamis (19/12/2019) tirto.id.
Pihaknya memberikan penegasan bahwa telah mengambil langkah-langkah diplomasi lunak ini dalam penyelesaian pelanggaran HAM kepada muslim di Xinjiang dan mengatakan Kementerian Luar Negeri sudah merespon isu tersebut.
Diplomasi Lunak +62: Empati atau Alibi?
Bukan lagi dugaan, namun kenyataan bahwa telah terjadi diskriminasi di atas label reedukasi dengan tujuan agar etnis tersebut tidak menjadi kaum separatis. Namun, benarkah demikian? Atau ini hanya alasan untuk menutupi fakta tertentu?
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Komunis Cina disinyalir telah menahan satu juta atau lebih etnis Uighur dan minoritas lain di kamp-kamp interniran tersebut (hidayatullah.com, 19/12/2019). Sejak dokumen rahasia berisi informasi soal kamp-kamp penahanan massal Uighur dan minoritas muslim lainnya bocor ke publik, pemerintah lokal Cina sibuk menghapus data dan menghancurkannya, menurut empat orang yang berhubungan di sana (Kantor berita Independent, Ahad, 15/12/2019).
Menelaah lebih jauh terkait fakta ini, maka tentulah hal tersebut akan menuai respon dan reaksi utamanya kalangan muslim itu sendiri. Berbicara soal kemanusiaan, maka siapa saja akan tergerak untuk empati bahkan melakukan pembelaan. Termasuk dorongan mayoritas muslim kepada pemerintah Indonesia untuk melakukan tindakan menghentikan diskriminasi yang menimpa Uighur.
Namun, “sayang seribu sayang” pemerintah Indonesia menampakkan sikap tidak bisa berbuat lebih banyak. Respon yang dilakukan malah memangkas reaksi dari masyarakat yang menyerukan aspirasinya agar pemerintah dengan kekuatannya melakukan tindakan, untuk orientasi pembebasan saudara muslim di Xinjiang, tidak cukup pula hanya mendoakan. Justeru hanya menawarkan diplomasi lunak dengan dalih tidak mencampuri urusan dalam negeri Negara lain dan menjadi penengah. Ini empati atau alibi?.
Diplomasi lunak dapat diartikan sebagai bentuk penyelenggaraan hubungan resmi antara satu Negara dengan Negara lainnya dengan cara yang lunak. Negara yang berdiplomasi ini harus melunak atau tidak cepat marah bahkan bersabar dengan kondisi yang terjadi. Sehingga jelas saja, bahwa ini hanyalah alibi pemerintah Indonesia yang tidak benar-benar serius merespon perihal yang menimpa saudara muslim.
Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa Indonesia telah menjalani hubungan mesra dengan rezim Komunis Cina yakni kerjasama militer. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto telah mengakhiri kunjungan ke Republik Rakyat Cina (RRC) (Rabu, 18/12/2019). Dalam pertemuan ini Menhan Prabowo Subianto menyampaikan keinginan Indonesia memperdalam hubungan persahabatan dengan Tiongkok. Disebutkan KBRI Beijing, di bidang pertahanan dan militer hal ini dilaksanakan dengan penguatan dialog dan kerjasama kedua pihak, serta dalam menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan (RMOL.co, Kamis. 19/12/2019).
Ini adalah penghianatan terhadap kaum muslimin. Hal yang seharusnya dilakukan adalah mengerahkan pasukan militer dari negeri kaum muslimin untuk membantu, bukan malah memperdalam luka kaum muslimin. Dan membuktikan peran pemerintah hanya setengah hati.
Kemana Perisai Kaum Muslimin?
Inilah akibat dari diterapkannya aturan kehidupan sekular yang memisahkan agama dalam kehidupan. Orientasi liberal yang mengusung ide nation state (nasionalisme) ini pula yang menjadikan kaum muslim satu dengan lainnya seolah-olah tidak lagi bersaudara dan yang nampak adalah terputusnya ukhuwah.
Padahal dalam pandangan islam, Rasul Saw. pernah bersabda, “Seorang muslim itu saudara bagi muslim yang lainnya. Tidak boleh menzalimnya dan tidak boleh pula menyerahkan kepada orang yang hendak menyakitinya. Barangsiapa yang memperhatikan kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memperhatikan kebutuhannya. Barangsiapa yang melapangkan kesulitan seorang muslim, niscaya Allah akan melapangkan kesulitan-kesulitannya di hari kiamat.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan at Tirmidzi dari Abdullah bin ‘Umar ra).
Sudah menjadi kewajiban seorang muslim untuk menjaga dan melindungi saudaranya sesama muslim. Dan hal ini menjadi tugas yang lebih utama bagi pemimpin negeri-negeri kaum muslimin. Namun, ketiadaan al Junnah (Pelindung) yaitu Khilafah Islam menjadikan negara-negara kafir dengan leluasa menginjak-injak kaum Muslimin. Lihatlah saudara-saudara muslim Uyghur, Palestina, India, dan lainnya. Hingga kini, mereka berjuang sendiri untuk mempertahankan akidah mereka.
Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya al-imam (Khalifah) itu (laksana) perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. Jika seorang imam (Khalifah) memerintahkan supaya takwa kepada Allah ’azza wajalla dan berlaku adil, maka dia (Khalifah) mendapatkan pahala karenanya, dan jika dia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad).
Oleh karena itu, kebutuhan akan Khilafah bukan isapan jempol belaka. Benarlah jika dikatakan hanya Khilafah yang mampu membebaskan Uyghur dengan jihad fii sabilillah. Serta hanya Khilafah yang akan menghukum setiap negara yang telah menumpahkan darah, mengambil nyawa, dan mengeruk kekayaan alam negeri kaum Muslim. Wallahua’lam bishwab.
Oleh : Nurhidayat Syamsir (Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan)