Defisit Generasi Akibat Narkoba

Defisit Generasi Akibat Narkoba
Ilustrasi, berbagai obat-obatan jenis Narkoba (FOTO : INT)

Badan Pusat Statistik (BPS) telah memperkirakanIndonesia akan menikmati era bonus demografi pada tahun 2020-2035. Pada masa tersebut, jumlah penduduk usia produktif diproyeksi berada pada grafik tertinggi sepanjang sejarah. Era bonus demografi itu juga ditandai dengan dominasi jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) atas jumlah penduduk tidak produktif (usia 0-14 tahun dan 65+).Sayangnya bonus demografi yang didominasi oleh usia produktif alias generasi muda ini menjadi tantangan tersendiri untuk negeri ini.

Bagaimana tidak, fakta menunjukkan bahwa para generasi muda di negeri ini justru menjadi pecandu narkoba. Terbukti, pada tahun 2019 lalu Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komisaris Jenderal Polisi Heru Winarko menyebut, penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja makin meningkat. Di mana ada peningkatan sebesar 24 hingga 28 persen remaja yang menggunakan narkotika. ( bnn.go.id, 12/8/2019)

Iklan KPU Sultra

Barang haram ini tidak saja menyasar pemuda di ibukota, melainkan juga telah merambah ke berbagai wilayah, salah satunya di Sulawesi Tenggara. POLDA Sultra mengeluarkan laporan tahunan tentang penanganan kasus selama tahun 2019 di Sulawesi Tenggara. Kamis (2/1/2020). Deretan angka yang memprihatinkan disampaikan oleh aparat kepolisian. Salah satunya jumlah kasus narkoba sepanjang 2019 yang mencapai 231 kasus dengan 293 tersangka. Dari angka itu, ada yang lebih menyedihkan lagi, tersangka kasus narkobadidominasi usia 21-29 tahun sebanyak 202 kasus. ( DetikSultra.com, 3/1/2020 )

Lantas, bagaimanakita akan menghadapi bonus demografi yang kian meningkat, jika  kondisi generasi kita saja pesakitan narkoba?

Seolah tak ada matinya, kasus narkoba terus bermunculan. Mengapa? Karena ada rantai permintaan yang tiada putus dari para pecandunya.Sebab narkoba tidak akan semarak sekarang jika saja tidak ada lagi yang menginginkannya.

Inilah yang menjadi pertanyaan yang senantiasa terlintas dalam benak kita. Kasus narkoba masih terus bermunculan bahkan menyasar generasi muda negeri ini.

Bisnis jutaan dolar narkoba memang begitu menggiurkan, apalagi mendapat pasokan oksigen penuh dari ekonomi kapitalis demokrasi Barat yang sedang diterapkan di negeri tercinta ini. Inilah sesungguhnya yang menjadi conveyorbelt dari merajalelanya gembong bisnis narkoba. Sistem kapitalisme menjadikan ekonomi sulit sedang iming-iming keuntungan besar tersaji dalam bisnis haram ini. Sehingga menjadi wajar jika Indonesia menjadi pasar besar bagi para bandar narkoba, baik dalam dan luar negeri. Bisnis ini dijadikan sebagai pilihan agar mendapat keuntungan berlipat.

Kepopuleran narkoba pun kian menjadi sebab sistem demokrasi mempromosikan nilai-nilai kebebasan yang akut.Masyarakat termasuk pemuda akhirnya terkondisikan hidup tanpa aturan dari Sang pencipta. Sehingga lahirlah generasi yang rusak mentalnya, mudah stres dan berputus asa, kosong spiritual, gagal mendefinisikan realitas kehidupan serta tidak memiliki tujuan hidup. Walhasil mereka pun rentan terpikat dengan gaya hidup hedonis dan pragmatis serta mudah terperangkap dalam kubangan kriminalitas.

Inilah pula yang melanda generasi di negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat dengan gaya hidup hedonis dan permisifnya. Terbukti, narkoba menjadi camilan harian yang tidak terelakkan. AS adalah negara dengan prevalensi tinggi dari kecanduan narkoba. Bahkan berdasarkan data yang dihimpun, banyak kematian dini yang terjadi akibat penggunaan narkoba. Lebih dari 350.000 meninggal karena gangguan penggunaan narkoba pada tahun 2017 yang dimana jumlah kematian terbesar membunuh para pemuda.(https://ourworldindata.org/drug-use). Maka wajar bila Dr. Mohd. Kamal Hassan, seorang profesor Malaysia menyebutnya Syndrom Budaya Chicago, yaitu sindrom dari peradaban Barat dengan gejala ” mencapai kemajuan ekonomi namun mengalami kerusakan peradaban”.

Apalagi hukuman yang dijatuhkan dalam kasus narkoba di sistem saat ini tidak memberikan efek jera. Terbukti, sejumlah terpidana narkoba justru menikmati perlakukan istimewa di dalam rutan. Bahkan di lansir dari detik.com(11/04/2019), Amnesty International Indonesia mengatakan eksekusi mati tidak efektif untuk menekan angka kejahatan narkoba karena kasusnya justru meningkat setiap tahun sejak diberlakukannya. Pemerintahan Jokowi pun disebut inkonsisten dalam isu hukuman mati tersebut. Para terpidana yang dijatuhi hukuman mati tidak kunjung dieksekusi, malah masih terus mengendalikan bisnis narkoba dari balik jeruji.

Dari sini kita bisa mengatakan bahwa jangankan hukuman yang diberikan membuat efek jera para bandar yang masih berkeliaran di luaran sana, mereka yang sudah dihukum pun ternyata tidak kunjung jera. Sehingga keinginan menjadikan Indonesia bebas narkoba, adalah bak jauh panggang dari api. Karena apa yang dilakukan seperti menegakkan benang basah.

Menyitir perkataan KH. Shiddiq Al Jawi dalam tulisannya yang berjudul “Hukum Seputar narkoba dalam Fiqh Islam”, dalam khazanah fiqh kontemporer, narkoba disebut sebagai “almukhaddirat”.Dikategorikan dalam fiqh kontemporer karena narkoba adalah masalah baru, yang belum ada masa imam-imam mazhab yang empat. Meskipun perkara baru, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang keharamannya. Menurut beliau, narkoba diharamkan karena dua faktor:

Pertama, ada nas yang mengharamkan narkoba, yakni hadis dari Ummu Salamah RA bahwa Rasulullah SAW telah melarang dari segala sesuatu yang memabukkan (muskir) dan melemahkan (mufattir). (HR Ahmad, Abu Dawud No. 3686). Yang dimaksud mufattir (tranquilizer), adalah zat yang menimbulkan rasa tenang atau rileks (istirkha`) dan malas (tatsaqul) pada tubuh manusia. (RawwasQal’ahjie, Mu’jamLughah Al Fuqoha`, hlm. 342).Kedua,karena menimbulkan bahaya (dharar) bagi manusia. Dalam fiqh, dikenal kaidah “Al ashlufialmadhaarattahrim” (hukum asal benda yang berbahaya [mudharat] adalah haram).

Berdasarkan keharaman ini, maka Islam akan mencegah dan memberantas narkoba, yakni dengan cara, Pertama: meningkatkan ketakwaan setiap individu masyarakat kepada Allah. Ketakwaan setiap individu masyarakat akan menjadi kontrol bagi masing-masing sehingga mereka akan tercegah untuk mengonsumsi, mengedarkan apalagi memproduksi narkoba.Kedua: menegakkan sistem hukum pidana Islam dan konsisten menerapkannya. Sistem pidana Islam, selain bernuansa ruhiahkarena bersumber dari Allah SWT,juga mengandung hukuman yang berat. Pengguna narkoba dapat dipenjara sampai 15 tahun atau dikenakan denda yang besarnya diserahkan kepada qâdhi (hakim) (al-Maliki, Nizhâmal-‘Uqûbât, hlm. 189).

Jika pengguna saja dihukum berat, apalagi yang mengedarkan atau bahkan memproduksinya; mereka bisa dijatuhi hukuman mati sesuai dengan keputusan qâdhi(hakim) karena termasuk dalam bab ta’zîr.

Ketiga:merekrut aparat penegak hukum yang bertakwa. Dengan sistem hukum pidana Islam yang tegas, yang notabene bersumber dari Allah SWT, serta aparat penegak hukum yang bertakwa, hukum tidak akan dijualbelikan. Mafia peradilan—sebagaimana marak terjadi dalam peradilan sekuler saat ini—kemungkinan kecil terjadi dalam sistem pidana Islam. Ini karena tatkala menjalankan sistem pidana Islam, aparat penegak hukum yang bertakwa sadar betul, bahwa mereka sedang menegakkan hukum Allah, yang akan mendatangkan pahala jika mereka amanah dan akan mendatangkan dosa jika mereka menyimpang atau berkhianat.

Islam merupakan ad-diin pembawa rahmat yang mampu menyelesaikan berbagai problematika kehidupan kita. Seperti perkataan Sayyid Quthb, “ Islam melenyapkan kebiasaan yang telah mengakar di masyarakat jahiliah hanya dengan beberapa lembar ayat Al-Qur’an”.

Namun, solusi paripurna yang dimiliki Islam hanya akan bisa terwujud jika negara kita mengadopsi sistem pemerintahan Islam dalam bingkai khilafah.Masyarakat termasuk pemuda akan terbebas dari zat haram bernama narkoba. Hidupnya pun kian terarah sesuai dengan tujuan mereka diciptakan. Tumbuh menjadi generasi berkualitas imannya dan taat pada Robb-nya. WallahuA’lam Bissawab

Oleh Fitriani S.Pd