Pilkada 2020 Kental dengan Kepentingan Pebisnis Tambang (Buton Pos, edisi selasa, 31/12/19. Rubrik Suara Sultra). Senada dengan pernyataan ini, Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Sulawesi Tenggara (Sultra), Hamiruddin mengatakan, pihaknya mencium aroma kental campur tangan untuk mendukung salah satu pasangan calon (salon) yang akan maju dalam pemilihan Kepala daerah (Pilkada) serentak 2020 (beritakotakendari.com, 27/12/2019)
“Daerah tambang seperti Konsel Selatan (Konsel), Konawe Kepulauan (Konkep), Kolaka Timur (Koltim), Kolaka Utara (Kolut) itu potensi adanya pebisnis tambang yang ikut mendorong calon tertentu besar kemungkinannya,” ujar Hamiruddin, kamis (26/12).
Dalam hal ini, sambung Hamiruddin, jika ada keterlibatan pebisnis tambang, maka ada transaksi yang dijalankan.” Tidak ada hal lain, selain sokongan uang yang diberikan pebisnis tambang ke pasangan calon (paslon) yang didukungnya.”katanya.
Demokrasi Mahal, Berpihak Kepada Rakyat, Hanyalah Slogan Kosong
Sudah bukan rahasia lagi jabatan dalam sistem demokrasi sering diperoleh dengan pengorbanan modal yang tidak sedikit. Laporan Direktorat Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berjudul Studi Potensi Benturan Kepentingan Dalam Pandanaan Pilkada 2015 menyebutkan ongkos walikota atau bupati mencapai Rp 20-30 miliar, sementara untuk gubernur Rp 20-100 miliar. disatu sisi, masih menurut media yang sama, di tahun tersebut harta kekayaan calon kepala daerah rata-rata hanya Rp 6,7 miliar (Tirto.id, 2/4/2018).
Adanya jurang yang lebar antara ongkos dan jumlah kekayaan membuat siapa pun yang hendak mencalonkan diri bakal berpikir keras untuk mendapatkan uang. Tentu saja sistem politik mahal seperti ini pun secara tidak langsung hampir bisa dipastikan yang berkuasa adalah para pemilik modal. Mereka bisa mencalonkan langsung atau menjadi penyokong dana kontestan pilkada.
Akibatnya, pemimpin tidak berdaya di hadapan orang-orang yang sudah membiayai aktivitas politiknya untuk meraih kekuasaan. Sebagai timbal baliknya, jika nanti berkuasa mereka yang telah memodali yang kemudian mengontrol para politisi, bukan hanya menjadi mitra dalam berbagai proyek, termasuk dalam membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan pemilik modal.
Jadi tidak heran banyak pemimpin kita memiliki harta kekayaan fantastis jumlahnya karena kedekatannya dengan para pemiliki modal dengan memberi kemudahan pada pemodal untuk menguasai kekayaan milik umat.
Pada akhirnya, dalam demokrasi berpihak kepada rakyat hanyalah slogan kosong tanpa bukti nyata. Siapapun yang terpilih rakyat tetap akan menjadi pihak yang dirugikan. Rakyat tetap berada di pihak yang kalah, menanggung resiko akibat praktik eksploitatif. Sedangkan pebisnis tambang, berikut elite politik terkait tetap menang, melanjutkan ekstraksi untuk kepentingan diri dan kelompok mereka para kapital.
Tidak ada Solusi Lain, Selain Kembali Kepada Islam
Hal yang sangat kontras dengan demokrasi, Islam memiliki pengaturan yang khas yang sama sekali berbeda dengan demokrai. Sistem politik Islam mampu memangkas berbagai keunikan dan kejahatan yang ada dalam sistem demokrasi.
Sistem politik islam bisa disebut sistem politik yang bisa memangkas biaya politik yang mahal. Misalnya pada pemilihan khalifah (kepala Negara) dalam system khilafah tidak bersifat regular seperti lima tahun sekali yang menyedot biaya yang sangat mahal. Khalifah tetap sebagai kepala Negara selama tidak melanggar syariah Islam. Kepala daerah pun dipilih oleh khalifah, jadi Negara tidak disibukkan oleh Pilkada rutin yang menguras energi. dan tentu saja uang.
Namun demikian, khalifah tidak akan menjadi diktator. Pasalnya dalam Islam mengoreksi khalifah yang menyimpang bukan hanya hak tetapi kewajiban rakyat. Karena itu rakyat diberikan ruang untuk mengoreksi kebijakan khalifah yang keliru.
Implikasi positif lainnya dalam sistem politik Islam, dominasi pemilik modal dalam pembuatan kebijakan yang berbahaya pun akan dipangkas habis. Pasalnya, dalam islam kedaulatan itu ada di tangan hukum syariah, bukan manusia. Karena itu, pemilik modal yang punya banyak kepentingan yang tendensius tidak bisa membuat atau mempengaruhi hukum seperti dalam sistem demokrasi. Dalam islam, sumber hukumnya sudah jelas, yaitu Al-Quran dan As-Sunah.
Dengan demikian, sudah seharusnya umat mencampakkan demokrasi dan kembali kepada islam sebagai pengaturan di tengah-tengah system kehidupan.
Wallahu ‘alam bi ash-shawwab.
Oleh : Wa Ode Asnalita