PENGENTASAN KEMISKINAN CUMA LAMUNAN

Oleh: Sri Purwanti, Penulis di Komunitas Muslimah Rindu Surga

Angka kemiskinan nasional per September 2019 yang baru saja dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada 15 Januari lalu telah mencapai angka 9,22%. Persentase ini menurun sebesar 0,19% poin dari kondisi Maret 2019 dan 0,44% poin dari kondisi September 2018. Jika dilihat dari jumlahnya pada September 2019 masih terdapat 24,79 juta orang miskin di Indonesia. Sementara itu, persentase penduduk miskin di daerah perkotaan turun menjadi 6,56% dan menjadi 12,60 % untuk daerah pedesaan. (detikcom, 29/01)

Iklan Pemkot Baubau

Kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan, bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.

Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di bawah suatu batas yang disebut garis kemiskinan.

Bank Dunia merilis laporan bertajuk Aspiring Indonesia Expanding the Middle Income Class pada akhir pekan lalu (30/1). Dalam riset itu 115 juta masyarakat Indonesia dinilai rentan miskin.

Tingkat kemiskinan di Indonesia saat ini di bawah 10% dari total penduduk. Rata-rata pertumbuhan ekonomi pun diprediksi 5,6% pertahun selama 50 tahun kedepan. Namun, 115 juta orang atau 45% penduduk Indonesia belum mencapai pendapatan yang aman. Alhasil, mereka rentan kembali miskin.

Pengentasan kemiskinan secara total ibarat lamunan di era ini. Mengapa tidak? Kenaikan harga serta pencabutan subsidi pada barang pokok seperti bensin dan gas elpiji, sulitnya mendapat pekerjaan serta mahalnya akses pendidikan seolah menjadi bukti bahwa masyarakat cenderung dimiskinkan secara sistemik. Bahkan tingginya harga jaminan kesehatan semakin mengukuhkan bahwa sistem kapitalistik saat ini tak berpihak pada rakyat berpenghasilan pas-pasan.

Pada sistem ekonomi kapitalis neo-liberalis yang erat dengan korporatokrasi membuat hanya segelintir golongan pengusaha penguasa yang mendapatkan untung. Sementara rakyat dibiarkan bingung. Sistem inilah yang telah membuat kekayaan milik rakyat dikuasai dan dinikmati oleh segelintir orang sehingga menciptakan kemiskinan dan kesenjangan sosial.

Sekilas, angka kemiskinan negeri nampak turun. Padahal Direktur Eksekutif Indef, Eni Sri Hartati dikutip dari cnnindonesia.com (31/1) menyatakan bahwa turunnya angka tersebut akibat digelontorkannya dana bantuan sosial pemerintah pada rakyat miskin. Setelah dana habis, status mereka kembali menjadi rentan miskin.

Dalam Islam, kemiskinan tidak dinilai dari besar pengeluaran atau pendapatan. Tetapi dari pemenuhan kebutuhan pokok secara perorangan.

Kebutuhan pokok ini mencakup sandang, pangan,  tempat tinggal, kesehatan dan pendidikan secara layak. Jika seseorang mampu memenuhi kebutuhan pokoknya maka ia tidak dikatakan miskin.

Secara individual, Allah SWT memerintahkan setiap muslim yang mampu untuk bekerja mencari nafkah untuk dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungannya. Secara kolektif Allah SWT memerintahkan kaum muslim untuk saling memperhatikan saudaranya yang kekurangan dan membutuhkan pertolongan. Sehingga kaum muslimin yang mampu yang hartanya sudah sampai 1 haul dan 1 nisab wajib mengeluarkan zakat harta (maal) sebesar 2,5 persen.

Selain itu, Allah SWT memerintahkan penguasa untuk bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyatnya, termasuk menjamin kebutuhan pokok mereka. Bahkan pendidikan dan kesehatan dianggap sebagai tanggung jawab pemerintah sehingga rantai kemiskinan bisa terputus.

Oleh karena itu, mengapa kita sebagai kaum muslimin lebih ridha hidup di tengah iklim kapitalisme seperti ini? Sudah saatnya kita mencampakkan sistem selain Islam yang telah terbukti mendatangkan musibah demi musibah kepada kita. Sudah saatnya kita kembali pada Syari’ah Islam yang berasal dari Allah SWT.

Hanya Islamlah yang bisa menjamin keberkahan hidup manusia. Syari’ah Islam akan menjadi rahmat bagi kita semua. Lebih dari itu, penerapan Syari’ah Islam secara menyeluruh dalam seluruh aspek kehidupan adalah wujud ketakwaan yang hakiki kepada Allah SWT. Sehingga pengentasan kemiskinan bisa dikabulkan dan tak lagi menjadi lamunan.

Wallahu’alam bish shawab