Nasib RTRW di Era Kapitalis

Oleh Ummilia

Ibu Rumah Tangga, Cileunyi Kabupaten Bandung

Iklan KPU Sultra

Mencegah terjadinya alih fungsi lahan, tersirat dalam undang-undang nomor 26 tahun 2007, tentang penataan ruang. Disebutkan salah satu azas penataan ruang adalah keberlanjutan. Selain keberlanjutan, azas lainnya adalah keterpaduan, keserasian, keselarasan, dan keseimbangan, keberdayagunaan dan keberhasilgunaan, keterbukaan, kebersamaan dan kemitraan, perlindungan kepentingan umum, kepastian hukum dan keadilan, dan akuntabilitas.

Sungguh bagus dan sangat ideal apa yang menjadi azas undang-undang ini. Sayangnya, undang-undang ini buatan manusia, sehingga tidak ada rasa bersalah sama sekali ketika orang melanggarnya. Dan ironisnya yang melanggar itu, pemerintah sendiri yang semestinya merekalah pihak pelaksana undang-undang (eksekutif). Hal ini semakin membuktikan ungkapan, undang-undang atau aturan dibuat untuk dilanggar.

Demikian seperti yang dikatakan Konsultan Tata Ruang, lulusan Akademi Teknik Pekerjaan Umum (ATPU), Karyono, BAE, di Baleendah Kabupaten Bandung. Beliau mengatakan, komitmen untuk melaksanakan rencana tata ruang sering digoyahkan oleh kepentingan-kepentingan ekonomi, karena daerah-daerah tersebut belum membuat Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang di dalamnya harus menetapkan alokasi lahan untuk pertanian pangan. Kebijakan pemda lebih berorientasi pada kebijakan ekonomi dan industri yang menyampingkan industri pangan.

Sementara untuk kasus alih fungsi lahan pertanian, lanjut Karyono, insentif yang diberikan kepada petani sawah sangat kurang. Sehingga mendorong petani untuk mengalihkan lahannya untuk penggunaan lain yang menjanjikan keuntungan ekonomi yang tinggi. “Alih fungsi lahan sebagai salah satu akibat dari dilanggarnya rencana tata ruang yang merupakan hal yang alamiah terjadi karena sifat manusia yang ingin mengejar keuntungan ekonomi,” ujarnya. (dara.co.id, 22/1/2020)

Sejatinya, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dibuat untuk dijadikan cetak biru pembangunan suatu wilayah. Penyusunannya melibatkan orang-orang independen terhadap wilayah tersebut. Mereka setidaknya terdiri dari ahli perencana wilayah, sosial budaya, ekonomi, arsitektur, ahli sipil, lingkungan, antropologi dan kelembagaan. Dengan tinjauan multi disiplin tersebut, dokumen perencanaan wilayah itu diharapkan dapat mengakomodasi berbagai kepentingan seperti kebutuhan area pembangunan, sarana perekonomian tanpa mengabaikan unsur  kearifan lokal dan permasalahan lingkungan. Akibatnya, penyusunan RTRW menjadi sangat mahal. Tujuannya agar RTRW tersebut memiliki dasar hukum untuk dipedomani oleh setiap instansi yang berkepentingan. Dokumen tersebut didukung dengan peraturan daerah, yang antara lain mengatur sanksi-sanksi jika ada pihak yang melanggar dokumen tersebut.

Namun kenyataannya, RTRW sepertinya belum dimengerti atau pura-pura tidak dimengerti pemanfaatannya, sehingga RTRW dan perkembangan wilayah berjalan sendiri-sendiri. Hal ini sering diperparah oleh instansi teknis daerah yang tidak peduli dengan dokumen tersebut. Sangat disayangkan,  dokumen yang dibuat dengan mahal itu hanya menjadi hiasan di kantor bupati dan bappeda saja. Seolah-olah dibuat untuk dilanggar.

Masalah RTRW, alih fungsi lahan dan kelestarian lingkungan itu akar masalahnya adalah sistem demokrasi yang menjadi pilar pokok ideologi kapitalis. Dalam sistem demokrasi atas nama kedaulatan rakyat, hak membuat undang-undang dan peraturan diserahkan kepada wakil rakyat yang diklaim mewakili suara rakyat. Manusia, termasuk para wakil rakyat dalam sistem politik demokrasi, tentu saja selalu dipengaruhi oleh kepentingan baik pribadi, kelompok ataupun partai. Karenanya, dalam sistem demokrasi, UU dan peraturan itu lahir dari kompromi berbagai kepentingan yang diusung oleh para wakil rakyat. Itu artinya, UU dan peraturan langsung atau tidak akan selalu menjadi obyek tawar menawar dan barang dagangan para wakil rakyat.

Sistem politik demokrasi tak ubahnya industri politik. Diperlukan modal besar untuk membiayai proses politik. Proses politik yang mahal membuat para pejabat dan politisi mencari cukong untuk mendanai operasi politik mereka. Mereka hanya menjadi kacung para pemegang uang, tak peduli majikannya asing atau dalam negeri. Maka jadilah UU dan peraturan lebih banyak mengadopsi kepentingan para cukong itu daripada kepentingan rakyat. Dan di lapangan sering kali UU dan peraturan itu dilanggar oleh para pejabat, jika tidak sejalan dengan kepentingan para pemilik modal.

Lahirnya UU dan peraturan yang lebih mengabdi kepada modal dan merugikan rakyat itu akan terus berlanjut selama sistem demokrasi tetap dipakai. Karenanya, untuk menghentikan semua itu sistem kapitalisme termasuk demokrasi harus segera ditinggalkan.

Tidak ada jalan lain, agar hukum berpihak kepada rakyat sekaligus mampu menyelesaikan berbagai persoalan manusia, kita harus kembali kepada syariah Islam secara utuh. Berdasarkan syariah Islam, hak membuat hukum hanyalah menjadi milik syara’. Bukan dimiliki oleh manusia baik rakyat, wakil rakyat maupun penguasa. Hal ini akan menutup berbagai kepentingan hawa nafsu manusia di dalamnya. Dengan itu, hukum tidak akan menjadi obyek tawar menawar kepentingan dan tidak menjadi bahan dagangan segelintir orang.

Lebih dari itu, negara yang menerapkan syariah Islam dan berdasarkan akidah Islam, tentunya para pejabatnya adalah orang-orang yang amanah, yang takut dosa jika melanggar syariah. Karena aturan atau UU yang diterapkan adalah buatan Allah, Tuhan Pengauasa Alam. Dengan demikian kehidupan yang baik akan dirasakan semua orang.

Sistem Islam, jika diterapkan akan menjadi rahmatan lil ‘alamin, akan membawa kebaikan kepada manusia (muslim dan non muslim), hewan, tumbuhan dan lingkungan. Sesuai firman Allah Swt dalam QS. Al-Anbiya ayat 107: “Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.”

Dengan kedaulatan yang ada pada syara’, tidak akan ada lagi jual beli pasal, tawar menawar UU apalagi melanggar aturan atau UU. Para pejabat akan berpikir seribu kali untuk kongkalikong dengan para pemilik modal. Karena hukum atau sanksi tegas diterapkan tanpa pandang bulu. Karena itu, saatnya kita segera memenuhi seruan penerapan syariah Islam secara utuh dalam bingkai Khilafah ‘ala minhaj an-Nubuwwah. Allah Swt berfirman dalam QS. Al-Anfal ayat 24: “Hai orang-orang yang beriman. Penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kapada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu.”

Wallahu a’lam bish shawab