Meski pemerintah telah berulang kali menggembar-gemborkan soal toleransi di negeri ini, faktanya sikap intoleran masih saja terjadi. Bahkan yang paling menyakitkan, sikap intoleran tersebut kerap menjadikan umat Islam sebagai korbannya. Padahal di banyak kesempatan, umat Islam juga sering dituding sebagai kelompok radikalis dan intoleran. Sungguh ironis!
Baru-baru ini viral video ketika sekelompok orang dengan beringas melakukan perusakan Masjid Al Hidayah yang berada di Perum Agape, Kelurahan Tumaluntung, Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) pada akhir Januari lalu.
Namun sepertinya pemerintah tak terlalu menanggapi serius kasus tersebut, malahan Karo Penmas Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Pol Argo Yuwono, menjelaskan bahwa itu merupakan tempat balai pertemuan, bukan merupakan tempat ibadah (masjid). (Teropongsenayan.com/30-01-2020)
Padahal jelas yang dirusak adalah masjid, dibuktikan dengan adanya spanduk penolakan warga Desa Tumaluntung terhadap pendirian masjid tersebut. Pasalnya di desa tersebut sebagaian besar warganya beragama Kristen. Warga menganggap keberadaan masjid mengganggu dan mengancam kenyamanan hidup mereka.
Dimanakah toleransi yang katanya menjadi hal yang asasi dalam sistem demokrasi? Sungguh sangat nyata jika di dalam demokrasi, toleransi hanyalah sebuah ilusi. Bermuatan politis dan kerap kali digunakan untuk membungkam lawan yang dianggap bersebrangan dengan pemerintah.
Di sisi lain, kita dikejutkan dengan rencana pembangunan terowongan bawah tanah yang menghubungkan antara Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral. Jokowi menegaskan bahwa itu merupakan terowongan silaturahmi, simbol toleransi beragama.
Banyak pihak yang mengkritik rencana Jokowi tersebut, selain dinilai hanya sebagai simbol toleransi basa-basi, juga nirsubstansi. Sebagaimana disampaikan oleh pengamat politik LIPI, Wasisto Raharjo Jati yang tak menampik pembangunan terowongan silaturahmi itu tak lebih dari simbol yang nirsubstansi.
Toleransi tak dapat diwujudkan sekadar simbol infrastruktur semata, tetap harus ada upaya riil mewujudkan yang demikian di tengah-tengah masyarakat lewat penanaman pemahaman yang benar soal toleransi itu sendiri.
Sejatinya Islam adalah agama yang sangat toleran. Dan dalam Islam, toleransi sangatlah jelas batas-batasnya. Tidak ada toleransi dalam perkara akidah.
Cukuplah menghormati pemeluk agama lain menjalankan ibadahnya dan ajaran agamanya dengan tenang, itulah makna toleransi beragama dalam pandangan Islam.
Allah SWT berfirman:
“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (TQS. Al-Kafirun: 6)
Sikap toleransi pun dijelaskan oleh Allah dalam Alqur’an surat Al-Mumtahanah ayat 8-9,
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang yang zalim.” (TQS. Al-Mumtahanah: 8-9)
Jadi, dalam sistem demokrasi hari ini, yang mengusung 4 pilar kebebasan, termasuk di dalamnya kebebasan beragama, nyatanya hanya teori semata. Sebab realitanya, intoleransi masih tumbuh subur di negeri ini. Parahnya, seringkali terjadi tirani minoritas terhadap mayoritas. Dan mereka dilindungi penguasa.
Maka, hanya dengan penerapan sistem Islam secara kaffah sajalah toleransi yang sejati dapat diwujudkan. Hal tersebut pernah dipraktekkan sepanjang Islam tegak di bawah naungan Khilafah Islamiyah. Muslim dan nonmuslim hidup berdampingan secara damai, tanpa diskriminasi, saling menghargai. Bahkan nonmuslim yang minoritas dilindungi harta, darah, dan kehormatannya oleh Khilafah selama mereka menjadi bagian dari kewarganegaraan Khilafah. Ini bukan teori semata, melainkan realita nyata yang tak terbantahkan secara historis. Jadi jelaslah hanya Islam yang mampu menciptakan kerukunan beragama yang hakiki, tak sekadar basa-basi. Wallahu’alam.
Oleh. Hana Annisa Afriliani,S.S (Penulis Buku dan Aktivis Dakwah)