Oleh: Lia Haryati, S.pd.i
Aktifitas : (Pendidik dan Aktifis Dakwah)
Dalam tiga pekan terakhir, Ibu Pertiwi berduka. Sedih tatkala melihat kasus bullying yang kian akut mengenai generasi muda. Hal ini juga membuat resah dan gelisah orang tua, mereka khawatir jika anaknya menjadi korban ataupun pelaku bullying.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, Jasra Putra mengatakan sepanjang 2011 hingga 2019, KPAI mencatat 37.381 pengaduan mengenai anak. Terkait dengan kasus perundungan, baik di media sosial maupun di dunia pendidikan, laporannya mencapai 2.473 laporan.
Jasra meyakini pengaduan anak kepada KPAI tersebut, bagaikan fenomena gunung es. Artinya, masih sedikit yang terlihat di permukaan karena dilaporkan, sementara di bawahnya masih tersimpan kasus-kasus lain yang besar, namun tidak dilaporkan.
“Trennya terus meningkat,” kata Jasra, Ahad (newsrepublika.co.id. 9/2/20).
Virus bullying yang menjangkiti generasi muda, masuk dalam level mengkhawatirkan. Bukan hanya verbal, kekerasan fisik pun berani mereka lakukan. Miris.
Salah satu korban bullying, yaitu siswa yang meninggal di gorong-gorong, Delis Sulistina dari Tasikmalaya. Kasus Nadia siswi SMPN yang mengakhiri hidupnya, terjun dari lantai 4 gedung sekolahnya, juga diduga karena bullying.
Kasus bullying terbaru yang sempat viral di media sosial, 3 siswa yang melakukan perundungan dengan kekerasan fisik terhadap siswi yang memiliki keterbutuhan khusus. Motifnya hanya karena tidak diberi uang yang diinginkan pelaku.
Diera digital, kasus bullying bukan hanya di dunia nyata melainkan di dunia maya pun kerap terjadi. Media sosial menjadi salah satu sarana bagi pelaku untuk membully korbannya. Caranya pun beragam, ada yang melalui tulisan berupa ancaman, ejekan, ujaran kebencian dan kekerasan verbal lainnya.
Disamping itu, ada juga yang dilakukan melalui sambungan telepon, video call, atau lewat audio visual lainnya. Intinya pelaku akan terus membully korbannya hingga ia merasa puas.
Bullying yang dilakukan di dunia nyata, lebih ekstrem perlakuannya. Kekerasan bukan hanya verbal saja, melainkan fisik juga. Alhasil, korban dapat dipastikan terguncang jiwanya, hingga menderita luka fisik. Tak jarang korban sampai mengalami trauma berat, hingga phobia jika harus berinteraksi dengan orang lain.
Kekerasan dan bullying sudah pada level darurat. Pelakunya bukan hanya laki-laki saja, perempuan pun turut serta. Fakta di tengah masyarakat, kasus bullying memakan korban yang tidak sedikit.
Disfungsi peran orang tua, menjadi salah satu penyebab maraknya cyberbully di kalangan remaja. Banyak orang tua sibuk, abai dan tidak fokus dalam mendidik anak-anaknya. Mereka berperan hanya menjadi induk, merasa cukup jika anak-anak sudah terpenuhi kebutuhan materinya, orang tua memposisikan diri layaknya mesin ATM yang siap ditarik tunai.
Kewajiban orang tua dalam mendidik anak, kini mulai tergerus oleh kesibukan mencari dunia yang tak ada habisnya. Di tengah masyarakat fenomena orang tua yang minim ilmu dalam mendidik buah hatinya masih cukup tinggi. Mereka hanya tahu melahirkan, atau hanya sekadar memberi makan, sedangkan untuk fungsi tarbiyah pada anak-anaknya luput dari mereka.
Banyak dari mereka yang tidak paham untuk menjalankan peran ayah dan ibu. Kehadiran ayah di tengah keluarga saat ini dirasa kurang membersamai anak-anak, ayah merasa cukup hanya sebatas pemberi uang. Minim sekali peran sebagai pendidik. Alhasil, generasi fatherless tengah mewabah di negeri ini.
Bagaimana dengan peran para ibu? Sungguh, tidak sedikit wanita yang bergelar ibu, tetapi belum mampu menjalankan peran sebagai ibu. Fungsi ibu sebagai madrasah pertama dan utama bagi anak-anak belum sepenuhnya dilakukan, karena di era kapitalis ini, banyak para ibu yang terpaksa keluar rumah untuk bekerja.
Disfungsi orang tua yang demikian, menghasilkan anak-anak yang tumbuh dengan jiwa antisosial, pemarah, egois, sedikit rasa empati dan yang paling penting hilangnya keteladanan yang baik dari kedua orang tuanya.
Sejatinya pendidikan anak di rumah, dibutuhkan juga keteladanan dari kedua orang tuanya. Seorang ibu shalihah dan ayah yang shalih, insya Allah dapat mencetak generasi yang unggul.
Peran ayah sangat penting dan wajib hadir dalam pendidikan anak-anaknya, yang berfungsi sebagai dasar hukum putra-putrinya, sebagaimana dalam firman Allah Swt,
“(Lukman berkata) : Wahai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan ceagahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman: 17).
Demikian juga dalam firman Allah Swt,
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataaan yang benar.” (QS. an-Nisa : 9).
Selain orang tua, remaja pun memiliki “pengasuh” lain, yaitu lingkungan tempat tinggal dan negara. Lingkungan sangat berpengaruh dalam membentuk pola sikap anak dalam bertingkah laku. Lihatlah, kondisi saat ini anak-anak dan remaja sangat akrab dengan budaya Barat yaitu hedonisme.
Hedonisme membuat seseorang cenderung menjadikan kesenangan merupakan tujuan hidupnya. Dalam hal ini, Barat berhasil menyusupkan virus liberalisme ke negeri-negeri Muslim.
Generasi muslim lebih bangga bergaya hidup ala Barat. Standar kebahagiaan mereka difokuskan pada pemenuhan kebutuhan yang bersifat jasadiah. Mereka berbuat bebas, tanpa ada batasan norma dan agama.
Kebebasan yang diagung-agungkan, sejalan dengan mabda kapitalisme yang diemban, yakni memisahkan agama dari kehidupan. Wajar jika kemudian, mereka menolak agama mengatur kehidupannya.
Bertolak belakang dengan mabda Islam, dalam Islam tidak melarang seseorang untuk mendapatkan kesenangan, tapi tetap harus sesuai dengan perintah dan larangan Allah Swt.
Hedonisme menghasilkan remaja yang jauh dari jiwa kepahlawanan dan kesetiakawanan. Hal ini karena minimnya kisah-kisah perjuangan Rasulullah saw. dan para sahabat berjuang menegakkan agama (Islam), atau pun kisah para pahlawan di medan laga melawan penjajah.
Kini mereka lebih banyak disuguhi tontonan yang lebih mengedepankan syahwat, atau “dicekoki” figur-figur yang tak layak dijadikan teladan. Boomingnya film Dilan di kalangan remaja menjadi salah satu bukti. Parahnya sosok-sosok yang demikian justru mendapat apresiasi dari rezim, sampai dijadikan panutan.
Bintang film Dilan 1991, Iqbaal Ramadan dan Vanesha Prescilla bersama Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Atalia Praratya, dan Menteri Pariwisata Arif Yahya usai meresmikan peletakan batu pertama Taman Dilan di Bandung, Ahad, 24 Februari 2019. Taman ini berada di area GOR Saparua. (tribunnews.com, 24/2/19).
Keprihatinan mendalam bagi remaja, mereka minim mendapatkan edukasi tentang bagaimana memanfaatkan masa muda, sebelum datang masa tua.
Untuk itu, negara diharapkan hadir dalam memberikan edukasi yang bukan hanya mengejar kesenangan duniawi semata, melainkan disertai dengan akhlakul karimah, bagaimana seharusnya memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya.
Negara adalah “orang tua” terbesar bagi remaja. Negara memiliki kekuatan lebih untuk mengarahkan remaja ke arah yang lebih positif, sehingga ke depan bisa melanjutkan estafet kepemimpinan.
Negara berkewajiban, memberikan pendidikan untuk mencerdaskan rakyatnya. Dalam Islam, kewajiban untuk menuntut ilmu tidak ada pembatasan, tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat. Untuk itu negara wajib menciptakan instrumen-instrumen dan semua sarana dan prasarana yang dibutuhkan.
Dengan upaya tersebut diharapkan seluruh lapisan masyarakat mendapatkan edukasi, terutama bagi remaja. Sehingga mereka dapat menjadi remaja yang bermanfaat, jauh dari kekerasan dan virus bullying.
Sinergi antara orang tua, masyarakat dan negara senantiasa dipupuk dan dibangun demi mencetak generasi yang mempunyai kepribadian Islam. Hal ini dapat terwujud ketika mabda Islam berhasil memimpin dunia.
Wallahu a’lam bisshawab.