Bullying Buah Sistem Kapitalisme-Sekularisme

Oleh : Nelliya Azzahra

(Novelis dan Member AMK)

Bullying adalah tindakan mengintimidasi dan memaksa seorang individu atau kelompok yang lebih lemah untuk melakukan sesuatu di luar kehendak mereka, dengan maksud untuk membahayakan fisik, mental atau emosional  melalui pelecehan dan penyerangan.

Dilansir oleh Republika.co.id, (10/2/2020,) Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, Jasra Putra mengatakan sepanjang 2011 hingga 2019, KPAI mencatat 37.381 pengaduan mengenai anak. Terkait dengan kasus perundungan, baik di media sosial maupun di dunia pendidikan, laporannya mencapai 2.473 laporan.

Bahkan Januari sampai Februari 2020, setiap hari publik kerap disuguhi berita fenomena kekerasan anak. Seperti siswa yang jarinya harus diamputasi, kemudian siswa yang ditemukan meninggal di gorong-gorong sekolah, serta siswa yang ditendang lalu meninggal.

Laporan ini terus meningkat dan kejadiannya semakin masif. Sehingga menimbulkan rasa khawatir terhadap mental korban bullying serta orangtua. Perilaku ini sudah menjadi problem akut yang tidak pernah terselesaikan dari tahun ke tahun. Apa yang memicu terjadinya tindakan bullying ini salah satunya karena lingkungan yang tidak kondusif, kontrol masyarakat yang agresif dan mudah ditiru, tontonan kekerasan dan lainnya senada dengan pernyataan Jasra,

“Seperti tontonan kekerasan, dampak negatif gawai, penghakiman media sosial. Itu kisah yang berulang, karena bisa diputar balik kapan saja oleh anak, tidak ada batasan untuk anak mengkonsumsinya kembali.”

Semua ini bisa langsung diindera oleh anak-anak dan media-media dapat diakses dengan mudah. Mereka meniru dengan cepat kemudian mempraktikkan langsung melalui bullying. Baik secara langsung maupun melalui media sosial.

Mereka dengan komunitas atau kelompok yang diikuti cenderung mengikuti isu atau tren yang lagi populer di kalangan remaja, baik yang viral di dunia media sosial maupun di lingkungan nyata sosial masyarakat. Sayangnya tindakan ini tidak diimbangi dengan kemampuan remaja dalam mengontrol emosi mereka sendiri. Remaja pada fase ini mengalami perubahan pergerakan emosi dan sosial lingkungannya, merasa selalu ingin terdepan dan tidak mau tersaingi mendominasi perilaku remaja tersebut. 

Yang lebih menyedihkan, perundungan memiliki banyak dampak pada korban. Sebagaimana yang disampaikan oleh Mensos, Khofifah Indar Parawansa, perundungan bisa menjadikan korban depresi sampai menutup diri, bahkan yang paling fatal adalah terjadinya tindakan bunuh diri. Bentuk dari perundungan pun ada beberapa macam, baik secara kontak fisik maupun media sosial.

Menilik akar permasalahan ini, seharusnya kita melihat bagaimana lemahnya sistem saat ini melakukan kontrol terhadap masyarakatnya. Tindakan dan solusi yang diambil tidak memberikan solusi tuntas. Seperti tambal sulam. Tidak melihat problem secara menyeluruh. Sehingga masalah tidak selesai sampai akarnya.

Islam memandang bahwa menjaga generasi bukan hanya tugas orangtua, namun juga perlu adanya peran dari negara dan juga masyarakat. Negara perlu mengambil peran dalam menyeleksi segala macam pengaruh media. Begitu pun dengan masyarakat, mereka juga memiliki tanggung jawab untuk saling menasihati, mengajak kepada kebaikan, dan mencegah tindakan yang buruk.

Orangtua juga ambil peran ketika anak mulai mencari jati dirinya. Membersamai mereka, memberikan pemahaman yang benar bagaimana seharusnya sikap dan akhlak seorang muslim.

Sampaikan bahwa sesama muslim dan sesama manusia haruslah menjaga dan menebar kasih sayang pada semua, bukan justru berbuat zalim sesama manusia. Rasulullah. saw bersabda:

“Muslim adalah orang yang menyelamatkan semua orang muslim dari lisan dan tangannya. Dan Muhajir adalah orang yang meninggalkan segala larangan Allah.” (HR. Bukhari No. 10)

Tentunya, kasus perundungan ini akan mampu dituntaskan ketika adanya pengaturan Islam secara sempurna di seluruh aspek kehidupan.

Wallahu a’lam bishshawab.