Pajak Dipungut, Hidup Rakyat Makin Sembrawut

Pajak Dipungut, Hidup Rakyat Makin Sembrawut
Risnawati

Meskipun kita mengetahui Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah yang dapat dijadikan sumber utama pendapatan negara. Namun, sungguh miris negeri yang belimpah SDA ini rakyat tidak dapat merasakannya. Justru rakyat dibebani dengan berbagai kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat dan menambah beban hidup rakyat.

Dilansir dalam Merdeka.com – Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengungkapkan rencana pengenaan cukai pada minuman berpemanis bakal menyumbang penerimaan Rp6,25 triliun per tahun. Nantinya tarif cukai akan bervariasi pada tiap produk sesuai tingkat kandungan pemanis.

Iklan Pemkot Baubau

“Minuman berpemanis ini apabila disetujui (Komisi XI) menjadi objek cukai, maka kami untuk tahap ini mengusulkan,” tegasnya di Ruang Rapat Komisi XI DPR RI, Jakarta, Rabu (19/9).

Minuman berpemanis yang dikenakan cukai akan menyasar produk yang mengandung pemanis dari gula maupun buatan (sintetik). Apabila ini dikenakan akan mendapat penerimaan Rp6,25 triliun.

“(Produk) Yang sudah siap konsumsi, jadi kayak kopi sachet, yang isinya banyak sekali gulanya,” imbuhnya.

Terkait tarif cukai yang dikenakan minuman berpemanis, produk teh kemasan dikenakan Rp1.500 per liter. Dengan jumlah produksi 2.191 juta liter ditargetkan penerimaan negara sebesar Rp2,7 triliun.

Untuk minuman berkarbonasi dipatok Rp2.500 per liter. Dengan total produksi 747 juta liter dapat memberikan pemasukan Rp1,7 triliun.

Sedangkan, produk minuman berpemanis lainnya, seperti energi drink, kopi, konsentrat, dan lain-lain dikenakan tarif Rp2.500 per liter dengan jumlah produksi 808 juta liter yang ditaksir mencapai Rp1,85 triliun.

“Tarif (cukai) berdasarkan kandungan gula dan pemanis buatan, jika kandungan tinggi maka cukainya juga lebih tinggi,” terangnya.

Kapitalisme, Akar Masalah

Dalam sistem kapitalisme, pajak menjadi salah satu pendapatan utama negara. Pajak adalah pos pendapatan yang pasti ada dan menduduki posisi teratas. Dan tentu saja pajak ini dibebankan kepada rakyat. Ia bersifat memaksa sebagaimana yang termaktub dalam UU KUP Pasal 1 ayat (1), “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Target penerimaan dari pajak pun dari tahun ke tahun terus ditingkatkan. Sejak tahun 2002, Pemerintah meningkatkan sumber penerimaan pajak di atas 70%, bahkan tahun 2019 hampir 80%, sedangkan sisanya dari sumberdaya alam.

Sumber penerimaan pendapatan negara terbesar pun malah “diberikan” kepada swasta asing dan aseng atas nama berbagai kesepakatan. Dengan payung hukum yang memberikan liberalisasi dalam investasi dan privatisasi sektor publik, perusahaan multinasional asing seperti Exxon Mobil Oil, Newmount, Freeport, dan lainnya dengan mudah mengekploitasi kekayaan alam Indonesia dan semua potensi ekonomi yang ada.  Akibatnya, pemasukan APBN dari sektor SDA Migas dan non-Migas makin lama makin kecil. Pada saat yang sama, privatisasi sektor publik mengakibatkan kenaikan perkwartal TDL, telepon, dan BBM.

Sayangnya, dalam negara kapitalis, pendapatan negara dibebankan kepada rakyat melalui penarikan pajak, yang terkadang sering mencekik rakyatnya. Kantong plastikpun kini dikenai cukainya, barang yang notabene kecil nan murah inipun menjadi sasaran pemerintah Indonesia sebagai salah satu sumber pendapatan negara.

Pajak mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, harga barang meningkat karena di dalam mata rantai proses produksi setiap tahapannya dikenakan pajak. Sehingga penerapan pajak adalah kezhaliman yang dibungkus dengan peraturan sehingga negara merasa berhak untuk mengambil harta yang sebenarnya bukan menjadi miliknya. Tidak mengherankan jika banyak orang menghindari pajak.

Peran negara yang seharusnya ‘melayani’ rakyat  malah membajak rakyat melalui pajak serta kebijakan yang justru membebani rakyat. Pemerintah ibaratkan “drakula” yang menakutkan, yang siap menghisap “darah” rakyatnya hingga tetes darah yang terakhir.

SDA yang seharusnya dikelola sendiri untuk mensejahterakan rakyat, akhirnya diserahkan kepada asing. Akibat  diterapkannya sistem ekonomi kapitalis yang berujung menggunungnya utang luar negeri. Negeri ini semakin terpuruk dan terjebak dalam kubangan utang hingga akhirnya rakyatlah yang menjadi korban.

Tidak bisa dipungkiri, kehidupan ke depan kian rumit dan mencekik. Hal ini akibat pengabaian pengaturan hidup tanpa Islam. Dalam Islam, pemimpin itu penggembala. Tugasnya menjaga amanah dan menunaikan segala kewajibannya. Islam pun merinci pendapatan sebuah negara bukan dari sumber pajak. Sumber utamanya dari pengelolaan SDA, zakat, ghanimah, dan pengelolaan harta berdasar syariah Islam. Selama negeri ini tidak mau berbenah dan keluar dari masalah klasik kapitalistik, maka masalah demi masalah akan terus mengenai semua. Maka, selama sistem ekonomi negara ini adalah sistem ekonomi kapitalisme maka rakyat akan terus diperas dengan pajak layaknya korban drakula yang dihisap darahnya hingga habis. Sementara kekayaan barang tambang dan SDA lain yang berlimpah belum sepenuhnya dikelolah dan dijadikan sumber utama pendapatan negara. Sebaliknya, justru diobral dengan harga murah dan dinikmati perusahaan asing melalui projek privatisasi dan swastanisasi. Karena itu, sadarlah untuk segera mengambil syariah Islam sebagai solusi kehidupan.

Pandangan Islam Tentang Pajak

Islam telah melarang seluruh bentuk pungutan apapun nama dan alasannya. Pungutan yang diambil oleh negara dari rakyatnya harus memiliki landasan atau legislasi syar’i. Allah Swt berfirman: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lainnya diantara kamu dengan jalan yang bathil”.  (TQS. al-Baqarah [2]: 188)

Pungutan yang tidak ada dasar hukum Islamnya disebut dengan ghulul (kecurangan). Tindakan ghulul diharamkan berdasarkan firman Allah Swt:

“Barangsiapa berbuat ghulul (curang terhadap harta) maka pada hari kiamat ia akan datang membawa (harta) yang dicuranginya itu”. (TQS. Ali Imran [3]: 161)

Rasulullah saw memasukkan para pemungut pajak sebagai shahib al-maks, yaitu harta (pungutan/retribusi) yang diambil secara tidak syar’i. Pelakunya diganjar dengan siksaan yang pedih dan kehinaan.

“Tidak akan masuk surga orang-orang yang memungut maks (yakni harta pungutan/retirbusi yang tidak syar’i).”

Di dalam sistem perekonomian Islam, pungutan pajak seperti dalam sistem ekonomi kapitalis dan yang berlaku seperti saat ini tidak pernah ada. Islam tidak mengenal pajak, yang ada adalah dlaribah. Dlaribah adalah harta yang diwajibkan Allah Swt kepada kaum Muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, pada saat kondisi di Baitul Mal tidak ada harta/uang.

Jadi, dlaribah itu adalah pos pendapatan yang diperoleh dari kaum Muslim untuk pembiayaan-pembiayaan yang bertujuan untuk melayani kepentingan dan kemaslahatan masyarakat banyak, sementara di dalam Baitul Mal tidak ada harta. Artinya, pemasukan yang diperoleh dari harta-harta milik umum (kaum Muslim) yang dikelola oleh negara sudah habis, begitu juga yang menjadi pos-pos pendapatan negara (seperti ghanimah, fa’i, kharaj, jizyah, dan sebagainya) sedang tidak ada (karena habis digunakan atau mengalami defisit), sementara ada tuntutan untuk pembiayaan. Termasuk deposit harta zakat dan sejenisnya, juga kosong. Pada kondisi seperti inilah negara Khilafah bisa memungut dlaribah. Artinya negara hanya memungut dharibah dalam kondisi darurat saja.

Hanya saja besarnya pungutan dlaribah, tempo/waktu pungutan, dan penggunaannya diatur oleh syariat Islam. Dlaribah hanya boleh dilakukan pada saat kas negara (Baitul Mal) kosong, dan di saat yang sama terdapat kebutuhan untuk pembiayaan. Dlaribah hanya ditujukan bagi orang-orang (rakyat) yang mampu; tidak diwajibkan atas rakyat yang tidak mampu. Dlaribah bisa dilakukan berkali-kali dalam satu tahun, selama terdapat kebutuhan pembiayaan.

Dlaribah bisa juga tidak pernah diterapkan selama puluhan atau bahkan ratusan tahun, karena negara Khilafah memiliki anggaran dari pos-pos pendapatan negara secara berlimpah. Dlaribah ditetapkan hanya sebatas kebutuhan pembiayaan untuk saat itu ketika kas negara kosong, jadi tidak digunakan sebagai stand by capital (dana cadangan untuk berjaga-jaga jika kas negara kosong).

Fungsi dan kedudukan dlaribah di dalam sistem ekonomi Islam adalah sebagai palang pintu terakhir yang menjaga keberlangsungan kehidupan masyarakat dan utuhnya negara. Bukan sebagai ujung tombak perekonomian, sebagaimana yang terjadi di negara-negara yang menjalankan sistem ekonomi kapitalis.

Dengan demikian, negara yang menerapkan sistem ekonomi Islam tidak akan memberlakukan pungutan seperti pajak yang selama ini dikenal, apalagi jika Baitul Mal penuh dengan harta, hasil dari dijalankannya hukum-hukum Islam tentang jihad, pengelolan harta milik umum (kaum Muslim) maupun zakat. Sebab, pungutan yang tidak syar’i adalah kecurangan (ghulul), dan pajak adalah tindakan zhalim. Negara Islam tidak berdiri di atas kezhaliman dan ditopang oleh kesengsaran warga negaranya.

Walhasil, menjadikan pajak sebagai sumber utama devisa negara hanya akan membuat rakyat terbebani. Sudah saatnya negeri ini mengelola kekayaan negara dengan pengelolaan yang mewujudkan kesejahteraan rakyat. Yakni, negara menerapkan sistem Islam dan segera mencampakkan kapitalisme yang terbukti merusak. Wallahu a’lam

Oleh : Risnawati (Penulis Buku Jurus Jitu Marketing Dakwah)