Oleh: Kiki Zaskia
(Pemerhati Sosial)
Enviromentalisme menjadi perbincangan yang sangat menggema sejak revolusi industri Prancis. Diskusi tentang kelestarian alam dan lingkungan hidup tak hanya dari kalangan aktivis lingkungan hidup namun juga dari segala kalangan termasuk elit politik. Disamping itu, menjadi hal yang wajar bagi manusia yang sadar akan keseimbangan ekosistem di bumi. Jagad maya pun juga cukup massif kampanye tentang“ Selamatkan Bumi” atau tepatnya kampanye “Selamatkan kehidupan di Bumi”. Akhir bulan juli 2019 kebakaran terbesar sepanjang sejarah di Australia menjadi sorotan dunia hingga mengundang simpati di seluruh negara. Tak hanya itu, health life style yang dikenal dengan kampanye less waste bahkan zero waste yang dipopulerkan oleh pejuang pengurangan sampah di dunia tengah menjamur. Semua itu, dapat dikatakan buah dari kesadaran individu. Kesadaran individu dalam hal kelestarian alam dan lingkungan hidup, namun sejatinya dituntaskan oleh pemerintah secara sistemik untuk pengarusan yang lebih ketat.
Diberbagai negara, banyak kebijakan diberlakukan untuk mengatasi masalah lingkungan termasuk persoalan konsumsi plastik. Cina misalnya dengan kebijakan yang cukup radikal membatasi produksi, penjualan, dan penggunaan produk plastik sekali pakai. Kementerian Ekologi dan Lingkungan Cina menargetkan pada akhir 2020, kantong plastik akan dilarang di semua kota besar. Pelarangan juga akan diberlakukan menyeluruh hingga ke kota-kota kecil pada 2022. ( Dikutip Reuters Ahad 19/1). Sekilas info, Cina sempat menjadi negara penampung sampah impor.
Ada juga beberapa kebijakan negara lainnya dengan cukai untuk mengurangi konsumsi plastik dengan banderol yang berbeda; Irlandia Rp. 3, 272, Kamboja Rp. 1, 349, Taiwan Rp.908, Inggris Rp. 883, Hong Kong Rp.880 , Malaysia Rp. 659, Afrika Selatan Rp. 420 dan Indonesia yang mengusulkan Rp. 200 kemudian pada akhirnya disetujui oleh komisi XI DPR, “jadi kita ketok palu dulu, komisi XI DPR menyetujui rencana pemerintah untuk melakukan penambahan jenis barang kena cukai berapa produk plastik” (Dilansir okezone.com)
Pengurangan konsumsi plastik menjadi PR untuk semua negara di dunia tak terkecuali Indonesia. Namun anehnya sebelum persetujuan cukai kantong kresek inI RUU Omnibus Law yang membuat cipta lapangan kerja kontroversial sedang di godok, salah satunya dengan wacana penghapusan Amdal dan IMB. Tentu saja ini tidak memenangkan rakyat, jika benar pemerintah sedang peka dengan lingkungan.
Secara kuantitas konsumsi plastik di Indonesia masih rendah. Asosiasi olefin, Aromatik, konsumsi plastik Indonesia masih jauh lebih rendah dibandingkan konsumsi plastik negara lain. Berdasarkan data Inaplas tahun 2017 , total konsumsi plastik Indonesia secara total adalah 5,76 juta ton per tahun dengan rata-rata konsumsi per kapita sebesar 198 kg/kapita. (Dilansir berita satu.com)
Patut disayangkan, jika pemerintah tidak bisa membedakan dua hal yang berbeda antara pengelolaan dan pengurangan konsumsi plastik. Jika dilakukan sesuai dengan tingkat krusial konsumsi plastik dengan fakta konsumsi plastik yang masih rendah di Indonesia maka mestinya pengelolaan tanpa tekanan pada rakyat dengan cukai.
Wajah kapitalistik sebuah negeri dengan pesona cukai sebenarnya adalah bentuk neo-imperialisme pada rakyat sendiri, pemerintah tak sungkan selalu menyuguhkan rakyat dengan cukai alias pajak tapi sungkan pada pengusaha, penguasa asing, aseng, pun juga asong. Keadilan rumit untuk menjelma pada negeri kapitalistik dengan jiwa individualistik. Aristoteles mengisyaratkan perkataan “ Dunia ini adalah taman yang pagarnya adalah kerajaan. Kerajaan adalah kekuasaan yang menyebabkan peraturan berlaku. Peraturan adalah politik yang dikendalikan oleh raja. Kerajaan itu adalah sistem yang ditopang oleh pasukan. Pasukan itu adalah para pendukung yang membutuhkan dana. Dana itu rezeki yang dikumpulkan rakyat. Rakyat itu para hamba yang membutuhkan keadilan. Dan keadlian itu harus merata. Dengan keadilanlah dunia berdiri. Dan dunia itu adalah taman.”.
Rakyat adalah sentral dana seharusnya orientasi pemerintah adalah kemaslahatan rakyat bukan korporatokrasi semata. Konsumsi Plastik di tekan namun bebas Amdal & IMB pada korporasi adalah bentuk ketidak seriusan pemerintah dalam kepekaan terhadap lingkungan hidup. Padahal menyengsarakan rakyat akan mendatangkan “Barangsiapa yang diangkat oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, kemudian ia tidak mencurahkan kesetiaannya, maka Allah haramkan baginya surge.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Cukai dalam Islam. Istilah pajak, dalam fikih Islam dikenal dengan dharîbah.Al-‘Allamah Syaikh Rawwas Qal’ah Jie menyebutnya dengan, “Apa yang ditetapkan sebagai kewajiban atas harta maupun orang di luar kewajiban syara’.”.Sedangkan al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum, mendefinisikannya dengan, “harta yang diwajibkan Allah kepada kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitul Mal kaum Muslim untuk membiayainya.”
Dalam APBN Negara Islam (APBN-K), sumber pendapat tetap negara yang menjadi hak
kaum Muslim dan masuk ke Baitul Mal adalah: (1) Fai’ ; (2) Jizyah; (3) Kharaj;
(4) ‘Usyur; (5) Harta milik umum yang dilindungi negara; (6) Harta haram
pejabat dan pegawai negara; (7) Khumus Rikaz dan tambang; (8) Harta orang yang
tidak mempunyai ahli waris; (9) Harta orang murtad. Inilah pendapatan tetap
negara, ada atau tidaknya kebutuhan.
Berbeda dengan pendapatan tidak tetap. Pendapatan ini bersifat instrumental dan
insidental. Bersifat instrumental, karena Islam menetapkan kepada kaum Muslim
fardhu kifayah untuk memikul kewajiban pembiayaan, ketika dana tidak ada di
Baitul Mal. Karena itu, ini telah menjadi instrumen untuk memecahkan masalah
yang dihadapi negara yang dibebankan hanya kepada umat Islam. Disebut
insidental, karena tidak diambil secara tetap, bergantung kebutuhan yang
dibenarkan oleh syara’ untuk mengambilnya.
Syara’ telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos, yang ada atau tidak adanya
harta di Baitul Mal tetap harus berjalan. Jika, di Baitul Mal ada harta maka
akan dibiayai oleh Baitul Mal. Jika tidak ada, maka kewajiban tersebut
berpindah ke pundak kaum Muslim. Sebab jika tidak,
maka akan menyebabkan terjadinya dharar bagi seluruh kaum Muslim. Dalam rangka menghilangkan dharar di saat Baitul Mal tidak ada dana inilah, maka negara Islam boleh menggunakan instrumen pajak. Namun, hanya bersifat insidental, sampai kewajiban dan pos tersebut bisa dibiayai atau Baitul Mal mempunyai dana untuk mengcovernya.
Inilah negara yang teguh dalam melayani umat, tidak disibukkan dengan cukai dari rakyat. Sungguh cukai alias pajak yang semakin bertebaran dengan jenis dan macamnya adalah indikasi negara yang sangat rapuh. Hanya dengan aturan Islam yang dapat memberikan solusi tanpa harus membebani rakyatnya. Wallahu a’lam