Oleh : Citra Hardiyanti Rukmana, Member Akademi Menulis Kreatif
Ada tiga orang yang akan menjadi musuh-Ku pada hari kiamat:…orang yang memperkerjakan seorang buruh, si buruh memenuhi tugasnya, namun dia tidak memberikan upahnya (yang sesuai). (HR. Bukhari 2227 dan Ibn Majah 2442)
Senin, tanggal 20 Januari 2020 lalu ribuan buruh menggelar aksi demo, demi menyuarakan suara yang sama yakni tolak RUU omnibus law, terutama RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka). RUU yang akan diketok palu oleh pemerintah tersebut bertujuan untuk memuluskan jalannya investasi di Indonesia, dengan merampingkan sejumlah pasal. Diantaranya adalah penghapusan pasal 93, yang tercantum dalam UU Ketenagakerjaan tentang cuti khusus atau izin (tak lagi termasuk haid pertama bagi perempuan) (pasal 93 a), keperluan menikah dan menikahkan, mengkhitan, istri melahirkan/keguguran, hingga ada anggota keluarga dalam satu rumah yang meninggal (pasal 93b) dll.(Tirto.id).
Omnibus law “cilaka” adalah salah satu dari 50 RUU yang masuk ke dalam prolegnas prioritas yang harus disahkan sebelum tenggat waktu 100 hari. Namun jika dibandingkan dengan RUU lain, RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) misalnya, maka ini lebih urgent dan sudah memiliki kejelasan isi. Lantas situasi dan kondisi yang bagaimana yang membuat negara harus segera merevisi UU Ketenagakerjaan, tanpa adanya kesepakatan antara buruh dan pengusaha?
Menurut negara UU Ketenagakerjaan di Indonesia itu seperti kanebo kering, terlalu kaku dan tidak fleksible, serta memberatkan dunia usaha, sehingga ini menyulitkan untuk para investor menginvestasikan sebagian hartanya ke Indonesia. Keberadaan investor sangat penting, mengingat keberadaan lapangan pekerjaan yang semakin sedikit akibat dampak perang dagang global antara Amerika dan China, yang melemahkan ekonomi negara hingga berdampak pada pemutusan hubungan kerja (phk) oleh sejumlah produsen yang mengalami penurunan produksi. Untuk mengatasi hal ini, maka dibutuhkan investor yang menanam modal agar tercipta lapangan kerja. Lantas mengapa harus meregulasi UU Ketenagakerjaan? Karena Indonesia sudah tidak memiliki tawaran lain selain pekerja lokal yang murah, akibat penguasaan SDA oleh asing dan kurangnya penguasaan teknologi yang canggih, yang menjadi daya tarik utama bagi investor. Maka pemerintah menerbitkan RUU omnibus law, yang memiliki hirearki lebih tinggi dari jenis peraturan perundang-undangan yang lain (pen: di atas ketetapan MPR) dan juga berfungsi sebagai payung hukum yang dapat mengatur secara menyeluruh dan memiliki kekuatan terhadap aturan lain.
Namun disisi lain, bukankah bagus jika dapat memuluskan jalannya investasi? Bukankah jika tidak banyak regulasi yang berbelit dapat dikatakan sebagai win-win solution? Itu benar, jika tidak hanya menguntungkan satu pihak saja (investor). Namun faktanya tidak demikian, RUU Cilaka akan membawa cilaka jika disahkan.
Diantaranya adalah :
1. Mengatur perekrutan dan pemutusan hubungan kerja (PHK)
Aturan ini memudahkan perusahaan untuk merekrut dan memecat pekerja, dikarenakan sistem kerja berbasis kontrak kerja, dan adanya outsourcing (alih daya) yang memungkinkan berpindahnya dari perusahaan satu ke perusahaan yang lain, yang menutup kemungkinan pekerja memiliki peluang untuk kenaikan jenjang karir dan perusahaan hanya merekrut dari kedua sistem ini saja.
2. Mengatur fleksibilitas jam kerja
Dalam RUU Cilaka pekerja diwajibkan untuk bekerja 40 jam dalam seminggu, dan jika kurang dari ini maka perusahaan akan menggaji pekerja menurut hitungan jam, maka upahnya otomatis di bawah upah minimum. 8 jam sehari berarti full nonstop, dan jika pekerja menyelesaikan target produksi kurang dari 8 jam, maka perusahaan dapat menyuruh untuk mengerjakan apapun yang perusahaan inginkan. Maka bagi pekerja tidak ada peluang untuk menuntut hak mereka untuk mendapatkan jam manusiawi dalam bekerja.
3. Membuka peluang besar bagi TKA
Melalui RUU ini, pekerja asing dapat dengan leluasa bekerja di Indonesia, mulai dari pekerja profesional hingga buruh kasar. Kondisi ini memaksa pekerja lokal untuk bersaing tanpa adanya skill memadai yang memungkinkan disebut persaingan. Menurut BPS, demografi pekerja Indonesia 73,98 juta orang merupakan sektor informal yang jauh lebih besar dibanding sektor formil yang hanya 53 juta orang. Hal ini berarti pekerja memiliki kesejahteraan kecil dan produktivitas rendah lebih banyak.
Pekerja tersebut terkategori dalam prekariot yang berarti didominasi oleh pekerja yang rentan terkena PHK, diantaranya adalah pekerja sistem kontrak, alih daya (outsourcing), pemagang, pekerja paruh waktu dan pekerja lepas. Apakah dengan kondisi ini pekerja lokal siap bersaing dengan pekerja asing? Sebab akar masalahnya bukanlah sekedar pada instrumen kebijakan, melainkan tata nilai sekuler yang saat ini diadopsi dan diterapkan di negeri ini.
Dalam sistem ekonomi kapitalis saat ini manusia tidak lebih dari faktor produksi yang keberadaannya setara dengan mesin, material, uang dsb. Karena manusia sebatas alat untuk menghasilkan produk dari sebuah perusahaan, maka tak heran jika harga dari manusia itu berupa upah yang diberikan pada dirinya. Maka tak heran tidak ada penghargaan istimewa terhadap manusia karena dia hanyalah salah satu faktor produksi.
Dalam keuangan bisnis ada dua macam pengeluaran yaitu biaya dan beban. Biaya adalah pengeluaran yang berdampak pada proses bisnis dan pendapatan, semisal membeli bahan baku, dsb. Sedangkan beban adalah pengeluaran yang tidak berdampak langsung pada pendapatan seperti penyusutan nilai aset. Maka tidak mungkin jika kita mengatakan bahwa keuntungan adalah beban perusahaan, namun ia adalah paradigma bisnis bagi perusahaan. Maka pola pikir pebisnis adalah bagaimana menekan beban produksi secara maksimal sehingga memperoleh keuntungan secara maksimal pula. Maka semua ini dapat diraih dengan diketoknya RUU Cilaka, dimana biaya produksi tetap, namun hasil 2 kali lipat.
Dalam Islam ada pengaturan detail mengenai hal ini. Dalam hubungan bisnis ada akad ijarah, yaitu transaksi terhadap jasa tertentu dengan disertai kompensasi berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak. Dalam islam akad ijarah berupa upah atas pemanfaatan suatu benda atau imbalan yang diberikan atas suatu kegiatan atau upah karena melakukan suatu pekerjaan. Akad ijarah dalam islam ada 2 jenis, yaitu ijarah al ‘ain berupa pemberian imbalan karena telah memanfaatkan suatu ‘ain seperti pemanfaatan atas rumah, bangunan, pakaian, dsb. Yang kedua adalah akad ijarah al amal yaitu kompensasi yang diberikan kepada pekerja yang telah melakukan suatu pekerjaan untuk pihak yang memberikan upah.
Taqiyyudin an nabhani menjelaskan di dalam akad al amal terdapat 2 pihak, pihak yang pertama adalah pemilik jasa/orang yang dikontrak tenaganya (‘ajir) dan pihak yang mengontrak tenaganya (musta’jir). Maka dari akad ini dapat ditarik kesimpulan besarnya upah yang diberikan kepada pekerja tergantung dari tenaga yang dikeluarkan dan kemampuan yang dimiliki. Maka sungguh adil di dalam Islam. Islam mewajibkan untuk tidak memberikan beban tugas melebihi kemampuannya, jika pun terpaksa dilakukan, maka islam mewajibkan majikan untuk membantunya.
Dalam hadist Abu Dzar ra. Nabi Shallalahu alaihi wa sallam bersabda: janganlah kalian membebani mereka dan jika kalian memberikan tugas kepada mereka, maka bantulah mereka (HR. Bukhari no.30).
Nabi Shallalahu alaihi wa sallam mewajibkan untuk memberikan upah kepada pekerja tepat waktu, tanpa dikurangi sedikitpun. Dari Abdullah bin Umar ra. Nabi Shallalahu alaihi wa sallam bersabda : “Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering ” . (HR Ibnu Majah, dishahihkan al-Abani).
Wallahu’alam bi showab.