Rabu, 29 Januari 2020 menjadi salah satu hari yang menyakitkan bagi warga muslim di Perumahan Agape, Desa Tumaluntung, Kabupaten Minahasa Utara. Masjid Al Hidayah yang digunakan sebagai tempat beribadah telah dirusak oleh sekelompok massa. Nyatanya, pada sistem liberal saat ini, toleransi kerukunan umat beragama bak ilusi semata jika itu menyangkut minoritas kaum muslim. Terbukti dengan banyaknya kasus bahwa toleransi kerukunan antar umat beragama lebih condong memihak dalam pembelaan non Islam dan abai terhadap minoritas kaum muslim.
Bahkan, Menteri Agama menyatakan “Sebetulnya kasus yang ada, kita bandingkanlah ya, rumah ibadah di Indonesia ada berapa juta sih? Kalau ada satu atau dua kasus itukan sangat kecil.”
Pernyataan menteri agama ini terkesan tindakan membenarkan perbuatan Intoleran dan perusakan walaupun cuma satu atau dua tempat ibadah muslim. Namun anehnya, kenapa yang mendapat julukan radikal adalah justru umat Islam? Apakah istilah radikal hanya untuk umat muslim saja? Apakah jika kaum non muslim yang berbuat intoleran terhadap kaum muslim dianggap biasa saja (bukan radikal)? Apakah islam sudah dianggap agama Intoleran dan radikal seperti yang sudah dilabelkan kepada umat muslim?
Padahal Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai toleransi, terbukti dalam Al Qur’an surat Al-Mumtahanah ayat 8, bahwa umat muslim di perintahkan Allah untuk berbuat adil kepada semua orang baik muslim ataupun non muslim.
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ﴿٨﴾
{Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.}
Dalam sebuah hadits juga di ingatkan jika seorang muslim membunuh non muslim maka tidak akan mencium bau surga padahal bau surga tercium dari perjalanan 40 tahun.
عن عبد الله بن عمرو عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: من قتل نفسا معاهد لم يرح رائحة الجنة
{“Dari Abdullah bin Umar dari Nabi SAW, ‘Siapa yang membunuh mu’ahad, maka dia tidak akan mencium bau surga”}
Rasulullah juga memberikan teladan kepada kita, bagaimana perlakuan beliau kepada Non muslim.
Salah satunya adalah bagaimana beliau ikhlas menyuapi seorang pengemis buta tua Yahudi, yang sangat membenci beliau. Karena pengemis itu buta Ia tak tau bahwa yang menyuapinya adalah Rasulullah yang selalu ia hina. Rasulullah juga memimpin dengan cemerlang masyarakat, meski terdapat kemajemukan agama yakni Islam, Nasrani, dan Yahudi. Mereka hidup berdampingan satu sama lain dengan baik. Pada masa pemerintahan Islam semua warga daulah mendapatkan hak yang sama sebagai warga negara, mendapat jaminan keamanan, dan bebas melakukan ibadah sesuai dengan keyakinan mereka masing masing.
Oleh karena itu, dalam praktiknya, kaum muslim tidak pernah memiliki ‘problem toleransi’. Mereka sudah terbiasa hidup dalam kemajemukan. Mereka memiliki tradisi toleransi yang tinggi. Mereka biasa memperlakukan orang-orang yang berbeda keyakinan dan agama dengan santun, adil dan manusiawi. Itulah Islam, wajah toleransi tertinggi yang pernah ada. Bahkan dalam sistem pemerintahan Islam (kekhilafahan) yang luasnya 2/3 dunia, aturanIslam tidak hanya melindungi umat muslim saja tapi keseluruhan warga daulah/ negara di lindungi dengan aturan Allah yang Maha Tinggi, Maha adil, Maha bijaksana dan senantiasa sempurna.
Wallahu’alam bi ash showab.
Oleh: Dewi Fatimah (Aktivis Muslimah)