Potret Buram Kemiskinan: Memakan Sabun Untuk Menahan Lapar

Oleh: Erni Yuwana (Aktivis Muslimah)

Nama ketiga bocah tersebut adalah Novri (9 tahun), Juliandi  (7 tahun) dan Andika (4 tahun). Ketiga kakak beradik itu tinggal di rumah nenek Soriani yang sudah renta (80 tahun) dengan ukuran rumah enam kali enam meter. Mereka tinggal di Desa Muara Tais II, Kecamatan Angkola Muara Tais, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.

Ayah mereka, Rosul (45), bekerja serabutan sehingga belum tentu berpenghasilan setiap hari. Rosul baru bisa membawa pulang uang untuk makan sekeluarga bila mendapat orderan mencangkul dan membersihkan kebun. Kalau tak ada orderan mencangkul atau menjadi buruh tani, tidak ada secuil lauk pauk maupun nasi bisa dihidangkan kepada keluarga. Sedangkan sang ibu ketiga anak itu, sudah lama pergi menikah dengan lelaki lain.

Warga setempat mengakui, kebiasaan ketiga bocah itu memakan sabun sudah lama dilakukan. Mereka juga mengakui sudah beberapa kali meminta Novri melarang adik-adiknya memakan sabun.

“Kalau mencuci di sungai, adik-adiknya makan sabun. Bahkan Novri juga. Ya terpaksa karena lapar, tak ada yang bisa dimakan,” kata warga.

Kisah mereka diketahui publik setelah diberitakan oleh media lokal MedanMerdeka.com, Minggu (23/2/2020). Mirisnya, di halaman rumah Nenek Soriani, terpampang plang Posyandu berupa imbauan agar anak-anak bertambah umur, berat, serta sehat.

Ironi. Miris. Memprihatinkan. Begitulah wajah Indonesia. Padahal Amerika menaikkan status Indonesia dari negara berkembang menjadi negara maju. Dunia pun mengamini status baru Indonesia sebagai negara maju. Tentu status ini menimbulkan pertanyaan. Benarkah Indonesia adalah sebuah negara maju? Maju kemana? Maju apanya? Apa indikator negara maju sebenarnya?

Ternyata, label Indonesia sebagai negara maju adalah strategi Amerika untuk mendapatkan keuntungan. Dengan menaikkan status Indonesia dari negara berkembang menjadi negara maju, maka Indonesia tidak lagi mendapatkan hutang dengan bunga rendah. Indonesia juga tidak mendapatkan subsidi jika meng-ekspor barang ke negara maju. Dampaknya, nilai ekspor Indonesia akan terus turun karena biaya mahal dan sulit bersaing dan perdagangannya akan mengalami kerugian. Yang sangat disayangkan, sikap pejabat pemerintah malah berbangga diri dengan label palsu tersebut, tanpa melihat fakta kemiskinan yang ada di depan mata.

Sungguh, Indonesia masih berada di titik lemah ekonomi. Kemiskinan, kekurangan dan kelaparan menjadi hal yang mudah ditemui di Indonesia. Entah bagaimana rasa tingkat kelaparan yang mendera hingga Novri, Juliandi dan Andika rela makan sabun? Tidakkah sampai berita tentang Novri, Juliandi dan Andika ke telinga penguasa negeri ini? Atau bahkan cerita tentang nenek Soriani? Atau mungkin kisah pak Rosul yang berusaha sekuat tenaga mencari upah demi sesuap nasi walaupun kerja serabutan tak pasti? Jika para penguasa kita tak mendengar jeritan kemiskinan dan kelaparan rakyatnya sendiri, lantas siapa yang mereka dengar? Kenapa mereka lebih percaya dengan jebakan label palsu negara maju Indonesia, daripada mendengar dan melihat kondisi nyata negeri ini? Mungkinkah penguasa dan pejabat pemerintah telah buta dan tuli?

Sistem kapitalis mengubah para penguasa negeri ini menjadi buta dan tuli mata hatinya. Alih-alih melindungi perekonomian rakyat, mereka justru semakin menjerumuskan Indonesia ke jurang kemiskinan. Alih-alih mengatasi kemiskinan, mereka justru menimbulkan kemiskinan itu sendiri. Sistem kapitalis mengubah wajah penguasa menjadi tak peduli pada rakyat sendiri namun meminta simpati dan sanjungan dari Amerika.

Hal ini tentu berbeda dengan sistem Islam, satu-satunya sistem yang mampu mengatasi kemiskinan. Dalam Islam, kemiskinan tidak dinilai dari besar pengeluaran atau pendapatan, tetapi dari pemenuhan kebutuhan asasiyah (pokok) secara perorangan. Kebutuhan pokok itu mencakup sandang, pangan, perumahan, kesehatan dan pendidikan secara layak.

Dalam sistem Islam, beberapa mekanisme yang dilakukan negara dalam mengatasi kemiskinan, yakni:

1. Mekanisme individu.

Islam mewajibkan kepada individu untuk bekerja. Ketika individu tidak bekerja, baik karena malas, cacat, atau tidak memiliki keahlian dan modal untuk bekerja maka negara berkewajiban untuk memaksa individu bekerja serta menyediakan sarana dan prasarananya, termasuk di dalamnya pendidikan, keahlian dan modal.

Rasulullah saw. bersabda:

كَفَى بِالْمَرْءِ أَنْ يَحْبِس عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ َ

Cukuplah seorang Muslim berdosa jika tidak mencurahkan kekuatan menafkahi tanggungannya. (HR Muslim).

2. Mekanisme jama’i (kolektif).

Allah SWT memerintahkan kaum Muslim untuk saling memperhatikan saudaranya yang kekurangan dan membutuhkan pertolongan. Rasulullah saw. bersabda:

مَا آمَنَ بِي مَنْ بَاتَ شَبْعَانَ وَ جَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ وَ هُوَ يَعْلَمُ

Tidaklah beriman kepadaku siapa saja yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya kelaparan, padahal ia tahu (HR ath-Thabrani dan al-Bazzar).

3. Allah SWT memerintahkan penguasa untuk bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyatnya, termasuk tentu menjamin kebutuhan pokok mereka. Rasulullah saw. bersabda:

فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Pemimpin atas manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).

Saat menjadi khalifah, Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab biasa memberikan insentif untuk setiap bayi yang lahir demi menjaga dan melindungi anak-anak. Beliau juga membangun “rumah tepung” (dar ad-daqiq) bagi para musafir yang kehabisan bekal.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz membuat kebijakan pemberian insentif untuk membiayai pernikahan para pemuda yang kekurangan uang. Pada masa Kekhalifahan Abbasiyah dibangun rumah sakit-rumah sakit lengkap dan canggih pada masanya yang melayani rakyat dengan cuma-cuma. Pendidikan dalam Islam juga gratis, mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi.

4. Mekanisme sosial ekonomi.

Mekanisme ini dilakukan oleh negara melalui sistem dan kebijakan pemerintah, baik kebijakan di bidang ekonomi maupun bidang sosial yang mampu mengentas kemiskinan.

Di sektor pertanian, di samping intensifikasi juga dilakukan ekstensifikasi, yaitu menambah luas area yang akan ditanami dan diserahkan kepada rakyat. Karena itu, para petani yang tidak memiliki lahan atau modal dapat mengerjakan lahan yang diberi oleh pemerintah. Sebaliknya, pemerintah dapat mengambil tanah yang telah ditelantarkan selama tiga tahun oleh pemiliknya.

Selain itu, negara juga memaksimalkan sektor industri. Di sektor kelautan dan kehutanan serta pertambangan, negara akan mengelola sektor ini sebagai milik umum dan tidak akan menyerahkan pengelolaannya kepada swasta. Selama ini ketiga sektor ini banyak diabaikan atau diserahkan kepada swasta sehingga hasilnya tidak berada di tangan rakyat, tapi hanya dirasakan para “tuan” pemegang saham.

Itulah mekanisme Islam untuk mengatasi kemiskinan dan menciptakan lapangan pekerjaan secara adil dengan gaji yang layak. Hal ini hanya akan terwujud jika sistem Islam diterapkan secara menyeluruh. Wallâhu a‘lam bi ash shawab.