Keretakan Keluarga Marak Butuh Solusi Islam

Oleh : Intaniah Tahir

Awalnya adalah indah

Berasaskan cinta sepasang

Mulai mengikat dan membangun

Namun lupa menyatuhkan pikiran

Hingga sorakan melepaskan kian keras

Dukungan sang raja adalah diam

Terlupakan, harusnya syariat tempatmu kembali

Pernikahan adalah suatu jalan menyatukan dua insan dalam ikatan yang halal dan sebagai penyempurna agama. Jenjang ini dianggap sesuatu yang sakral karena sekali seumur hidup. Dijenjang ini pula tersirat sebuah doa terbaik yakni terus bersama sampai maut memisahkan. Namun, rintangan kehidupan dalam rumah tangga sulit dilewati kebanyakan keluarga. Hingga menyebabkan keretakan dalam rumah tangga dimana setiap tahunnya naik signifikan bagaikan tren tahunan. Rezim menutup mata akan hal ini tanpa adanya solusi yang disampaikan.

Padahal akibat keretakan keluarga ini bisa berdampak buruk pada anak. Faktanya Indonesia darurat  pada anak. Tiap tahun KPAI menerima laporan rata-rata 4,500 kasus menerima hak anak. Sebagian besar (40 persen) terkait dengan kasus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH), yaitu kondisi di mana anak berkonflik dengan hukum sebagai tindak tindak kekerasan, sebagai korban kekerasan, serta sebagai tindak kekerasan.Hal ini tentunya berbanding terbalik dalam Pertimbangan dalam UU 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah bahwa negara menjamin hak warga negara untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang dasar negara Republik Indonesia tahun 1945.

Dan hal ini pula menunjukkan hukum yang dibuat hanyalah berbatas teori.  Karena bukankah anak juga merupakan gerenasi lanjutan sebagai penopang negara. Lalu mengapa rezim berdiam diri melihat keretakan keluarga terus meningkat.

Keretakan Keluarga Makin Meningkat

Tren perceraian di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya. Pada 2018, angka perceraian Indonesia mencapai 408.202 kasus, meningkat 9% dibandingkan tahun sebelumnya. Penyebab terbesar perceraian pada 2018 adalah perselisihan dan pertengkaran terus menerus dengan 183.085 kasus. Faktor ekonomi menempati urutan kedua sebanyak 110.909 kasus. 

Sementara masalah lainnya adalah suami/istri pergi (17,55%), KDRT (2,15%), dan mabuk (0,85%). Salah satu kriris keluarga yang tertuang dalam RUU Ketahanan Keluarga adalah perceraian sebagaimana dalam Pasal 74 ayat 3c (Katadata.co.id, /2/2020)

Selain itu, Berdasarkan data yang dikutip detikcom dari website Mahkamah Agung (MA), Rabu (3/4/2019), sebanyak 419.268 pasangan bercerai sepanjang 2018. Dari jumlah itu, inisiatif perceraian paling banyak dari pihak perempuan yaitu 307.778 perempuan. Sedangkan dari pihak laki-laki sebanyak 111.490 orang.

Faktor ekonomi menjadi Salah satu penyebab keretakan dalan rumah tangga.yang gajinya tidak sebanding dengan kebutuhan hidup.Kurangnya lapangan pekerjaan menjadikan tidak berfungsinya hak dan tugas dalam rumah tangga.Apalagi di zaman sekarang lapangan pekerjaan yang ada hanya membutuhkan wanita dan hal ini pula mengubah fungsi kepala rumah tangga.

Faktor perselingkuhan juga menjadi salah satu penyebab keretakan dalam rumah tangga.Teknologi yang makin modern, dengan tersedianya berbagai fitur kesenangan dunia maya sehingga memberikan peluang besar terjadinya perselingkuhan dan Tak jarang sampai menimbulkan perzinahan.Dalam ajaran agama Islam, Bagi pezina yang sudah menikah maka harus dirajam hingga mati. Sabda Rasulullah SAW. bahwa seorang laki-laki berzina dengan perempuan. Nabi SAW memerintahkan menjilidnya, kemudian ada khabar bahwa dia sudah menikah (muhshan), maka Nabi SAW memerintahkan untuk merajamnya.

Sementara dalam system ini untuk kasus perselingkuhan perzinahan dalam Kitab Undang – undang Hukum Pidana (KUHP) diatur dalam pasal 284 KUHP, yang berbunyi : Dihukum penjara selama-lamanya 9 (sembilan) bulan, laki-laki yang beristeri berbuat zina sedang diketahuinya bahwa pasal 27 KUHPerdata berlaku padanya, dan perempuan yang bersuami berbuat zina.

Bandingkan kedua hukum tersebut.  Kita bisa mengambil kesimpulan bahwa jikalau kita menggunakan hukum dunia atau hukum buatan manusia maka sama sekali tidak ada efek jerah. Namun jikalau kita kembali pada syariat Islam yakni kembali kepada hukum ALLAH SWT. Maka sangat sulit untuk kembali melakukan kemaksiatan lagi.

Sungguh rakyat merindukan pemimpin yang peduli keluarga. Yang melindungi, membina, dan memenuhi kelangsungan hidup. Tidaklah ada satu solusi terbaik kecuali kembali kepada syariat Islam, kembali kepada Hukum Allah.

Umar bin Khattab meyakini bahwa pemimpin yang baik harus mampu menyejahterakan rakyatnya. Ia pernah berpesan kepada Abu Musa, “Sebaik-baik penguasa adalah yang dapat memakmurkan rakyatnya. Sebaliknya, seburuk-buruk penguasa adalah yang menyengsarakan rakyatnya”. Landasan yang digunakan Umar untuk menyusun rencana adalah kesejahteraan rakyat yang dipimpin. Demi mengetahui keinginan rakyatnya, Umar sering berkeliling menemui mereka. Ia menyusuri jalan dan mengunjungi pasar untuk mendengarkan keluhan rakyat.

Dalam ajaran Islam pun telah di contohkan sikap apabila terjadi perselisihan dalam rumah tangga.  Al Qur’an di Surat An Nisaa ayat 35, “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam[juru damai] dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

 “Orang yang paling benci Allah adalah orang yang menaruh dendam kesumat (bertengkar)”. (HR Muslim).

Maka dari itu tidak solusi terbaik selain kembali pada syariat Islam. Dimana solusinya tidaklah bersifat parsial dan tidak akan memunculkan masalah baru. Wallahu a’lam bish-shawabi[]