Rapuhnya Ketahanan Keluarga Picu Ibu Depresi Hingga Bunuh Anak

HAMSINA HALISI ALFATIH

Diduga Depresi dan sakit jiwanya kambuh Malfia (21), Warga desa Doda Bahari, Kecamatan Sangia Wambulu. Kabupaten Buton Tengah (Buteng) ,tega menghilangkan nyawa bayinya dengan meremdamnya dalam bak kamar mandi dan mengiris leher anak balitanya yang baru berusia 2 tahun. (ButonPos, Rabu, 26/2/20. Rubrik Suara Buton Tengah)

Kejadian tersebut langsung menghemparkan warga desa setempat, setelah kakak kandung sang ibu, Mardin alkas Aco (35) masuk ke dalam rumah dan mengetahui kemenakannya Alfin( 2) bersimbah darah dileher belakangnya dalam kamar tidur , sekira pukul 17.00 wita. (selasa, 22/2/20)

Iklan Pemkot Baubau

Kasus kekerasan yang dilakukan orangtua terhadap anak kandungnya sendiri hingga meninggal dunia tak kunjung berhenti. Kasus serupa pun pernah terjadi seorang ibu muda berinisial NPA (21) tega membunuh anaknya yang masih balita dengan memaksa minum air dalam kemasan dengan jumlah banyak. (Tribunnews.com, 26/11/19)

Psikolog dari Universitas Kristen Maranatha Bandung Efnie Indriyani menilai, munculnya kasus-kasus orang tua nekat membunuh anaknya sendiri lantaran adanya patologi perilaku.

Menurut Psikolog Efnie Indriyani, patologi dan gangguan fungsi mental terjadi akibat individu telah kehilangan akal sehat. Ini bisa terjadi karena pelaku mengalami stres berat berkepanjangan, menahun, dan tak terselesaikan. Akumulasi masalah menumpuk, sementara secara ketahanan mental, seseorang tak mampu menanggulanginya.

Berkenan dengan hal tersebut, Efnie Indriyani mengatakan umumnya tindakan ekstrem muncul karena fungsi otak depan terhambat. Yang aktif justru amigdala di limbic system otak. Amigdala itu bersifat membajak logika, sehingga pelaku memberikan respons emosi sangat dahsyat dan spontan. Saat amigdala mengambil peran, orang seperti gelap mata dan tak mampu berpikir rasional.

Pembajakan amigdala terhadap fungsi otak depan atau logika terjadi dalam hitungan detik. Emosi negatif yang tersimpan di amigdala sudah begitu berat, memicu seseorang untuk melakukan tindakan tak rasional. Otak depan berfungsi sebagai pertimbangan rasional dan logika manusia, analisa berpikir yang baik, saat itu sama sekali tidak berfungsi. Sehingga, pada suatu titik, pelaku mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan persoalannya.

Senada dengan hal tersebut, dr Eka Viora, SpKJ, Ketua Pengurus Pusat Persatuan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) mengatakan ibu yang tega membunuh bayinya sendiri sangat mungkin mengidap gangguan jiwa. Gangguan jiwa berat ditambah dengan kondisi stres dan tidak adanya dukungan dari lingkungan bisa bermanifestasi menjadi perilaku sadis dan kejam.

Stres hingga berujung depresi merupakan perasaan alami yang bisa terjadi kepada setiap manusia, biasanya hal itu timbul karena terlalu banyak beban atau permasalahan berat yang tak kunjung usai. Dalam sistem kapitalistik saat ini bagaimana segala beban hidup diberikan kepada seorang perempuan. Yang tak hanya berperan sebagai seorang istri dan ibu, justru perempuan pun dijadikan sebagai tulang punggung keluarga.

Inilah yang menjadi rapuhnya ketahanan keluarga dimana peran suami/ayah yang kurang terhadap keluarganya. Sehingga peran wanita menjadi lebih dominan dalam keluarga. Maka wajar bila stres berujung depresi sering kali menimpa para ibu. Bahkan pula tak jarang bagi para ibu yang mengalami depresi tak mendapat perhatian dari pihak keluarga terdekatnya.

Menyikapi fenomena ibu membunuh anaknya memang tak bisa dipandang sebelah mata bahkan diabaikan begitu saja. Mengingat peristiwa-peristiwa mengerikan ini hampir terjadi setiap tahunnya. Dan apabila tak menemui solusi atas persoalan ini dipastikan kasus-kasus serupa pun akan terus terjadi.

Persamaan gender yang banyak didengung-dengungkan oleh kaum barat, ternyata telah merasuk ke tubuh kaum muslimah saat ini. Mereka telah tertipu dengan pemikiran kaum barat, bahkan tidak sedikit yang mengekor pemikiran tersebut. Kesetaraan gender membuat wanita “harus” bersaing dengan laki-laki dalam soal pekerjaan. Tipu daya ekonomi kapitalis membuat perempuan kehilangan perannya sebagai ibu dan istri. Sehingga faktor ini pun membuat para wanita menjadi strea berujung depresi.

Lantas bagaimana sebenarnya peranan wanita islam dalam membangun keluarga untuk menciptakan ketahanan keluarga yang kuat, serta mampu membangun generasi yang sesuai dengan peradaban islam?

Dalam perspektif Islam keluarga merupakan tumpuan utama dalam mempersiapkan generasi penerus peradaban. Dan ibu adalah pendidik pertama dan utama bagi seorang anak. Lantas bagaimana jadinya jika pendidik anak yang pertama dan utama ini tidak lagi mendampingi anak-anaknya? Bagaimana ketahanan keluarga mereka bisa terjaga?

Saat ini bekerjanya perempuan akibat tidak terwujudnya kesejahteraan keluarga sebagai akibat dari sistem ekonomi kapitalis. Tata kehidupan yang diatur dengan kapitalisme juga membuat para perempuan terpesona dengan jebakan pemberdayaan perempuan. Padahal Islam telah memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan dengan menetapkan beban nafkah dan peran sebagi kepala keluarga ada pada pundak suami, bukan pada dirinya.

Dengan begitu para ibu tidak harus bersusah payah bekerja ke luar rumah dengan menghadapi berbagai resiko sebagaimana yang dialami perempuan-perempuan bekerja dalam sistem kapitalis sekarang ini.

Bahkan negara akan memfasilitasi para suami untuk mendapatkan kemudahan mencari nafkah dan menindak mereka yang lalai dalam melaksanakan kewajibannya. Juga mewajibkan para wali perempuan untuk menafkahi, jika suami tidak ada. Dan jika pihak-pihak yang berkewajiban menafkahi memang tidak ada, maka negaralah yang akan menjamin pemenuhan kebutuhan para ibu.

Dengan jaminan yang diberikan oleh negara inilah yang akan mampu membentuk ketahanan keluarga sehingga para ibu tidak harus stres memikirkan masalah perekonomian hingga berujung depresi bahakn sampai membunuh sang buah hati.

Ketahanan keluarga ditandai terpenuhinya kebutuhan dasar individu dan berfungsinya komponen keluarga. Maka generasi berkualitas yang didambakan pun didapatkan.

Dengan penerapan hukum Islam kemuliaan para ibu (kaum perempuan) sebagai pilar keluarga dan masyarakat demikian terjaga, sehingga mereka mampu mengoptimalkan berbagai perannya, baik sebagai individu, sebagai istri, sebagai ibu, maupun sebagai anggota masyarakat. Wallahu A’lam Bishshowab.

HAMSINA HALISI ALFATIH