Umpamakan saja, negara ini bak cuplikan film Resident Evil. Dalam salah satu alur film, dikisahkan ada sebuah kota yang luluh dan dihabisi oleh kumpulan zombie. Siapapun warga kota yang kedapatan zombie, pasti diburu dan dimangsa hidup-hidup. Mereka yang dimangsa terinfeksi, dan jadi zombie juga.
Makin hari, zombie kian banyak, dan memenuhi kota. Alhasil, kota lumpuh total. Hanya ada sekelompok orang yang ‘lockdown’ pada salah satu gedung. Mereka bersembunyi dari intaian zombie.
Kelak, beberapa dari mereka tewas dimangsa dalam proses penyelamatan. Selang kisah, yang hidup berhasil melumpuhkan ‘pabrik biologis’ bernama Umbrella yang melancarkan proyek mutan. Ternyata zombie tidak terjadi alamiah, melainkan diproduksi menjadi satu kekuatan sesuai misi Umbrella. Diakhir film, semua manusia yang belum jadi mutan diselamatkan.
Usai nonton, saya jadi kepikiran Corona. Betapa dahsyatnya isu Corona. Dari sudut-sudut pelosok, hingga kota ramai bicara soal ini. Nyaris terlupakan persoalan yang lain. Misal, omnibus law, kasus Jiwasraya. Iya, hilang, dan terlupakan begitu saja. Padahal, masih ada harapan negara ini untuk bebas Corona, dan bersih-bersih di kemudian hari dari sejumlah beban persoalan lain. Seakan-akan ada pesimisme kolektif buah dari kewaspadaan, dan kecemasan berlebihan terhadap serangan Covid 19. Bangkitlah, masih ada hari esok bagi kita untuk hidup tenang!
Pasca ditetapkan sebagai pandemi global, pemerintah tidak tinggal diam. Langsung ambil langkah solutif. Salah satunya, himbauan untuk menerapkan lockdown. Berdiam diri di rumah dalam jangka waktu beberapa hari. Solusi ini beralasan, agar penyebaran virus tidak mewabah. Himbauan ini menggema hingga berbuah libur massal sejumlah institusi.
Saya berpendapat langkah ini ada benarnya. Akan tetapi, apakah lockdown benar-benar efektif? Ini perlu kita pikirkan bersama.
Selain urusan kesehatan, masih soal lain yang perlu dipikirkan. Ada aspek ekonomi. Ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Jangan salahkan, saat lockdown gencar dikampanyekan, masyarakat masih tetap berdagang kok. Dan disana, adalah zona yang lebih berbahaya. Bayangkan, begitu tinggi intensitas kontak fisik yang berlangsung? Tapi mereka seperti tak hirau lagi soal Corona.
Ketika saya berbincang dengan salah satu pedagang. Ia tak takut.
“Saya jadi tak takut Corona Pak. Kalau kami berdiam diri di rumah berhari-hari, mau makan apa coba. Belum lagi, modal yang kami olah di pasar ada hasil kredit. Coba kalau hanya tinggal di rumah, utang pasti menumpuk,”
Olala, miris juga mendengarnya. Benar situasi dilematis dibalik himbauan benar-benar terasa di masyarakat kita. Mau lockdown atau mati kelaparan? Begitu kira-kira tawaran opsinya. Dan ini benar-benar dialami masyarakat arus bawah.
Liat saja! Banyak pasar-pasar tradisional tetap beroperasi. Seakan-akan mereka yakini, Corona tak ada disini. Mereka mendidik jiwa mereka untuk tetap tegar ditengah bahaya serangan Covid 19.
Apakah kita menyalahkan mereka?
Di linimasa media sosial, saya membaca begitu banyak netizen yang menyalahkan mereka yang tak lockdown. Celaan, dan seabrek komentar negatif terus tersulut. Seakan-akan yang lockdown adalah pihak yang paling berjasa memerangi penyebaran Covid 19.
Jangan, jangan dulu gampang menuduh. Anda boleh jadi berjasa. Tapi mereka bisa saja didaulat sebagai pahlawan atas keluarganya. Dalam posisi ini, semua pihak harus berbesar hati. Hargai mereka yang tak lockdown. Tentu saja, barangkali ada alasan paling mendasar bagi mereka yang tak mengindahkan.
Coba bayangkan, jikalau mereka tak cari nafkah. Lalu anak-anaknya kelaparan. Belum lagi sewaktu-waktu tagihan utang membengkak. Kalian mau bilang apa?
Misal juga, pelaku transportasi online. Mereka tetap mencari penumpang. Karena di antara mereka, ada yang membagi hasil olah nafkahnya buat keluarga dan tagihan kredit kendaraan. Benar ada keringanan soal kredit, tapi apakah ada institusi yang menjamin bila kredit membengkak dan harus berurusan dengan debt kolektor.
Corona, memang mengharuskan kita untuk lebih banyak merenung. Begitu banyak alasan yang tak mampu diurai dengan langkah solutif dari pemerintah. Ada segenap jiwa raga yang merasa tak terlindungi apabila lockdown. Mereka merasa terancam.
Tak hanya pemerintah, semua pihak harus membijaki soal lockdown. Jangan salahkan siapapun. Intitusi boleh libur, tapi anak-anak dipedasaan tetap bermain dengan sebayanya. Mereka juga tak ingin kehilangan kebebasan. Ada alasan naluriah yang tak bisa dihentikan. Mereka seakan ingin membuktikan jika ketakutan terkadang harus dilawan. Salah satunya jangan terlalu digiring arus informasi yang sewaktu-waktu patut diragukan validitas dan tingkat keakuratannya.
Saya kembali terpikir Umbrella, jangan-jangan mereka yang tak lockdown sesungguhnya adalah segelintir dari penyelamat kemanusiaan. Bisa jadi. Selain soal kesehatan, ada beberapa hal yang perlu kita perangi seiring riuhnya isu Corona. Diantaranya, lesunya roda ekonomi. Ada kaitannya dengan catatan di atas? Tentu saja ada. Pikirkan!
JUFRA UDO