Lari Dari Singa

ILUSTRASI

Korona menjelma menjadi singa-singa liar tanpa ampun. Manusia adalah sasaran empuk berikutnya. Pejabat, rakyat, umat, jemaat, senat, birokrat, konglomerat, bahkan orang-orang yang masih sehat. Tidak boleh lengah sedikitpun karena semua bisa tertular.

Pilihan yang tepat itu lari. Sama seperti larinya zebra-zebra malang. Lari yang disertai rasa cemas dan takut bertubi-tubi. Tanpa pengecualian fisik, histori dan materi. Seakan tidak ada pilihan lagi, mengapa Tuhan berdiam diri.

Menjadikan ini sebuah dilema. Diprediksi tempat-tempat peribadatan akan sepi. Masjid, gereja, vihara, pura, kuil, klenteng dan tempat ibadah lainnya akan tutup. Umat dipaksa menjauh dari rumah Tuhan. Sekurang-kurangnya empat belas hari atau bisa lebih.

Istirahat dan berhenti berpikir untuk menikmati masa tenang dalam genggaman korona. Namun hidup harus terus berjalan dan berputar. Dunia hanyalah sementara, akhirat untuk selama-lamanya. Nikmati, syukuri dan hiasi sebab ada hikmah dibalik wabah.
Apa itu takut ?

Salah satu ujian sederhana tentang ketaqwaan seorang hamba kepada sang pencipta. Ketika seseorang dihadapkan pada kondisi seperti ini. Di satu sisi, ia diwajibkan berangkat beribadah. Di lain sisi, ia mempertimbangkan keselamatan.

Memang ini perkara yang memusingkan. Ibadah wajib harus tetap dilaksanakan. Sholat berjama’ah, jum’atan, tolabul ilmi, tarawih, tadarus, majelis taklim, memakmurkan masjid, i’tikaf, silaturrohim, berbudi luhur kepada sesama manusia dan masih banyak sederet perintah Tuhan yang lain.

Tak perlu 14 hari, sehari saja akan sangat menyiksa. Serasa ada sesuatu yang hilang. Mungkin beberapa juga merasakannya. Tetapi jangan egois, melindungi diri dari bahaya itu jauh lebih penting. Jangan sampai kau tertular dan menularkan. Berdiamlah di rumah kecuali ada urusan penting.

Akhirnya semua urusan batal demi makhluk bernama korona, termasuk urusan ibadah. Berkumpul dan bersama-sama beribadah di rumah ibadah untuk memohon ampun dan pertolongan kepada sang pencipta divonis merugikan orang lain. Andaikan besok kiamat, akankah kita masih bersikap seperti ini ? Semoga besok tidak kiamat karena korona bisa disembuhkan.

Ini semua terjadi akibat korona menjelma menjadi singa. Manusia dipaksa takut dan tidak berdaya dihadapannya. Takut menghadapi singa adalah usaha/ikhtiar dan itu juga perintah Tuhan. Hanya lari dan bersembunyi solusinya. Kalau begitu, kemana larinya akal pikiran yang Tuhan beri ?

Walaupun para pakar kesehatan mengatakan di dalam tubuh manusia ada tentara alami. Tentara tak terlihat dan tak takut mati. Tentara yang berani mengorbankan diri demi keselamatan manusia itu sendiri. Tentara tak kenal takut namun tetap tawadhu’ dan bersujud. Tentara tanpa tanda jasa.

Seorang pakar virus mengatakan, virus korona ini adalah makhluk yang rapuh. Dia mudah mati dan hancur saat “dimandikan” dengan air sabun. Dan bisa mati saat mediumnya kering/menguap akibat terpapar cahaya, panas dan matahari. Dia akan mati bila tidak ada medium yang menyelimutinya.

Bandingkan dengan singa. Dia tidak akan mati “dimandikan” dengan air sabun. Kecuali air sabun itu dipaksa masuk ke dalam perutnya sehingga meracuninya sampai mati. Singa dan korona sama-sama makhluk Allah tapi berbeda keganasan dan perilakunya. Kurang tepat bila dibandingkan.

Ahh..

Tidak berdosa meninggalkan ibadah (wajib) demi keselamatan diri dan orang lain. Itu bisa ditunda lain waktu dan tempat. Orang bilang, Tuhan maha pemurah dan pasti akan mengampuni kita. Nyawa tidak dijual dan itu lebih berharga, pungkasnya.

Para ahli hukum islam mengatakan, karantina, isolasi atau apapun namanya itu syariat islam. Tiada keraguan tentangnya. Wabah tho’un yang mematikan itu telah menjadi bukti catatan sejarah. Kaum muslimin dimanapun berada pasti mengingatnya. Wabah yang sangat mematikan dan menyebar sangat cepat.

Begitu mematikannya, seorang sahabat paginya jatuh sakit, sore sudah tiada. Sorenya sakit, pagi sudah tiada. Menunjukkan betapa ganas wabah tersebut. Sehingga diputuskan suatu kebijaksanaan untuk melakukan karantina wilayah. Dengan berbagai pertimbangan yaitu tingkat keganasan wabah yang sangat tinggi. Pagi jatuh sakit, sorenya wafat.

Dalam sejarah tersebut, tidak disebutkan bahwa umat dilarang mendatangi sholat berjamaah di masjid, jum’atan, majelis taklim, dan ibadah wajib lainnya. Justru perintahnya adalah untuk semakin taat, takut, tawakal dan tawadhu’ kepada sang pencipta.

Melarang umat untuk beribadah ke masjid adalah keputusan yang tidak proporsional. Teknik-teknik untuk menangani virus telah banyak disampaikan oleh para pakar. Membersihkan, membunuh, mencegah, menghindari dan melawan virus.

Bahkan air untuk kita berwudhu, mandi, mencuci tidaklah bebas dari virus. Jangan sampai hanya karena air wudhu tidak “suci” dari virus sehingga membuat orang takut berwudhu sehingga memutuskan tayamum. Bila ini terjadi, perlahan tapi pasti umat akan dibawa semakin jauh dan meremehkan Tuhannya.

Kematian, kemelaratan, bahaya, penyakit, bencana, wabah atau apapun tidak akan bisa mencelakai manusia tanpa izin Allah SWT. Janganlah terburu-buru nafsu, seakan-akan memvonis, memastikan semua manusia dimanapun berada pasti akan terkena wabah/penyakit. Demi Allah, katakanlah insyaa Allah !

Maka dengan izin Allah, wabah tho’un tersebut tidak berlangsung lama dan segera dimusnahkan dari muka bumi. Keadaan kembali normal seperti sedia kala. Yang demikian itu sungguh mudah bagi Allah. Semua datangnya dari Allah dan akan kembali kepada Allah.

Pada situasi yang serba tidak menentu begini, kebutuhan umat mendatangi rumah ibadah itu juga darurat. Perlu dibuat regulasi, bukan dilarang. Mungkin banyak yang bilang, kau ini egois ! Biarlah. Semoga secepatnya muncul pahlawan pembebas kita semua dari korona dan virus-virus yang lain.

Takut dan mewaspadai korona itu wajib dalam hal taat dan membantu pemerintah. Takut kepada singa itu juga wajib dalam hal melindungi diri. Takut kepada Allah dan Rosulnya itu tidak hanya wajib tetapi harus kaffah, ikhlas, insyaf, murni, teguh dan hakiki.

Sudahkah proporsional ketakutan-ketakutan itu menyelimuti alam pikiran dan tubuh ini ?

Wallohu a’lam bisshowab
Allahumma sholli ala muhammad wa ala ali muhammad.

HARISIANG