Depresiasi rupiah terhadap dolar yang mengganggu kestabilan ekonomi sudah kerap terjadi di negeri ini. Seperti dilansir dalam Bisnis.com, JAKARTA Kepanikan pelaku pasar terhadap pandemi virus corona (Covid-19) diperkirakan dapat memicu pelemahan nilai tukar rupiah lebih lanjut. Berdasarkan data Bloomberg, pada penutupan perdagangan Jumat (20/3/2020), rupiah ditutup melemah 0,30 persen ke level Rp15.960. Rupiah sempat menembus level terendah Rp16.225 pada pukul 15.00 WIB hingga akhirnya mereda.
Melihat hal ini, Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim menilai ada kemungkinan rupiah bakal menembus Rp16.350 pada Senin (23/3/2020). Pelemahan, lanjutnya, disebabkan oleh kepanikan pasar terhadap virus Covid-19 yang belum mereda.
Dalam perdagangan pekan depan di hari Senin, rupiah akan kembali melemah ke level Rp16.160-Rp16.350, katanya.
Ibrahim berpendapat Bank Indonesia sebaiknya tidak lagi memangkas suku bunga acuan untuk meredam kepanikan pelaku pasar. Dia menyebut, pemangkasan suku bunga justru menambah kepanikan pelaku pasar.
Bank Indonesia fokus melakukan intervensi di pasar Domestic Non Deliverable Forward [DNDF], karena saat ini kepanikan pasar yang mengakibatkan rupiah melemah, imbuhnya.
Dari sisi eksternal, lanjutnya, upaya global untuk menenangkan investor ekuitas dan obligasi dalam sepekan terakhir menggerus bukan saja saham dan obligasi. Namun, valuta asing juga terkena imbasnya sehingga investor berbondong-bondong memborong dolar AS.
Sementara itu, indeks dolar AS merosot 0,79 persen atau 0,81 menjadi 101,95. Sepanjang tahun berjalan, indeks dolar AS menguat 5,7 persen.
Kapitalisme Akar Masalahnya
Masalah depresiasi rupiah terhadap dollar sebenarnya salah satu penyakit dari sistem ekonomi kapitalisme yang secara inheren rentan menimbulkan krisis. Sehingga rupiah melemah dapat ditinjau dari faktor fundamental yang menjadi sebab krisis pada sistem ekonomi kapitalisme termasuk krisis mata uang yaitu:
Pertama, standar moneter. Saat ini standar moneter di seluruh dunia menggunakan mata uang kertas (fiat money) di mana nilai nominalnya tidak ditopang oleh nilai yang bersifat melekat pada uang itu (intrinsic value). Uang menjadi berharga lantaran ia dilegalkan oleh stempel pemerintah atau otoritas moneter suatu negara. Dampaknya, jika ekonomi atau politik negara tersebut melemah, mata uangnya ikut melemah. Standar tersebut juga membuat pemerintah lebih mudah untuk menambah pasokan uang yang selanjutnya dapat mendorong inflasi. Dampaknya, inflasi menggerogoti nilai kekayaan masyarakat dan mengurangi daya beli dalam jangka panjang. Kondisi tersebut membuat mata uang kertas menjadi salah satu sasaran spekulasi di pasar uang. Pemerintah tidak jarang harus turun tangan untuk melakukan intervensi pasar dengan menggelontorkan cadangan devisanya untuk menstabilkan mata uangnya. Jika kurang, mereka terpaksa berutang kepada negara lain ataupun kepada institusi terutama kepada IMF yang menjadi penanggungjawab utama sistem moneter global saat ini.
Kedua, sektor keuangan yang sarat riba. Sektor finansial yang berbasis riba merupakan salah satu pemicu utama krisis ekonomi yang melanda negara-negara kapitalisme di dunia ini. Transaksi perbankan dan jasa keuangan, perdagangan surat utang baik yang diterbitkan pemerintah maupun swasta, tidak lepas dari riba. Kebijakan bank sentral untuk mengontrol inflasi, mengendalikan nilai tukar mata uang, menstimulasi perekonomian juga menggunakan kebijakan yang antara lain berbasis riba.
Ketiga, pasar saham yang spekulatif. Dalam sistem ekonomi kapitalisme, selain dari perbankan dan penerbitan obligasi, pasar saham menjadi salah satu sumber modal perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas (PT). Perdagangan di pasar ini selain dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersifat fundamental, juga yang bersifat spekulatif. Bahkan aspek spekulasi sangat dominan di pasar ini. Dengan adanya liberalisasi investasi, investor dapat menyerbu dengan mudah pasar saham satu negara dan sebaliknya mereka dapat membuat indeks saham negara tersebut anjlok hanya karena suatu isu yang belum pasti.
Keempat, liberalisasi perdagangan dan investasi. Liberalisasi di sektor perdagangan membuat produk-produk asing membanjiri pasar domestik. Di sisi lain, akibat tidak adanya visi negara ini untuk menjadi negara yang tangguh dan mandiri, produsen dalam negeri dibiarkan bersaing bebas tanpa proteksi dan dukungan yang memadai. Akhirnya, barang-barang yang sangat penting seperti pangan dan produk industri-industri strategis yang semestinya diproduksi di dalam negeri, harus bergantung pada impor.
Islam Punya Solusi Jitu
Islam mengharamkan kebijakan liberalisasi ekonomi. Islam telah mengatur melalui firmanNya untuk menghindari riba yang telah nyata keharamannya. “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah: 275). Eksploitasi dan penjajahan akan mampu diatasi, jika riba yang diyakini sebagai alat hegemoni dihentikan. Kestabilan mata uang juga terjaga melalui pemberlakukan emas dan perak sebagai mata uang yang memiliki nilai intrinsik dan nominal yang sepadan.
Di sektor perdagangan luar negeri, seluruhnya harus terikat pada hukum syara dan diawasi oleh negara. Sebagai contoh, tidak semua negara boleh melakukan transaksi perdagangan dengan negara Islam. Islam melarang adanya hubungan dagang dengan negara-negara yang berstatus kafir harbi filan, negara yang sedang berkonfrontasi dengan negara Islam.
Barang-barang tertentu yang oleh negara dipandang dapat memperkuat negara-negara kufur dalam memerangi kaum muslim dilarang untuk diekspor.
Lebih dari itu, Islam mendorong agar negara khilafah dapat menjadi negara yang mandiri dan melarang ketergantungan yang dapat mengakibatkan negara-negara kafir menjajah negara tersebut. Oleh karena itu barang dan jasa yang esensial seperti pangan, energi, infrastruktur dan industri berat harus mampu dihasilkan secara mandiri. Kemandirian dan produktivitas yang tinggi akan mendorong negara khilafah menjadi negara eksportir barang dan jasa yang bernilai tinggi. Hal ini tentu saja akan memberi keuntungan berupa peningkatan cadangan devisa yang dapat dipergunakan dalam banyak hal untuk membangun kekuatan negara. Di samping itu, Islam mengharamkan adanya liberalisasi investasi.
Meskipun demikian, penerapan Islam secara komprehensif menjadikan kegiatan investasi menjadi sangat kondusif. Sebagai contoh, negara tidak diperkenankan menarik pajak kecuali pada saat pemasukan negara tidak mencukupi untuk membiayai pengeluaran yang bersifat wajib dan hanya hanya dikenakan kepada kaum muslim yang mampu; akses permodalan yang tidak mengenal istilah bunga; nilai tukar mata uang yang stabil; inflasi yang rendah dan terkendali; dan infrastruktur yang memadai. Negara, melalui Baitul Mal, juga terlibat secara aktif dalam menggerakkan perekonomian seperti pemberian subsidi dalam bentuk lahan, modal dan sarana lainnya. Dengan demikian, investasi akan berkembang sehingga ekonomi akan tumbuh dengan pesat, stabil dan-tentu saja-berkeadilan.
Implementasi sistem ekonomi yang berasas Islam dalam aspek moneter, fiskal, perdagangan luar negeri, investasi, sebagaimana yang dicontohkan di atas, tentu tidak mungkin diterapkan kecuali oleh negara. Di sisi lain, implementasi sistem ekonomi Islam juga tidak dapat dipisahkan dengan sistem lainnya di bidang pemerintahan, hukum, pendidikan, sosial dan politik luar negeri yang semuanya wajib diterapkan.
Oleh karena itulah, penegakan negara khilafah Islam menjadi suatu hal yang niscaya. Tak berlebihan jika ia disebut disebut sebagai mahkota kewajiban sebab banyak kewajiban hanya dapat terlaksana dengannya termasuk dalam bidang moneter.
Wahai penguasa, engkau seharusnya mengurus dan melindungi rakyat. Pemimpin atas manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang ia urus (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad). Wallahu alam bisshawab.
RISNAWATI (Penulis Jurus Jitu Marketing Dakwah)