Menakar Peran Ibu di Masa Pandemi Corona

NELLY, M.Pd

Untuk mengantisipasi penyebaran virus corona jenis baru atau Covid-19 di lingkungan lembaga pendidikan, maka sejumlah provinsi mulai (16/3) meliburkan sekolah, dari jenjang TK, SD, SMP dan SMA hingga (30/3). Kemungkinan akan masa libur ini akan diperpanjang mengingat jumlah korban semakin bertambah banyak, hingga tanggal 25 Maret jumlah yang positif corona sudah mencapai 720 lebih dan yang meninggal dunia hingga 42 orang lebih.

Sebagai ganti dari diliburkannya siswa sekolah, maka pembelajaran yang biasanya dilakukan di sekolah diubah menjadi di rumah. Siswa tetap mengerjakan semua tugas sekolah meski berada di rumah. Semua orang tua diminta kerjasamanya dan bimbingannya untuk mengawasi, mendampingi proses belajar anak selama berada di rumah.

Iklan Pemkot Baubau

Meski terlihat menyenangkan, pembelajaran di rumah bukanlah sesuatu yang mudah bagi para orang tua. Terlebih yang sudah biasa meninggalkan anak – anaknya karena harus bekerja setiap hari. Situasi ini membuat banyak dari orang tua yang mengeluhkan keadaan ini karena mereka yang jadi ikutan sibuk dirumah. Banyak juga dari orang tua yang mengaku stres harus mengawasi anaknya belajar di rumah dengan materi yang sangat banyak.

Situasi saat ini memang komplek, satu sisi kita memang harus menghindari penularan pandemi corona dengan diam dirumah tidak kemana – mana. Dan meliburkan anak – anak dari sekolah itu sebuah kebijakan yang benar. Namun di sisi yang lain maka kondisi ini akan memberatkan kaum ibu yang saat ini banyak berkecimpung diruang publik entah hanya ingin berkiprah demi karier atau ada juga demi membantu menambah keuangan keluarga.

Apapun itu, faktanya memang para ibu semakin kesininya telah menjauh dari peran utamanya sebagai ibu dan manager di rumahnya. Hingga terlihat adanya ketidaksiapan kaum ibu untuk menyiapkan bahan pembelajaran bagi anak di rumah, bahkan banyak yang merasa terbebani dengan diliburkannya anak – anak di rumah.

Sisi yang lain sistem pendidikan yang diterapkan saat ini juga hanya berorientasi pada nilai, angka, selesai kurikulum, hingga anak didik hanya disibukkan dengan mengerjakan tugas, PR yang banyak hingga muncul peserta didik ada yang sampai stres. Sistem pendidikan kita juga tidak lagi melihat aspek bagaimana agamanya, kepribadian anak didik, aspek aqidahnya, perilakunya, semua hanya dilihat dari aspek akademik dan materialistik.

Maka akan kita saksikan output hasil dari pendidkan kita hanya akan melahirkan generasi yang jauh dari sebaik-baik harapan emas peradaban. Semakin diperparah lagi dengan para ibu yang sudah teracuni pemikirannya dengan ide kesetaraan gender hingga memalingkan fungsi keibuan menuju peran pemberdayaan ekonomi.

Seyogiyanya memang dalam tatanan kehidupan materilistik, liberal yang lahir dari sistem kapitalis sekuler seperti yang diterapkan negeri ini akan menjadikan generasi kehilangan jati diri dan kaum ibu semakin jauh meninggalkan pemahaman agama dan semakin terbawa rusaknya sistem aturan kehidupan saat ini.

Saat ini fungsi ibu sebagai pendidik anak telah bergeser. Para ibu disibukkan dengan upaya mencari nafkah. Sebagian karena dorongan kebutuhan ekonomi, sebagian lagi termakan propaganda kesetaraan gender. Akibatnya, pendidikan anak dalam keluarga tidak berjalan sempurna. Orangtua mencukupkan pendidikan agama anak hanya dari sekolah yang jauh dari memadai. Tidak heran bila kemudian kerusakan anak justru berlangsung di keluarga. Penanaman nilai-nilai liberalisme dan sekularisme lebih banyak berlangsung dari televisi dan internet di rumah. Merokok, narkoba dan seks bebas sebagian besar ternyata juga dilakukan di rumah.

Fungsi ibu yang tidak berjalan juga terjadi di kalangan ibu-ibu tidak bekerja. Hal ini karena tidak adanya gambaran yang mereka miliki tentang fungsi keibuan yang mereka sandang. Mereka menikah dan punya anak seolah sebagai sebuah sksenario yang mesti mereka jalani seperti air mengalir. Tidak ada target dalam mendidik anak. Tidak pula merasa kelak akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Allah.

Malahan kita dapat menemui ibu-ibu yang justru menjerumuskan anaknya dalam kerusakan. Ibu yang mengajak anak kecilnya untuk menonton sinetron, infotainment, tayangan mistik dan sebagainya. Ibu yang menuruti semua keinginan anak, tidak memberikan batasan benar salah, baik buruk dan abai terhadap agama dan akhlak anak.

Padahal sejatinya dalam tatanan kehidupan sistem aturan Islam, sangat menjamin lahirnya generasi rabbani yang tidak sekedar cerdas secara akademik, namun juga menjadi generasi yang sholeh. Sistem inilah benteng pertahanan terbesar dari gempuran pemikiran dan paham asing yang begitu masif. Begitu benteng ini runtuh, pertahanan kaum Muslim melemah. Jadilah serangan pemikiran dan budaya asing langsung menghantam benteng terakhir dari kaum Muslim, yakni keluarga.

Dalam sistem Islam mengatur bahwa sebuah keluargalah hidupan anak itu bermula. Di sinilah anak mendapatkan pendidikan yang pertama dan utama. Di sini anak mendapatkan penanaman akidah sejak dini, pembiasaan pelaksanaan aturan Islam. keteladanan dari oran tuanya dan penguasaan aqidah sebagai dasar. Guru pertamanya adalah orangtuanya. Karena ayah terbebani kewajiban untuk mencari nafkah, maka tugas ini lebih banyak jatuh di tangan ibunya.

Penggambaran akan pentingnya fungsi ibu terdapat dalam hadis Rasulullah SAW: “Nikahilah oleh kalian wanita penyayang lagi subur, karena sungguh aku akan membanggakan banyaknya kalian di hadapan para Nabi pada hari kiamat.”(HR. Ahmad).
Kemudian dalam hadis lain Rasulullah juga bersabda:“Seorang perempuan adalah pemelihara` di rumah suaminya, ia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya.”(HR. Al-Bukhari)

Maka selayaknya para ibu menoleh kembali sejarah bagaimana para ibu hebat pada masa lalu dalam mendidik generasi emas peradaban. Meneladani upaya mereka, mengambil semangat perjuangan mereka. Mengikuti langkah mereka dalam mencetak generasi emas, khayru ummah ukhrijat linnaas, umat terbaik yang dilahirkan bagi manusia.

Saatnya kita bangkit sekarang. Kita coba untuk mengevaluasi dan memperbaiki diri agar sanggup menjadi seorang ibu pejuang. Ibu tangguh yang melahirkan anak-anak yang tangguh dan berkualitas.

Dan tentunya untuk menghasilkan generasi sholeh berkualitas dan mengembalikan peran utama ibu sebagai pencetak generasi unggul tidak akan bisa diwujudkan jika berharap dalam sistem aturan kapitalis sekuler seperti saat ini. Maka menjadi sesuatu yang urgent untuk kita mengupayakan agar sistem aturan kehidupan seperti yang dicontohkan kanjeng Nabi bisa segera diterapkan yaitu sistem aturan Islam yang akan membawa rahmat dan berkah bagi seluruh alam baik muslim maupun nonmuslim.

NELLY, M.Pd
Aktivis Peduli Ibu dan Anak