Covid-19 atau yang biasa disebut sebagai virus Corona, akhir-akhir ini menjadi buah bibir di berbagai kalangan. Pasalnya, virus yang pertama kali ditemukan di Wuhan China pada Desember 2019 merupakan virus yang bersifat Zoonosis (Penyakit yang dapat ditularkan antar hewan dan manusia) sehingga virus ini dapat menyebar dengan cepat di berbagai negara sehingga WHO mendeklarasikan sebagai pandemi global.
Di Indonesia sendiri, Covid-19 buming pada bulan Maret 2020 tepatnya semenjak pemerintah mengumumkan 2 orang positif virus corona. Sejak saat itu, kondisi Indonesia sudah tidak stabil lagi.
Jika kita flashback sedikit, bahwa WHO (World Health Organization) telah memperingati Indonesia agar mempersiapkan antisipasi dari jauh hari untuk mencegah masuknya Covid-19 dan menjadikan kejadian ini sebagai Bencana Nasional. Tapi pemerintah Indonesia tidak mengindahkannya dan lambat dalam penanganan kasus ini.
Sebagaimana Presiden Jokowi memerintahkan kepala daerah menentukan status bencana di daerah masing-masing dengan berkonsultasi dengan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) yang dikutip di detiknews (15/3/2020) “Saya minta kepada seluruh gubernur, kepada seluruh bupati, kepada seluruh wali kota untuk terus memonitor dan berkonsultasi dengan pakar medis dalam menelaah setiap situasi yang ada” Kata Jokowi di Istana Bogor, Jawa Barat.
Melihat hal ini, penulis merasa kebijakan yang di berikan oleh pemerintah tidaklah efektif, karena bisa jadi kebijakan yang dibuat di setiap daerah itu berbeda-beda dan bahkan bisa berakibat fatal. Selain itu, pemerintah pun seperti lepas tanggung jawab akan masalah ini dan menyerahkannya kepada daerah tanpa punya otoritas dalam menyampaikan kebijakan secara nasional.
Selain itu, kurang terbukanya pemerintah terkait informasi tentang virus ini membuat masyarakat tidak memiliki acuan untuk melindungi diri. Hal ini mengakibatkan dari hari ke hari banyaknya masyarakat yang terjangkit Covid-19 yaitu, 450 kasus, 38 meninggal, dan 20 sembuh (CNN Indonesia, 21/03/2020).
Belum lagi para tenaga medis yang berdiri di garda terdepan bahkan bertarung nyawa untuk menyembuhkan para pasien walaupun dengan APD (Alat Pelindung Diri) yang sangat terbatas. Padahal mereka yang cukup rentan terinfeksi karena berinteraksi langsung dengan para pasien Covid-19.
Dengan banyaknya korban yang berjatuhan, mengapa pemerintah tidak cakap (baca: melakukan lockdown) dalam mengambil tindakan. Apakah nilai persahabatan lebih penting dibanding nyawa rakyat? Atau uang lebih berharga di banding nyawa? Setidaknya kita masih memiliki sumber daya alam yang melimpah untuk mengcover masalah ini. Tapi apalah daya semua telah di kuasai oleh asing dan aseng.
Kemudian muncul pertanyaan, mengapa keadaannya bisa seperti ini? Seharusnya kita bisa belajar dari Korea Selatan dan Italia dalam mengatasi masalah Covid-19. Malahan yang kita lakukan adalah membayar influencer sebanyak 79 Milyar, membuka keran pada turis asing, dan para pekerja dari Tiongkok. Bisa di katakan ini merupakan kebijakan yang absurt menurut penulis.
Begitulah sistem ini bekerja. Hanya jargon semata semuanya untuk rakyat, tetapi berbanding terbalik dengan realita.
Seyogianya, pemerintah menyampaikan 1 komando agar semua masyarakat tidak panik akan pandemik ini, tetapi kepanikan ini juga terjadi akibat abainya pemerintah dalam menangani Covid-19. Seharusnya, dalam keadaan genting kerahkan semua tenaga dan dana untuk membantu masyarakat. Bukan malah membuat kebijakan yang justru tambah memperkeruh suasana.
Bukankah dengan membaca sejarah, kita bisa mengambil pelajaran dan memetik hikmah darinya. Sebagaimana yang pernah terjadi pada masa Umar bin Khattab yaitu penyakit Tha’un. Penyakit yang sangat ganas, mengapa? Karena apabila pagi hari terjangkit, maka malam hari meninggal dunia, begitupun sebaliknya. Akibat dari penyakit itu banyak sahabat yang meninggal dunia. Melihat hal itu Umar memerintahkan ‘Amru bin Ash untuk mencarikan solusi.
Bagaimana? Karena penyakit ini mudah tersebar saat ada perkumpulan maka pisahkan mereka. Ada ke rumahnya, lembah, bahkan gunung. Maka dalam hitungan hari semuanya selesai.
Apakah kita akan tetap diam melihat banyak kerusakan yang terjadi? Bukankah Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubahnya sendiri? Mau sampai kapan kita terkungkung dalam sistem yang rusak? Sudah saatnya kita beralih ke sistem yang benar-benar mensejahterakan yang sudah terbukti secara historis memuliakan para rakyat di bawah naungannya. Wallahu ‘alam.
NURUL FIRAMDHANI AS’ARY
(Pegiat Literasi Makassar)