Lockdown adalah istilah untuk sebuah tindakan darurat atau kondisi saat orang-orang untuk sementara waktu dicegah bahkan dilarang memasuki atau meninggalkan area atau bangunan yang telah ditentukan selama ancaman bahaya berlangsung. Biasanya ini dilakukan oleh pemegang otoritas. Istilah ini menjadi familiar setelah virus asal Wuhan-China menyebar dan menyerang negara-negara selain China. Tidak terkecuali negara Indonesia.
Bermula dari sikap pemerintah Indonesia yang menganggap enteng persoalan penyebaran virus ini dan cenderung berpandangan irrasional, sampai kemudian WHO mempertanyakan keseriusan pemerintah Indonesia dalam mensikapi persoalan ini. Sebuah pertanyaan yang sangat wajar, karena melihat upaya Indonesia dirasakan tidak begitu tanggap dan pada faktanya pemerintah Indonesia tidak luput dari sebaran penularan virus berbahaya tersebut.
Indonesia sebagai salah satu negara yang terjangkit virus covid-19 dan pasca BNPB menetapkan status ‘Darurat Corona Nasional’ jumlah penderita kasus yang terjangkit virus covid-19 ini terus bertambah setiap harinya. Seperti disampaikan melalui keterangan resmi pemerintah Indonesia 26/03, 2020, bahwa sampai saat ini yang dinyatakan positif terjangkit virus Covid-19 sudah mencapai 893 kasus, 78 kasus meninggal dunia, dan 35 orang dinyatakan sembuh. Jika dihitung perbandingan prosentase kematian akibat virus Covid-19 di Indonesia termasuk tergolong cukup tinggi.
Sejauh ini pemerintah Indonesia dibawah kendali Jokowi, menegaskan tidak akan mengambil langkah lockdown dengan alasan mempertimbangkan aspek ekonomi. Menurutnya, lockdown adalah langkah ekstrim yang berimbas pada perekonomian rakyat. Pasokan bahan pokok akan sulit diakses dan kebutuhan barang dan jasa akan lumpuh. Oleh karenanya melalui juru bicara pemerintah bidang penanganan Covid-19 Ahmad Yurianto menyatakan: “Kebijakan lockdown adalah opsi paling ekstrim yang tidak cocok untuk negara Indonesia hal ini menjadi dasar presiden Jokowi untuk tidak mengambil kebijakan lockdown.(NCBC Indonesia).
Pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi, hanya mengambil kebijakan phsycal distancing dan sosial distancing. Yang dirasa penuh kegamangan. Bagaimana tidak, satu sisi rakyat dikhawatirkan tentang banyaknya himbauan untuk tidak banyak berinteraksi sosial karena ancaman wabah, sisi lain rakyat seperti dilepas dalam interaksi untuk menutupi kebutuhan hidupnya. Alih alih menenangkan rakyat, yang terjadi rakyat akan terus diliputi kekhawatiran akan sulitnya akses untuk menutupi kebutuhan hidup dan dihantui rasa takut terhadap penularan virus; ditambah narasi tidak kompherensif yang dibangun Pemerintah terkait kebijakan lockdown.
Padahal para medis yang lebih memahami dalam urusan penyakit ini menyatakan, bahwa untuk memutus mata rantai penyebaran virus, maka lockdown adalah cara paling efektif. Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) cabang Jakarta, Erlina Burhan, mengatakan pertimbangan lockdown harus menjadi prioritas, beserta memerhatikan konsekuensinya.“Mungkin itu harus dilakukan, jangan sampai terlambat. Tapi tentu saja dipikirkan juga bagaimana distribusi makanan, obat-obat, bagaimana rakyat kecil yang dapat uangnya secara harian. “Itu kalau ada kompensasinya, mungkin orang akan patuh untuk tinggal di rumahnya,” kata Erlina.
Begitu juga ungkapan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang ketua satgas penanganan covid-19, Prof. Zubari Djoerban “Bahwa jika pemerintah tidak mau menggunakan istilah lockdown, maka tidak usah buat kebijakan ngawur, ujarnya.
Lebih kritis lagi ungkapan dari Ahli Clinical Epidemiologi, Dokter Tifauzia Tyassuma, yang surat terbukanya viral di media sosial. Berikut sedikit kutipannya: “Tolonglah Pak, pakai hati nurani Anda. Lockdown 1 bulan saja. Dan insyaAllah kita akan kuat walau miskin, tetapi kita selamat. Virus covid-19 hari ini sudah sanggup menaklukkan iklim tropis dan hanya tinggal tunggu waktu saja jadi malapetaka negeri yang tuna kesehatan ini.
Seyogyanya sebagai negeri muslim, Indonesia cukuplah melihat Islam sebagai contoh dalam menangani wabah menular ini. Islam sebagai agama paripurna yang kehadirannya dalam rangka menyelesaikan problem kehidupan, termasuk menangani wabah. Islam memerintahkan pengisolasian pada daerah wabah, dan melarang orang untuk berpergian ke daerah yang terkena wabah. Untuk yang sifatnya penyelamatan diri; Islam menitahkan untuk menghindari orang yang sudah terjangkit wabah, dengan tetap mengupayakan medis. Dalam istilah kekinian langkah isolasi dan pelarangan keluar masuk orang tersebut di istilahkan Lock Down. Bukan hanya itu dalam Islam menganut doktrin penyelamatan satu jiwa lebih berharga dari dunia dan seisinya.
Hanya saja kebijakan lockdown haruslah didukung sistem perekonomian yang mandiri. Yang tidak dipengaruhi kepentingan para korporasi seperti terjadi saat ini. Kebijakan Lockdown akan serasa ekstrim ditengah dominasi kapitalis terhadap perekonomian. Kebijakan lockdown akan terlihat ekstrim untuk proyek raksasa infrastruktur para cukong yang sedang berjalan dinegeri ini. Yang jelas para kapitalis kerukan kekayannya akan terhenti, dan proyek raksasa milik para cukong akan terhambat. Jadi ekstrim dan tidak cocok untuk siapa?
Sistem ekonomi dengan kemandirian tersebut adalah sistem ekonomi Islam yang dibangun atas dasar prinsip kepengurusan rakyat oleh negara. Dalam sistem ekonomi Islam dikenal konsep kepemilikan( pribadi, umum dan negara), pengelolaan kepemilikan dan pendistribusian kekayaan kepada seluruh manusia. Dari tiga pilar ini rakyat tidak dikhawatirkan akan kekurangan kebutuhan pokok, serta terganggunya distribusi harta umum dan negara kepada rakyat. Dengan begitu kebijakan lockdown berbanding lurus dengan psikologi rakyat. Semoga hal ini bisa disadari oleh lapisan kalangan masyarakat; agar kemudian para pemegang kendali bangsa ini meninjau ulang tentang sistem perekonomian yang dibangun saat ini, dan segera beralih ke sistem perekonomian Islam. Yang pasti lebih mampu mengatasi kompleks persoalan bangsa ini.
NURZAMAN VG Pemerhati Kebijakan Publik dan Belajar Sistem Ekonomi Islam