Fatwa Ulama dalam Kubangan Kapitalisme

MARHAMNI AULIA

Sepertinya pribahas kuno memang benar “Kematian satu orang adalah tragedi, kematian jutaan orang cuma statistik.” Bagaimana tidak, 48 masyarakat Indonesia telah meninggal dan yang terpapar virus corona sebanyak 514 orang dengan tingkat kematian mencapai 8,67% alias dua kali lipat ketimbang tingkat kematian di negara lainnya, namun masih saja belum mendapatkan perhatian dari pihak yang mempunyai tanggung jawab terhadap keselamatan rakyat.

Ummat bertarung menghadapi virus secara mandiri, dari pihak pemerintah tidak memberikan bantuan selama lockdown dijalankan sehingga masyarakat harus tetap keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Padahal menurut UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan menjelaskan bahwa pemerintah pusat bertanggung jawab selama karantina dijalankan.

Iklan Pemkot Baubau

Alih-alih penguasa diharapkan dalam hal ini, justru senantiasa melakukan kerja sama dengan para asing hingga berkunjung ke Indonesia. Percuma saja rakyat menutup pintu rumah rapat-rapat kalau toh ternyata para turis asing termasuk china dibukakan pintu lebar-lebar masuk ke Indonesia padahal mereka adalah sumber pandemi virus Corona. Dengan alasan perekonomian yang harus tetap jalan untuk kestabilan negara.

Tentu perekonomian dalam sebuah negara adalah penting namun ketika dihadapkan pada permasalahan yang mendesak seperti terancamnya nyawa rakyat maka negara perlu melakukan tindakan yang tegas. Namun disayangkan Para kapitalis memang hanya memikirkan materi saja, bahkan disaat genting seperti inipun mereka tetap memperlihatkan keburukan sistemnya.

Mengorbankan ribuan nyawa demi keuntungan segelintir pengusaha dan penguasa. Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Komisi Fatwa mengimbau umat Muslim di wilayah yang terdapat kasus infeksi virus Corona untuk tidak menunaikan shalat berjamaah di masjid sementara waktu. Namun ternyata sebagian rakyat mempermasalahkan fatwa tersebut.

Alasannya adalah kenapa hanya mesjid saja yang ditutup sementara tempat-tempat yang lainnya seperti pasar, mall, diskotik atau tempat-tempat yang biasa dikunjungi banyak orang tidak ditutup. Padahal itu juga bisa menjadi penyebaran virus.

Ranah ulama di sistem hari ini hanya ada pada masalah ritual keagamaan saja, mereka tidak dibiarkan memasuki urusan perekonomian, pemerintahan, perpolitikan dan lain sebagainya. Sehingga pasar, mall, club dan tempat-tempat lainnya tidak bisa diurusi oleh ulama karena itu adalah urusan para mentri. Buruknya lagi adalah fatwa ulama sifatnya tidak mengikat secara umum sehingga masyarakat tidak memiliki kewajiban mengikuti fatwanya. Dalam hal ini ummat tidak terikat pada satu aturan dan menjadikan mereka terombang-ambing.

Ketika para ulama dengan kapasitas ilmu yang dimilikinya mengeluarkan fatwa tentang larangan sholat berjamaah tentu berpatokan pada Islam, dimana Rasulullah pernah mengajarkan lockdown dan dipraktikkan pada masa Umar bin Khattab dengan rekomendasi yang diberikan oleh seorang gubernur untuk berpisah-pisah karena perkumpulan bisa memungkinkan penularan virus lebih banyak.

Maka tentu berbeda dengan para mentri yang menjadikan sekuler kapitalis sebagai pandangan hidup yang tidak akan mampu memberikan solusi tuntas terhadap sebuah permasalahan sebab kepentingan umum akan selalu bersebrangan dengan kepentingan pribadi. Sehingga yang harus diselamatkan adalah kepentingan pribadi.

Dari berbagai tindakan yang mereka lakukan mulai dari melindungi 49 Tenaga kerja asing hingga penghimbauan kepada masyarakat untuk tidak mengkritisi Jokowi terkait virus corona. Para kapitalis memang tidak mempunyai informasi sebelumnya dalam menyelesaikan persoalan hingga mencapai titik terang, melainkan solusi yang ditawarkan selalu berubah-ubah dan tidak mengubah apa-apa.

Dalam sekularisme yang dijadikan sebagai sebuah metode sistem bernegara hari ini, masalah keagamaan dipisahkan dengan urusan publik. Tidak bisa dicampur adukkan. Meskipun faktanya urusan publik bisa mencaplok urusan agama sesuai dengan kepentingan mereka.

Maka wajar saja jika ulama sudah berfatwa namun tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Bahkan itu menjadi kesempatan penguasa untuk mengalihankan fokus ummat Islam agar tidak menyerang atau menuntut karena kebanyakan sibuk menyalahkan ulama yang hanya menutup mesjid.

Seharusnya ummat Islam sadar bahwa dengan adanya pemisahan-pemisahan urusan agama dan publik dalam mengatasi permasalahan negara, sudah cukup menjadi bukti bahwa sekuler kapitalisme tidak bisa dijadikan sebagai sistem dalam bernegara terutama di negeri-negeri kaum muslim. Sebab ia akan hanya mendatangkan mudharat yang besar berupa tidak terselesaikannya sebuah permasalahan dengan cepat dan tuntas.

Dalam sistem Islam, seorang penguasa adalah yang mempunyai wewenang dalam memerintah serta berkewajiban mengurusi segala permasalahan dan menjadi pelayan bagi ummat. Baik itu menyangkut ritual agama, politik, dan ekonomi agar ummat Islam bisa bergerak di bawah satu komando yang mengikat. Itu adalah tugasnya pemimpin, memberikan perlindungan kepada masyarakat yang merasa tidak aman.

Kebutuhan ummat Islam terhadap pemimpin yang tegas sudah tidak perlu dipertanyakan lagi, keselamatan rakyat hanya akan terjamin dibawah kepimpinan Islam. Hanya sistem Islamlah yang bisa melahirkan pemimpin-pemimpin tegas dan mampu mengurusi ummat secara totalitas menurut syari’at Allah. Wallahu’alam.

MARHAMNI AULIA (AKTIVIS BACK TO MUSLIM IDENTITY)