Sudah 12 hari, terhitung sejak tanggal 16 Maret 2020, seluruh sekolah seantero Nusantara di liburkan untuk menghindari penyebaran yang lebih luas dari Virus Covid-19. Para siswa dan guru di anjurkan untuk “Self Quarantine” mandiri dirumah masing-masing dalam menghadapi wabah yang telah menjadi pandemik diseluruh dunia tanpa terkecuali Indonesia. Proses belajar mengajar pun berpindah di rumah masing-masing. Siswa “belajar” dirumah dan guru “mengajar” dirumah. Kekuatan gadget sekaligus paket data menjadi barang wajib proses belajar mengajar ini.
Sekilas terlihat menyenangkan, namun pada faktanya belajar dirumah bukanlah hal yang mudah bagi para orang tua. Terlebih dalam waktu yang cukup lama. Guru yang bekerja dari rumah, setiap hari mengirimkan tugas termasuk memantau perkembangan anak didiknya dirumah dengan bantuan orang tua siswa menjadi “beban” tersendiri bagi orang tua. Belajar dirumah justru menimbulkan banyak masalah yang beragam, bahkan ada orang tua yang mengaku stress. Termasuk anak mendapatkan imbasnya.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima aduan terkait anak-anak yang stres akibat diberi banyak tugas secara online. KPAI meminta Dinas Pendidikan melakukan evaluasi terhadap para guru. (https://news.detik.com/berita/d-4944071/siswa-belajar-dari-rumah-kpai-anak-anak-stres-dikasih-banyak-tugas). Masalah lain pun bermunculan misalnya ketersediaan gawai, yang menjadi barang wajib saat masa “Self Quarantine” ini. Sebagaimana yang dilansir di Republika.Co.Id; Orang tua murid lainnya, Inung, mengatakan tidak semua orang tua bisa menyediakan fasilitas bagi anaknya belajar di rumah. Alasannya, banyak wali murid yang mengeluhkan belajar di rumah, karena tidak semua anak memiliki gawai.
“Masih mendingan kalau anaknya punya HP sendiri-sendiri. Tadi pagi ngobrol sama ibu-ibu belanja sayuran, katanya anaknya tiga SD semua tidak punya HP. Jadi pakai HP ibunya, langsung hang,” kata Inung. Inung mengatakan, menjadi pengawas bagi anak yang belajar di rumah memiliki tantangan tersendiri. Yakni, bagaimana disiplin dengan waktu. https://republika.co.id/berita/q7dlrn409/murid-belajar-di-rumah-stres-orang-tua-dan-kendala-lain. Belum lagi dengan Ayah Ibu yang masih harus bekerja diluar demi mencari nafkah. Tentu si Anak tidak maksimal dalam pengawasan serta seabrek masalah lainnya yang menunjukkan ketidaksiapan selama masa “Self Quarantine” terkhusus dalam proses belajar mengajar mandiri dirumah yang tidak bisa lepas dari peran 3 stake holder kehidupan sosial ini, yakni Negara, Masyarakat dan Keluarga.
Kegagapan pemerintah dalam menangani Covid-19 berimbas terhadap perempuan (ibu) dalam kondisi “simalakama”. Kebijakan setengah lockdown dengan meliburkan anak-anak dari sekolah membongkar kegagapan perempuan dalam mendidik anak terlebih yang belum baligh. Tersebar keluhan demi keluhan bahwa para ibu kelimpungan dan kewalahan menghadapi kondisi anak masing-masing. Para ibu juga kebingungan menyiapkan “kurikulum” dan metode pembelajaran seperti apa untuk mengarahkan anak-anaknya dirumah.Pun demikian sang anak yang bersuara perihal bundanya lebih galak, lebih tidak sabar, lebih buruk dalam mengajar dibanding guru mereka di sekolah.
Namun apa daya, kegagapan ibu ini didiamkan oleh aktivis feminisme dan negara demi label negara yang komitmen pada kesetaraan gender. Feminisme yang selama ini berada dalam naungan kapitalisme telah menggariskan bahwa dalam mengejar ‘kesetaraan’ konsekuensi logis yang harus terjadi adalah perempuan dicetak menjadi pekerja. Sama sekali tidak ada cetakan sebagai istri terlebih ibu generasi. Ibu generasi yang memiliki ilmu dan bekal sebagai ummu wa robbatul bait yang sesungguhnya. Ibu yang selayaknya menjadi guru yang sesungguhnya bagi anak-anaknya. Yang mampu memberi kenyamanan dan ilmu kehidupan bagi si anak dalam menghadapi tantangan kehidupan. Sehingga terciptalah generasi yang kuat, bukan generasi yang lemah. Sebagaimana Firman Allah SWT :“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An Nisa : 9)
Efek dominonya kaum lelaki merasa tidak perlu ada tanggung jawab nafkah bagi perempuan yang telah ‘mandiri’ yang menjadi tanggungannya. Serta menjadikan sekolah adalah jasa laundry anak. Berharap anak disekolahkan dengan biaya yang mahal maka secara otomatis karakter buruk anak kita menjadi baik. Sehingga ketika anak dirumah seharian dengan watak yang sulit diatur maka orang tua pun menjadi stress. Lantas bagaimana dengan wanita karir?
Kondisi berikutnya, ketelibatan perempuan dalam penanggung nafkah menempatkan perempuan terpapar langsung persebaran virus Covid-19 ini. Gaungan lockdown yang terus bergulir membuat kecemasan memburuk di kalangan perempuan. Meski para perempuan bekerja ini memiliki potensi tinggi menjadi carrier virus Covid-19 hingga sakit, namun semua itu diterabas demi sesuap nasi. Tentu saja hal ini diamini aktivis feminisme dan negara atas nama pertumbuhan ekonomi.
Jika saja perempuan dibiarkan dalam koridornya, tidak dipaksa keluar jalur, dan tak memaksakan sesuatu yang mustahil didapatkan, maka tak ada ibu yang gagap mendidik generasi yang lahir dari rahimnya sendiri. Pun tidak ada perempuan yang harus antara hidup dan mati demi titel berpenghasilan dan pertumbuhan ekonomi.
Dalam Islam telah ada koridor aturan teruntuk khusus bagi perempuan, pun koridor aturan khusus bagi laki-laki. Meski nampak mustahil, nyatanya Covid-19 memaksa perempuan ‘kembali ke rumah’, hadir untuk putra-putrinya. Pun makhuk Allah bernama Covid-19 menjadikan sholat jamaah menjadi sedemikian langka, mewah dan berharga bagi kaum laki-laki.
Sehingga ketika perempuan sudah dipersiapkan sejak awal menjadi ummu warobatul bait dan ummu madrosatul ula seperti yang diwajibkan dalam Islam, maka tak ada kekhawatiran ketika anak-anak kembali ke rumah karena akan tetap mendapatkan pendidikan terbaiknya. Bukan tergagap kebingungan bagaimana menghadapi lockdown di rumah atau bahkan stress dibuatnya.
Selayaknya, sebaran Covid-19 di negeri-negeri muslim membawa hikmah bahwa bisa jadi peristiwa ini adalah teguran. Teguran hamba yang berlagak menjadi Tuhan dengan seenaknya membuat aturan sesuai hawa nafsu mereka. Wallahu’alam bishowwab.
NINING JULIANTI, S.Kom (Pemerhati Sosial)