Berapa Gajimu Ayah-Ibu, Gurita Covid-19 Kau Masih Kerja?

Berapa Gajimu Ayah-Ibu, Gurita Covid-19 Kau Masih Kerja?
IKA RINI

Wabah virus Covid-19 layaknya seperti gurita tiap detik, jam dan harinya semakin bertambah. Dunia seakan terporak-poranda, tetesan kedamaian menjadi kering, hanya tangis dan jeritan menghampiri.   Amat kasihan dengan si orang yang pura-pura tuli, menganggap ini jangan disikapi berlebihan. Santuyy saja, dengan keadaan katanya! Penulis sontak teringat dengan sebuah film ‘The Flu’ milik Korea Selatan 2013 yang disutradarai oleh Kim Sung-su tentang wabah virus H5N1 penularannya begitu cepat, mematikan dan membunuh korbannya dalam waktu 36 jam.

Kasus virus di atas tidak bisa dianggap main-main, ini persoalan nyawa yang melayang. Ikhtiar itu perlu, walau setiap yang bernyawa pasti akan menjumpai yang namanya kematian. Sebab, yang Allah akan tanyakan itu, bukan “Kenapa kamu mati gara-gara Corona?, Tetapi apa yang kamu lakukan dalam mengahadapi virus tersebut?”. Menarik sekali penjelasan pak Ahmad Rusdan, Ph.D yang muncul di tv nasional beberapa hari yang lalu.

Iklan Pemkot Baubau

Maka wajar saja, jika beberapa negara memutus rantai penyebaran dengan memberlakukan Lockdown. Namun, negara +62 tidak memilih kebijakan lockdown dengan beberapa alasan. Salah satunya karena “Indonesia memiliki karakter, budaya, kedisiplinan yang berbeda-beda. Olehnya kita memilih jalan itu,” Kata Pak Jokowi di istana merdeka (24/3) seperti dikutip AntaraNews.

Menurut hemat penulis, kalau misal upaya lockdown tidak perlu di negara +62, mengapa nyawa berpamitan semakin bertambah 790 orang, meninggal 58 dan sembuh 31 orang (CNNindonesia, 25/3/20). Ada apa? Lockdowntidak perlu karena alasan di atas, atau karena tidak punya uang? Jujur saja pak, jujur itu menggairahkan. Agar kami rakyat tidak terlalu banyak nuntut ini-itu, agar kami mengerti kondisi +62 diambang krisis ekonomi. Tapi mengapa bisa negeri yang kaya akan SDA tidak ada uang? Apakah SDA sudah dikuasai asing? Apakah pancasila-demokrasi membolehkan yang demikian?

Menurut pemerintah yang paling cocok di terapkan di Indonesia adalah menjaga jarak fisik antar individu masyarakat alias physical distancing. Imbauan untuk menghindari keramaian dikumandangkan tiap daerah. Tapi, masih saja ada individu nakal yang masih ke luar rumah. Padahal ajakan ‘di rumah aja’ marak disosialisasikan.

Meraka punya alasan kuat. Mereka juga gelisah, takut atau apapun itu. Misal buruh harian, tanpa bekerja kita tidak ada nafkah, kita mau makan apa dengan di rumah aja. Tenaga medis misal, tanggung jawab tugas dalam profesi mereka, tetapi di tengah fasilitas yang tidak memadai tentu ada kekhawatiran. Apalagi, jika ingat anak dan keluarga di rumah. Jika tenaga medis adalah pahlawan kemanusiaan, maka kalian buruh harian, kalian juga pahlawan bagi keluarga di rumah.

Sebuah fakta percakapan miris yang menyayat hati, mungkin kalian juga merasakannya. “Berapa Gajimu wahai Ayah-Ibu? ini saya punya tabungan agar kalian bisa tinggal di rumah menemani kami”. Teriakan ayah-ibu di luar sana, “Kami juga mau tinggal bersama kalian nak di rumah, tapi jika kami tetap tinggal di rumah kalian mau makan apa? Kerasnya hidup di era kapitalisme-sekularisme memaksa  kami melakukan hal yang tidak wajar. Kami paham diliburkannya kalian (belajar di rumah) bisa menjadi wadah kami mengembalikan sosok Ayah-Ibu ke kalian yang sudah mulai terkikis.Karena menitikberatkan tanggung jawab mendidik ke sekolah, sebab kami terlalu sibuk mencari materi”.  Anak tersebut seketika itu terdiam, benar ayah ibu.

Gaungan kesetaraan gender, pun semakin nyaring dikumandangkan, mendidik anak di rumah dikatakan tidak maksimal karena tidak menghasilkan materi (diilusi bayang-bayang feminis). Fakta ini pun menyasar kaum pria mendidik anak ditekankan hanya kepada isteri, padahal mendidik anak dibutuhkan peran kedua orang tua. Lempar tanggung jawab pun terjadi antara si orang tua dan  guru (pendidikan). Faktanya kekacauan dimana-mana (krisis moral dll).

Beginilah jika manusia keras kepala dengan tidak memakai sistem Islam dalam mengatur kehidupan. Padahal sejarah sistem Islam menunjukkan keberhasilannya mengatur hidup dari berbagai lini kehidupan. Baik pendidikan, kesehatan (masalah wabah), dan peran ibu-anak dan lain-lain. Islam punya jawaban. Apalagi alasan kita menolak sistem ini? Mungkin kurang literasi (fakta) mari sama-sama duduk menyelesaikan persoalan menggurita!

Tidak seperti sekarang, apa-apa hanya himbauan, tergantung individunya mau taat atau melanggar. Lempar tanggungjawab pun terjadi, diberikan kepada lembaga kemanusiaan. Maka jika lembaga kemanusiaan menjamur di sistem kapitalis yah wajar. Karena yang punya tanggungjawab lupa tanggung jawabnya. Kudu diingatkan mungkin. Kritik lagi, begitu terus! Tidak bosan begini terus?

IKA RINI PUSPITA (PEGIAT LITERASI MAKASSAR)