Alamak Kebijakan Lockdown Harap – Harap Cemas

KIKI ZASKIA

Wabah Covid-19 salah satu qadarullah yang harus dihadapi pada abad-21 untuk semua manusia di belahan bumi manapun. Qadarullah ini tak mengindikasikan untuk senantiasa berpasrah dengan keadaan yang terjadi. Namun kemudian, menjadi sebuah keadaan menimpa setiap jiwa secara individu maupun jiwa setiap negeri secara kolektif. Sehingga keadaan ini mengharuskan untuk tetap berikhtiar dan tawakal dalam menghadapi, menjalani, dan menuntaskan wabah covid-19. Adapun upaya Negara maju maupun negara berkembang yang sekarang sedang berjibaku mengupayakan memutus rantai penyebaran virus covid-19 dengan berbagai kebijakan salah satunya yaitu langkah preventif.

Di Indonesia untuk sementara ini korban wabah covid-19 terus meningkat. ”Ada penambahan kasus konfirmasi positif sebanyak 109 sehingga totalnya 1.155 orang (kasus),” ujar Achmad Yurianto. (Dilansir Kontan.co.id ,(28/3/2020)

Iklan Pemkot Baubau

Dalam kondisi peningkatan kasus positif covid-19 di Indonesia memiliki angka mortalitas dengan persentase besar. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), kasus kematian akibat Covid-19 di Indonesia mencapai 8,09 persen. (Dilansir Indozone.id, 20/3/2020)

Hingga saat ini langkah preventif yang di instruksikan pemerintah adalah physical distancing yang dinilai pemerintah dapat menekan penyebaran virus. Meskipun begitu langkah physical distancing jika dilakukan evaluasi maka tentu belum efektif menekan penyebaran virus terbukti dengan semakin meningkatnya kasus positif covid-19 di Indonesia.

Padahal dalam UU NO.6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan dalam ketentuan umum telah mengatur karantina wilayah atau bisa disebut dengan lockdown. Berdasarkan ketentuan umum karantina wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang juga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.

Sementara itu, dalam surat pada 14 maret 2020 lalu, PA PAPDI meminta Ikatan Dokter Indonesia (IDI) merekomendasikan kepada pemerintah untuk melakukan karantina wilayah di daerah yang telah terjangkit covid-19. Selain PB PAPDI, desakan serupa juga muncul lewat rekomendasi strategi penanganan covid-19 yang dikeluarkan 9 organisasi tenaga kesehatan. Selain PB PAPDI, organisasi yang mengeluarkan pernyataan serupa adalah Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI), Laboratorium Eijkman, RS Cipto Mangunkusumo, RSUP Persahabatan, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Wecare.id (Dilansir tirto.id, 20/3/2020)

Dalam hal ini, tentu saja yang ahli dibidangnya yang sangat berkapasitas untuk memberikan saran kepada pemerintah dalam langkah mengambil langkah preventif yang dapat menyelamatkan jutaan penduduk di Indonesia. Namun hingga kini, pemerintah belum mau mengamalkan UU NO.6 Tahun 2018 tentang karantina kesehatan seperti yang disarankan dengan berbagai dalih. Pemerintah masih bertahan dengan langkah preventif physical distancing, salah satu alasan pak presiden dicuitkan dalam akun twitternya, beliau mencuitkan “ Setiap negara memiliki karakter, budaya, dan tingkat kesiplinan yang berbeda-beda. Dengan pertimbangan itu, menghadapi covid-19 ini, kita tidak memilih jalan lockdown. Di negara kita, yang paling tepat adalah physical distancing yakni meminta setiap warga menjaga jarak aman.”. Selain itu, pertimbangan ekonomi yang akan terpukul juga dipertimbangkan, “Lebih jauh, pak Jokowi mengatakan bahwa dampak virus corona terhadap perekonomian Tanah Air pasti sangat terganggu. ” (Dilansir voaindoensia.com, 24/3/2020).

Sehingga, mortalitas yang tinggi dalam kasus wabah covid-19 tak membuat pemerintah bergeming dengan serius. Harusnya keselamatan rakyat lebih dikedepankan secara efektif dan cepat. Himbauan para ahli pun seolah angin lalu, justru persoalan kultural turut diangkat lagi dan ketakutan akan krisis ekonomi yang sangat dinampakkan oleh pemerintah. Dalam keadaan genting seperti ini masalah lainnya bukan menjadi prioritas utama, mengingat penyebaran covid-19 yang sangat mengganas dan mengkhawatirkan rakyat. Jika persoalan kultural dan ekonomi yang menjadi alasan anjuran untuk karantina wilayah atau lockdown tidak diwujudkan sesungguhnya pemerintah sedang membalik amanat UU Kekarantinaan Kesehatan yang notabenenya juga disahkan oleh pak presiden Joko Widodo. Cukuplah suara para ahli kesehatan menjadi prioritas utama untuk dijadikan langkah pertimbangan dalam menghadapi covid-19, tanpa bermaksud menyepelekan kondisi perekonomian dalam negeri. Yang menjadi pertanyaan, apakah rakyat yang akan menjadi korban?

Dalam islam lockdown adalah solusi yang berasal dari Rasulullah. Yang juga telah diterapkan pada masa kepemimpinan khalifah Umar Bin Khattab ra dalam mengahadapi wabah tha’un.
Rasulullah saw bersabda:
“Apabila kalian mendengar wabah tha’un melanda suatu negeri, maka jangnlah kalian memasukinya. Adapun apabila penyakit itu melanda suatu negeri sedang kalian ada didalamnya, maka jangnlah kalian keluar dari negeri itu.” (Mutaffaqun ‘alaihi)

Adapun persoalan ekonomi yang dihadapi Indonesia karena wabah covid-19 bukanlah menjadi sebab utama lemahnya perekonomian namun bagian dari dampak yang artinya semakin larut covid-19 dialami di Indonesia maka kondisi krisis ekonomi akan semakin panjang. Sehingga jika langkah tepat diambil pemerintah dalam menangani covid-19 maka justru akan memberikan maslahat yang lebih baik pada kelangsungan ekonomi di Indonesia.

Penyebab utama, karena lemahnya kondisi ekonomi Indonesia yaitu kejayaan kapitalisme yang membuat negeri-negeri dibawah negeri adidaya menjadi terpuruk saat wabah terjadi, negeri lemah yang tidak bisa menjadi mandiri. Salah satunnya Indonesia meskipun dengan kekayaan alam yang melimpah pengelolaan sumberdaya alam yang ada sangat bergantung pada investor baik lokal maupun asing. Swastanisasi sumberdaya alam yang seharusnya semata-mata dikelola negara demi kepentingan rakyat semata menjadi kepentingan segelintir orang.

Sangat jauh berbeda jika sistem Islam menjadi aturan hidup. Ekonomi islam dalam hal pengelolaan sumberdaya alam hanya untuk kepentingan rakyat bukan untuk dinikmati oleh pengusaha atau segelintir orang. Sumber daya alam adalah kepemilikan umum. Sebagaimana, Rasulullah saw bersabda;
“Manusia itu berserikat (punya andil) dalam tiga perkara, yaitu: air, padang rumput, dan api”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Selain itu, busuknya sistem kapitalisme justru menjadi tawaran pinjaman ribawi dari negeri adidaya kapitalisme menjadi ladang bisnis ditengah wabah seperti Corona Loan IMF, Rapid Credit Facility (RCF) dengan bunga 1,5 persen dalam jangka waktu pengembalian 3-5 tahun. Dana yang digelotorkan sebesar 40 milliar dolar AS dialokasikan untuk negeri-negeri berkembang. Lalu, 10 miliar dolar AS dialokasikan khusus bagi negara berpendapatan rendah, diisitilahkan Rapid Financing Instrumen (RFI) dengan bunga nol persen dalam jangka waktu pengembalian 10 tahun (grace periode hingga tahun ke-5). (Dilansir MuslimahNews.com, 20/3/2020).

Cengkeraman akibat mengadopsi ide kapitalisme-sekuler sebagai aturan hidup global saat ini benar-benar telah dirasakan ketika wabah covid-19 hadir. Kondisi negeri lemah karena tidak mandiri akibat desain negeri adidaya, juga distribusi kekayaan alam yang seharusnya koletif justru jadi kepemilikan pribadi. Jika wabah benar menjadi salah satu sebab lahirnya peradaban yang lebih baik maka ibrahnya yaitu dicampakkannya ide kapitalisme-sekuler sebagai pengatur kehidupan.
Tidak ada riayah umat yang lebih baik selain riayah umat dengan institusi islam. Islam mengatur seluruh aspek kehidupan bukan sebagai agama ritual semata. Wallahu a’lam bishawab.

KIKI ZASKIA (PEMERHATI SOSIAL)