Kegamangan masyarakat di tengah pandemi amat terasa mulai dari terbatasnya APD, kebutuhan yang makin mahal, khawatiran masalah dapur yang ingin tetap ngebul padahal di luar sana ada makhluk kecil yang siap menyergap dan rentetan masalah lainnya karena ulah virus yang berasal dari Wuhan ini.
Untuk Indonesia dampaknya sungguh luar biasa tak hanya masalah kesehatan tapi juga pendidikan, perpolitikan, kekuasaan dan juga ekonomi. Sejak muncul kasus pertama di awal Maret pemerintah gelagapan menghadapi wabah yang telah di tetapkan WHO sebagai pandemi ini. Masyarakat yang kurang edukasi sehingga menganggap ini hanya masalah kecil.
Namun melihat penyebaran yang begitu cepat hampir semua provinsi terpapar masyarakat mulai panik. Pemerintah mengimbau untuk melakukan social distancing (jaga jarak). Namun setelah anjuran pemerintah dilaksanakan berdampak pada perekonomian masyarakat. Ekonomi perlahan-lahan mengalami kemerosotan. Masyarakat mulai meronta, menuntut negara membantu mereka terutama masalah kebutuhan dasar masyarakat.
Maka setelah hampir satu purnama Covid-19 bertandang di bumi Pertiwi, negara mengeluarkan beberapa kebijakan stimulus ekonomi untuk membantu warga kelas menengah bawah yang dinilai paling terdampak kelesuan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Salah satu relaksasi yang sudah diumumkan oleh Presiden Joko Widodo adalah penambahan nilai manfaat kartu sembako dari Rp150.000 menjadi Rp200.000 per bulan. Kebijakan ini akan berlangsung selama sembilan bulan dan rencananya diberikan kepada 20 juta penerima (BBC.News), Peserta Kartu Pra Kerja Terima Rp1 Juta untuk 4 Bulan, pengurangan PPh untuk pekerja bergaji besar. Presiden juga juga telah menginstruksikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memberikan relaksasi kredit kepada usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dan keringanan angsuran bermotor selama satu tahun, dan yang terbaru keringanan biaya listrik. Sayangnya tidak semua bisa merasakan kebijakan ini hanya pelanggan 450 VA saja yang digratiskan dan 900 VA bersubsidi diberikan diskon 50%. Yang jumlah pelanggan sekitar 24 juta untuk 450 VA, dan 7 juta pelanggan untuk 900 VA bersubsidi.
Meski demikian, beberapa stimulus yang diberikan masih terlalu kecil dan jangkauannya kurang luas. Masih banyak yang subsidi atau tunjangan yang bisa di berikan, seperti penurunan harga BBM, karena di tengah wabah terjadi tren penurunan harga minyak mentah dunia hingga 55 persen. Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, penurunan harga perlu dilakukan baik untuk jenis BBM subsidi maupun non subsidi.
Anggaran Rp 405 triliun untuk meredam dampak pandemi Covid-19 bisa tak mempan menahan kejatuhan ekonomi. Insentif- insentif yang diberikan tidak terlalu mendongkrak ekonomi rakyat apalagi mengatasi dampak wabah secara ekonomi.
Karena, bukan hanya sebagian kecil rakyat yang menjadi sasaran program, hanya puluhan juta orang yang dapat merasakan padahal menurut kajian bank dunia ada 45% yaitu 115 juta orang di Indonesia yang terancam kemiskinan terlebih saat pandemi mereka sangat rentan terkena dampak ekonomi. Belum lagi prasyarat berbelit yang memungkinkan banyak rakyat tidak akan memanfaatkan program ini. Apalagi belum ada dukungan penuh dari pihak lain (perbankan) akan membuat program tambal sulam ini, lebih bernilai pencitraan dibanding memberi solusi .
Pemerintah sibuk menangani dampak dari wabah ini tapi tidak mencari solusi yang tepat untuk menghentikan akar permasalahannya. Yaitu mencegah penyebaran virus ini lebih meluas. Belum lagi penanganannya harus berbenturan dengan keterbatasan fasilitas kesehatan baik sarana dan prasarana.
Saat beberapa pemerintah daerah, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan masyarakat meminta pemerintah melakukan lockdown untuk menekan penyebaran virus Corona. Para pengamat menilai pasien positif terus bertambah, karena fenomena ini seperti gunung es.
Namun rupanya Pemerintah tidak akan mengambil opsi tersebut. Negara akan mengambil kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Keputusan ini disampaikan Presiden Jokowi saat rapat terbatas di Istana Negara pada Senin (30/3). Walau pengaplikasian hampir serupa antara lockdown/karantina wilayah dengan PSBB, namun ada perbedaan yang begitu mencolok yakni pada pasal 55 ayat 1, di mana dalam karantina wilayah diatur soal tanggung jawab pemerintah pusat terhadap seluruh kebutuhan hidup dasar orang dan hewan ternak. Dalam PSSB, tidak ada aturan soal itu. Di duga karena faktor ekonomi, opsi lockdown tidak di pakai, terbukti dengan dibukanya donasi untuk membantu penanganan Covid-19.
Kelesuan pertumbuhan ekonomi di Indonesia sudah sejak lama di rasakan bahkan sebelum wabah ini melanda, pertumbuhan ekonomi tak bergeser dari 5%. Akibatnya, kemiskinan, pengangguran, kelaparan, gizi buruk dan seabrek permasalahan mendasar masyarakat Indonesia tak terselesaikan, karena tak menyentuh akar permasalahan.
Masalah kemiskinan ini adalah masalah sistemik maka untuk menyelesaikannya dibutuhkan solusi yang sistemik pula. Negara ini sedang menerapkan sistem demokrasi-sekularisme sehingga Ekonomi Kapitalisme lah yang begitu tampak pada pengurusan ekonomi. Sistem ini melahirkan kebebasan kepemilikan harta (liberalisasi ekonomi), pengelolaan harta maupun kebebasan konsumsi. Misal liberalisasi pengelolaan sumber daya alam.
Sebagaimana kita ketahui, kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah ternyata tak bisa dirasakan kemanfaatannya oleh rakyat sepenuhnya. Sumber daya alam (SDA) yang sejatinya adalah bentuk kepemilikan umum ternyata telah beralih dari negara kepada para pengusaha (pemilik modal) baik asing maupun lokal.
Akhirnya harta hanya beredar pada orang-orang yang Kapital saja (pemilik modal). Mereka memonopoli barang dan jasa yang seharusnya milik bersama. Negara hanya regulator yang bertugas membuat regulasi untuk mempermudah para Kapitalis menguasai SDA. Dampaknya melahirkan kemiskinan sistematik. Kesenjangan ekonomi begitu nampak. Terdapat jurang pemisah yang begitu lebar antara si kaya dan miskin, dan sudah menjadi familiar istilah “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.”
Akibat salah mengelola harta, negara tidak memiliki sumber keuangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar (pangan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan), pemerintah memberikan solusi dengan insentif dan tunjangan-tunjangan kepada rakyat miskin namun di sisi lain anggaran APBN membengkak, untuk menutupi anggaran tersebut pemerintah memperluas basis pajak, atau menaikkan pajak. Karena memang sumber pemasukan terbesar adalah pajak. Ini lah yang di sebut solusi tambal sulam. Tak menyelesaikan masalah.
Lalu bagaimana pengaturan ekonomi dalam Islam, dalam negara Islam, pemimpin akan menjalankan Politik Ekonomi Islam yang bertujuan untuk memberikan jaminan pemenuhan pokok setiap warga negara (Muslim dan non-Muslim). Setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk di penuhi kebutuhan dasarnya tanpa melihat kaya atau miskin sekaligus mendorong mereka agar dapat memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier sesuai dengan kadar individu yang bersangkutan yang hidup dalam masyarakat tertentu.
Mengharamkan liberalisasi SDA atas dasar hadist Rasulullah “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Hadist ini menunjukkan bahwa SDA adalah kepemilikan umum yang hasilnya akan di kembalikan ke rakyat dalam bentuk kesejahteraan yang sebelumnya di kelola oleh negara.
Kepala negara dalam sistem islam (khilafah) bertanggung jawab dan amanah untuk mengurusi urusan rakyatnya atas dasar keimanan kepada Allah menganggap bahwa kepemimpinan adalah amanah yang harus di kerjakan. Rasulullah saw. bersabda, “Pemimpin atas manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR. al-Bukhari, Muslim dan Ahmad). Dan Rasulullah pun mengancam jika seorang yang di beri amanah kepemimpinan namun lalai
مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Tidaklah seseorang yang diberi amanah Allah untuk memimpin rakyatnya, sedangkan ia meninggal dunia dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali Allah haramkan baginya masuk surga.” (HR, Muslim)
Barang siapa yang diangkat oleh Allah menjadi pemimpin bagi kaum Muslim, lalu ia menutupi dirinya tanpa memenuhi kebutuhan mereka, (menutup) perhatian terhadap mereka, dan kemiskinan mereka. Allah akan menutupi (diri-Nya), tanpa memenuhi kebutuhannya, perhatian kepadanya, dan kemiskinannya.” (Diriwayatkan dari Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Maryam).
Namun saat ini pemimpin dan para pejabat tak lagi mementingkan kebutuhan rakyatnya, kesejahteraan hanya retorika beragam program lama yang gagal di kemas kembali (red :BLT ke PKH) namun nyatanya tak dapat menyelesaikan permasalahan negeri ini. Penguasa main mata dengan para pengusaha, hubungan keduanya simbiosis mutualisme. Jika ingin pemilu para calon pejabat mencari pengusaha untuk menyokong dana kampanye. Balasannya adalah jika para politikus itu akan membuat kebijakan maka akan menguntungkan para pengusaha. Dan rakyat hanya bisa menonton perselingkuhan itu dan kembali menjadi korban, contoh RUU omnibus law CIKA yang sarat kepentingan pemilik modal.
Maka satu-satunya solusi untuk negeri ini adalah penerapan Islam secara total dalam kehidupan karena Islam tak hanya agama ritual tapi juga sebuah pandangan hidup. Yang memiliki ciri khas dalam menyelesaikan problematika kehidupan.
SARIFA ASHILLAH