Di Rumah Aja

LULU NUGROHO

Tagar #dirumahaja yang sempat merajai jagat Twitter ini merupakan bentuk imbauan atau gerakan untuk mengampanyekan pentingnya social distancing di tengah pandemi Covid-19. Social distancing sendiri berarti jaga jarak, mengurangi kegiatan di luar rumah dan interaksi dengan orang lain, khususnya tatap muka langsung.

Tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri, social distancing juga dapat menyelamatkan orang terdekat, terutama keluarga, ibu hamil atau lansia yang rentan dan mudah untuk tertular. Dengan melakukan pembatasan sosial tadi, kita sudah melindungi orang-orang tersayang dari penularan Virus Corona.

Iklan Pemkot Baubau

Saat ini, hanya social distancing yang diserukan oleh pemerintah untuk dilaksanakan hingga ke tataran masyarakat bawah. Selain itu upaya pencegahan melalui protokol Covid-19 diterapkan di berbagai situasi. Namun seluruh upaya ini masih belum cukup, sebab social distancing hanya mengandalkan pada tumbuhnya kekebalan diri terhadap penyakit.

Dibutuhkan tindakan kuratif, penyediaan alat, sarana medis, rumah sakit, obat-obatan dan petugas kesehatan yang siap menghadapi wabah. Akan tetapi pada faktanya, di berbagai wilayah, ketersediaan hal tersebut semakin hari semakin minim. Sehingga berimbas pada naiknya jumlah pasien positif Corona.

Karenanya perlu kerja sama banyak pihak, baik Pemerintah Pusat hingga Pemerintah Daerah, juga masyarakat, demi terciptanya negeri yang aman dan damai. Namun yang terjadi, arus mudik justru semakin banyak. Social distancing serasa libur panjang. Aktivitas belajar dan bekerja yang dikerjakan di rumah, justru menjadikan masyarakat ingin pulang kampung.

Alhasil hal ini membuat Pemerintah Daerah berjibaku untuk mencegah masuknya virus bersamaan dengan datangnya para pemudik. Salah satunya dengan membangun posko antisipasi corona di daerah perbatasan antar Kabupaten seperti Sumedang, Ciamis, Cirebon, Indramayu dan Kuningan. Protokol covid 19 dilakukan.

Mulai dari pemeriksaan suhu badan, penyemprotan disinfektan, penyuluhan, dan isolasi di rumah selama 14 hari. Seseorang yang terindikasi Covid-19 akan dirujuk ke puskesmas, diperiksa untuk menentukan yang bersangkutan adalah Pasien dalam Pengawasan (PDP), kemudian merujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). (Tintahijau, 2/4/2020)

Dilematis yang tinggi juga tengah melanda Cirebon. Sebagai daerah lintasan, kota berpenduduk sekitar 360 ribu jiwa itu kini berada dalam bahaya “serangan” virus Covid-19. Sebagai daerah transit, akses dari dan menuju Cirebon terbuka lebar. Banyak pendatang yang hendak ke wilayah Cirebon dan sekitarnya, menggunakan akses stasiun hingga terminal. (Citrust.id, 24/3/2020)

Maka Pemerintah Daerahpun terus berupaya memutus mata rantai penyebaran virus. Termasuk di dalamnya memantau ribuan orang yang datang dari kota besar. Namun, karena tidak adanya kebijakan lockdown atau karantina dari Pemerinta Pusat, maka arus ke luar masuknya manusia ini, masih terus berlangsung.

Lockdown merupakan istilah yang diambil dari Bahasa Inggris yang berarti mengunci. Jadi, bila istilah tersebut dipakai dalam penanganan virus corona berarti lockdown adalah mengunci seluruh akses masuk maupun keluar dari dan ke suatu wilayah.

Jauh sebelumnya, Islam telah menunjukkan cara mengatasi wabah. Di masa pemerintahan Umar bin Khaththab saat tersebar penyakit tha’un, maka kebijakannya adalah karantina atau lockdown, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhari).

Covid-19 telah menjadi pandemi global, penyebaran masif hampir di semua wilayah. Korban akan terus berjatuhan tanpa kekuatan kendali dari penguasa. Tagar #dirumahaja hanya akan menjadi simbol tanpa makna jika tanpa edukasi serta ketegasan pemimpin negara dalam mengelola persoalan masyarakat atas dasar iman. Wallaahu ‘alam.

LULU NUGROHO, MUSLIMAH REVOWRITER CIREBON