Janji di Tengah Wabah
“Kami tahu bagaimana menghidupkan kembali perekonomian, yang kami tidak tahu adalah bagaimana menghidupkan kembali orang meninggal,” ucap Nana Akufo Addo, Presiden Ghana, dalam rangka memutus mata rantai penyebaran 2019-nCoV di negaranya.
Lain ladang lain belalang. Lain Ghana lain Indonesia. Jika Pemerintah Ghana mengambil kebijakan lockdown ketika ada 4 warganya yang meninggal, maka di Indonesia diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar, meski ada UU No. 6 tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan yang lebih relevan dengan kondisi saat ini. Namun, pemerintah enggan mengambil UU tersebut sebagai landasan pengambilan kebijakan.
Pemerintah juga menyiapkan jaring pengaman sosial untuk masyarakat lapisan bawah agar tetap mampu memenuhi kebutuhan pokok dan menjaga daya beli. Langkah yang diambil pemerintah diantaranya, meningkatkan jumlah penerima Program Keluarga Harapan dari 9,2 juta menjadi 10 juta. Menaikkan jumlah Kartu Penerima Sembako dari 15,2 juta menjadi 20 juta penerima. Anggaran Kartu Prakerja naik dari Rp. 10 triliun menjadi Rp. 20 triliun. Penggratisan untuk pelanggan listrik 450 VA selama 3 bulan ke depan. Pencandangan Rp. 25 triliun untuk pemenuhan kebutuhan pokok, juga kebijakan keringanan pembayaran kredit. (suara.com, 01/04/2020)
Kebijakan Setengah Hati
Banyak pihak yang menilai bahwa pemerintah seolah setengah hati menanggulangi wabah yang telah merenggut puluhan ribu nyawa dan memakan jutaan korban di seluruh dunia. Seharusnya pemerintah fokus pada bagaimana menghentikan penyebaran corona. Alih-alih fokus menghentikan penyebaran corona, pemerintah lebih memusatkan perhatiannya pada perputaran roda perekonomian, seperti pengeluaran untuk perpajakan, KUR dan stimulus ekonomi.
Hal ini tampak pada alokasi dana tambahan yang sebagian besar untuk perputaran roda perekonomian. Dari Rp. 405,1 Triliun, Rp. 150 tirilun didistribusikan melalui kebijakan pembiayaan dalam rangka mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional, termasuk stimulus untuk ultra mikro. Rp. 70,1 triliun didistribusikan untuk cadangan perpajakan dan stimulus Kredit Usaha Rakyat. Sementara untuk social safety net hanya mendapat jatah Rp. 110 triliun dan 75 triliun dialokasikan untuk kesehatan. (Bisnis.com. 01/04/2020).
Kebijakan yang diambil pemerintah sejatinya mencerminkan betapa kentalnya aroma kapitalisme di negeri ini. Kapitalisme mengijinkan SDA – yang seharusnya dikelola untuk kemakmuran rakyat- melayang atas nama investasi dan privatisasi. Kapitalisme merestui hutang ribawi sehingga negeri ini dibebani dengan hutang yang tak kunjung lunas. Kapitalisme yang memporakporandakkan ekonomi negeri ini, sehingga jatuh dan tak mampu membiayai kebutuhan rakyat di saat rakyat dihadapkan pada kenyataan “simalakama”. Tetap di rumah mati kelaparan, keluar rumah terancam covid-19.
Inikah alasan pemerintah masih enggan untuk mengambil UU No. 6 / 2018 sebagai landasan kebijakan saat ini? Dalam UU No. 6 /2018, Kekarantinaan kesehatan didefinisikan sebagai upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.
Kedaruratan kesehatan masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara.
Dalam Undang-undang tersebut juga disebutkan, Jika pemerintah menetapkan karantina wilayah, maka konsekuensi dari pengambilan kebijakan itu adalah kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
Islam Menangani Wabah
Islam adalah seperangkat aturan hidup dari Dzat yang merajai alam semesta ini. Dzat yang Maha Tahu lagi Maha Bijaksana. Seharusnya kita menjadikan Islam sebagai pedoman hidup. Tidak hanya dalam ibadah mahdhoh saja, namun dalam segala aspek kehidupan. Termasuk bagaimana menangani wabah.
Islam memandang pemimpin sebagai perisai bagi umat. Rasulullaah sholallaahu ‘alayhi wa salam bersabda, “Sesungguhnya seorang imam adalah perisai, orang-orang berprang dari belakangnya dan menjadikannya pelindung, maka jika ia memerintahkan ketaqwaan kepada Allaah ‘azza wa jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya maka ia harus bertanggungjawab atasnya” (HR. Bukhari, Muslim, an Nasai dan Ahmad).
Pemimpin seharusnya menghimbau rakyatnya untuk selalu menjaga keimanan dan ketaqwaan kepada Allaah. Karena salah satu sebab datangnya wabah adalah kemaksiatan. Dalam hadits riwayat Ibnu Majah, Rasulullaah sholallaahu ‘alayhi wa salam bersabda, “Tidaklah kekejian menyebar di suatu kaum, kemudian mereka melakukannya dengan terang-terangan kecuali akan tersebar di tengah mereka penyakit Tha’un dan sakit yang belum pernah terjadi terhadap para pendahulu mereka…”
Ketika Allaah menurunkan wabah karena kekejian yang dilakukan, maka kita harus berpegang pada wasiat Rasulullaah sholallaahu ‘alayhi wa salam yaitu karantina. Beliau bersabda, “Jika kalian berada di suatu tempat (yang terserang wabah), maka janganlah kalian keluar darinya. Apabila kalian mendengar wabah itu di suatu tempat, maka janganlah kalian mendatanginya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Semasa karantina, pemimpin lah yang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan umat. Kita bisa melihat bagaimana sungguh-sungguhnya para pemimpin Islam dalam meriayah rakyatnya. Umar bin Khathab ra memerintahkan para gubernurnya untuk mengirimkan bantuan bahan makanan saat salah satu wilayah Islam dilanda kelaparan. Dan beliau sendiri bertekad untuk tidak makan enak selama rakyatnya belum “mentas” dari kondisi ini.
Jejak riayah yang luar biasa juga ditinggalkan oleh Sulthan Abdul Hamid II. Beliau membangun rumah sakit anak-anak Hamidiyah dengan harta pribadi. Menyediakan fasilitas dan dokter terbaik pada masa itu. Pelayanan kesehatan pun didapatkan dengan cuma-cuma. Padahal saat itu sedang tidak terjadi wabah. Bisa kita bayangkan bagaimana pelayanan negara yang dipimpinnya saat terjadi wabah, tentu lebih dari itu.
Bukankah suatu hal yang sangat menyenangkan bila kita “stay at home” akibat wabah tanpa harus pusing memikirkan besok makan apa? Karena ada negara yang menjamin kebutuhan pokok kita dan penguasa yang meriayah kita dengan ikhlas berdasar tuntunan ilahi.
Oleh : DEPY SW