Isu perempuan erat kaitannya dengan isu kemiskinan. Di Indonesia tidak lepas dari kondisi kehidupan yang miskin dan serba terbatas. Kemiskinan yang sistemis pada jutaan perempuan yang diatasi dengan pengarus utamaan gender, justru menghasilkan masalah baru berupa tidak berfungsinya peran keibuan, anak terlantar dan terjerumus masalah yang tidak ada habisnya.
Bahkan, disatu desa Wanasaba, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, ada 350 anak yang ditinggalkan oleh ibu dan bapaknya untuk mencari nafkah di luar negeri sebagai tanaga kerja Indonesia (TKI). Alhasil, anak menjadi terlantar dan kurangnya kasih sayang dari orang tua, sehingga kenakalan-kenakalan remaja tidak bisa diatasi lagi. (BBCIndonesia.com)
Sungguh ironis, saat ini kita hidup dalam era yang penuh dengan konflik, ketidakadilan, korupsi, eksploitasi dan kemiskinan massal, kemiskinan yang juga melanda perempuan. Perempuan menjadi termiskin dari para kaum laki-laki. Saat ini lebih dari yang pernah nampak sebelumnya, kemiskinan macam ini semakin nyata dan telah ada melebihi batas kelas yang ada.
Bahkan, menurut Menteri Keuangan sri Mulyani serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise memberikan keynote speech dalam acara “Voyage to Indonesia’s Seminar on Women’s Participation for Economic Insclusiveness” di Surabaya, Kamis (2/8/2018).
Seminar merupakan bagian dari program Kelompok Bank Dunia – Pertemuan tahunan dana Moneter Internasional 2018 (AMS 2018). Seminar ini memberikan kesempatan kepada seluruh stakeholder, baik dari dalam maupun luar negeri untuk membahas, bertukar pandangan, dan pengalaman tentang manfaat ekonomi bagi pemberdayaan perempuan.
“ketidaksetaraan gender mengakibatkan dampak negatif dalam berbagai aspek pembangunan, mulai dari ekonomi, sosial, hingga pertahanan dan keamanan. Beberapa lembaga internasional melihat ketidaksetaraan gender memiliki hubungan yang kuat dengan kemiskinan, ketidaksetaraan akses pendidikan, layanan kesehatan, hingga akses keuangan,” tutur Sri Mulyani. (Liputan6.com).
Sesungguhnya perempuan memang memiliki peran penting dalam kehidupan suatu bangsa. Namun, dalam bingkai ideologi kapitalisme, peningkatan peran perempuan justru fokus pada peran publik dan peran ekonominya. Arus pemberdayaan yang dikembangkan secara menyeluruh pemerintah dan pegiat gender justru menarik para ibu untuk ikut mencari nafkah, baik karena keterpaksaan akibat kemiskinan maupun terpikat dengan isu pemberdayaan perempuan.
Argumen Palsu Pegiat Gender
Para pegiat keseteraan gender berdalih, bahwa pemberdayaan perempuan akan membuat posisi perempuan mandiri dan tak terdiskriminasi. Perempuan diposisikan sebagai pejuang keluarga karena menggunakan pendapatannya demi mensejahterakan keluarganya. Bahkan, perempuan berperan sebagai pencari nafkah utama. Karenanya perempuan dianggap penting dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi negara. Demi tujuan itu mereka menciptakan definisi ‘kekerasan ekonomi ringan’. Seseorang terkena delik itu bila sengaja menjadikan perempuan bergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.
Sejatinya, perjuangan pembebasan perempuan dari himpitan ekonomi dan diskriminasi hanyalah argumen palsu. Sejarawan Bernard Lewis dalam bukunya, The Middle East, menyingkap faktor utama dalam program emansipasi perempuan adalah kebutuhan ekonomi, yakni kebutuhan akan tenaga kerja perempuan. Melalui parameter pencapaian MDGS, khususnya tujuan pencapaian pendidikan dasar serta mendorong keseteraan gender dan pemberdayaan perempuan, negara diarahkan untuk menyediakan tenaga kerja perempuan sesuai tuntutan pasar.
Realitasnya, memperkerjakan perempuan bukan sekedar mengakomodir jargon keseteraan gender. Hitung-hitung ekonomilah yang dijadikan sebagai alasan utama pemanfaatan jasa perempuan.
Nicholas Rockefeller (penasihat RAND) menyatakan tujuan kesetaraan gender adalah untuk mengumpulkan pajak publik 50% lebih dari rangka mendukung kepentingan bisnis.
Islam Memandang
Islam telah memberikan aturan yang khusus kepada kaum perempuan untuk mengemban tanggung jawab sebagai ibu sekaligus sebagai pengelola dalam rumah suaminya. Dijelaskan dalam sebuah kaidah, bahwa Al-ashlu fil mar’ati annahaa ummun wa rabbatul bayti. Wa hiya ‘irdhun an yushona (hukum asal seorang perempuan adalah ibu dan pengatur rumah tangga. Perempuan merupakan kehormatan yang wajib dijaga).
Tugas utama seorang perempuan adalah mendidik, merawat, mengasuh dan memelihara anak-anaknya agar kelak menjadi orang yang mulia dihadapan Allah. Disamping itu, ia pun berperan membina, mengatur dan menyelesaikan urusan rumahtangga, agar memberikan ketenteraman dan kenyamanan bagi anggota keluarganya. Dengan perannya ini seorang perempuan telah memberikan sumbangan besar bagi negara dan masyarakatnya.
Sebab dengan begitu berarti dia telah mendidik dan memelihara generasi umat agar tumbuh menjadi individu yang shalih dan muslih di tengah-tangah masyarakatnya.
Sungguh sangat berbeda dengan kondisi yang sekarang, bagaimana tidak? Saat ini kita sulit menemukan gambaran generasi rabbani dalam wadah masyarakat yang islami, yang ada justru masyarakat “tanpa bentuk”. Mereka bahkan terbawa oleh arus gaya hidup serba bebas yang lahir akibat proses sekularisasi pemikiran dan sekularisasi yang berjalan secara perlahan melalui berbagai cara dan bentuk. Wajar jika mereka tumbuh menjadi generasi yang berkepribadian ganda.
Lihatlah perempuan muslimah disekeliling kita sekarang, bukankah selama ini sebagian besar dari mereka menjadi korban gaya hidup kapitalis sekuler yang menganut kebebasan. Hampir segalanya mereka tiru, mulai dari cara berpakaian, cara berinteraksi dengan lawan jenis, bahkan sampai pola pikir yang hedonis (mencari kesenangan dunia semata), ridha Allah bukan lagi menjadi tujuan. Tatapi bertolak 180 derajat, orientasi ekonomi yang mereka tuju.
Akhirnya, mereka disibukkan oleh dunia kerja, lebih bangga menjadi perempuan bekerja bahkan menganggap aktivitas sebagai ibu rumah tangga merupakan hal yang ‘terhina’. Pada akhirnya mereka turut bercampur baur dengan kaum lelaki di kantor-kantor, di parlemen dan restoran. Sungguh sangat ironi, tatkala mereka melakukan ini semua dengan bertameng pada konsep kesetaraan yang digembar-gemborkan oleh Barat. Dan tentu saja yang akhirnya menjadi korban adalah anak-anak kita semua.
Perempuan itu dihormati dalam semua aspek kehidupannya, dalam segala usia. Mereka akan tetap dalam kehormatannya sepanjang negara Islam ada. Negara Islam yang menerapkan peraturan Allah di bumi. Sebab, perempuan di dalam Islam berperan sebagai ibu dan seorang istri yang kehormatannya wajib dilindungi. Karena peran utamanya tersebut, tidak seharusnya dia menderita akibat dari peran yang lain. Wallahu a’lam bi sahwab.
Oleh : Hamsia (Komunitas Peduli Umat)