Di tengah wabah covid-19 yang melanda berbagai negara tak terkecuali di negeri ini, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan yang dirasa nyeleneh dan cukup mendatangkan tanda tanya masyarakat. kebijakan tersebut tak lain terkait pelepasan para narapidana di seluruh negeri dengan jumlah fantastis mencapai 35 ribu lebih.
Setelah Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, menerbitkan Keputusan Menteri (Kepmen) mengenai pembebasan napi demi mencegah penyebaran virus corona di penjara. Sejak Kepmen tersebut diterbitkan pada 30 Maret, hingga kini sudah 35 ribu lebih narapidana yang bebas dengan program asimilasi dan integrasi.
Mempercepat pembebasan narapidana dan anak melalui crash program hak integrasi juga telah berjalan sejak tahun lalu.
Dasarnya tertuang dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 10 Tahun 2020, Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No.M.HH-19 Pk.01.04.04 Tahun 2020, dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor: PAS-497.PK.01.04.04 Tahun 2020. (nasional.okezone.com, 12/4/2020).
Pembebasan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan akan rawannya penyebaran Covid-19 di dalam lapas/rutan/LPKA di Indonesia yang notabenenya mengalami kelebihan penghuni
Namun pembebasan besar-besaran tersebut telah menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat. Sebab, napi yang dibebaskan dikhawatirkan kembali berbuat kejahatan. Terbukti, diberbagai daerah terdapat napi yang kembali ditangkap karena berbuat pidana. Padahal, Ditjen PAS mewajibkan napi yang dibebaskan agar menjalani asimilasi di rumah.
Seperti yang terjadi di Surabaya, dua bandit jalanan kembali ditangkap polisi. Pasalnya dua residivis tersebut kembali menjambret setelah menghirup udara bebas pada tanggal 3 April 2020 dari Lapas Lamongan (news.detik.com, 11/4/2020).
Lalu di Sulawesi Selatan (Sulsel). Seorang pria bernama Rudi Hartono harus kembali mendekam dalam penjara karena hendak mencuri di rumah warga. Selanjutnya di Blitar, seorang pria berinisial MS ditangkap dan babak belur diamuk massa setelah kepergok mencuri motor warga. MS dibebaskan pada 3 April dan ditangkap tiga hari kemudian.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Prof Hibnu Nugroho, menilai fenomena tersebut sebagai kegagalan Kemenkumham, khususnya Ditjen PAS serta lapas atau rutan, dalam mengawasi para napi yang dibebaskan. Hibnu berpendapat, kondisi ekonomi yang sulit di tengah wabah corona, membuat sejumlah napi kembali nekat berulah.
Namun kemudian masyarakat yang menjadi korban. “Dengan situasi serba mahal, PHK, pekerjaan tidak ada, faktor kriminologi tinggi, kasihan masyarakat,” ucapnya. (kumparan.com, 9/4/2020).
Sungguh ironis, disaat masyarakat berduka karena wabah corona yang telah memakan banyak korban jiwa dan sederet permasalahan baik aspek ekonomi , kesehatan dan lain-lain. Kini ditambah lagi masalah terkait keamanan yang cukup meresahkan. Hal ini mengisyaratkan bahwa pemerintah tidak menyiapkan sejumlah perangkat regulasi untuk mengeliminasi dampak dari kebijakan pembebasan napi.
Selain itu, mereka beranggapan bahwa dengan pelepasan napi akan menghemat anggaran negara untuk kebutuhan warga binaan pemasyarakatan (WBP) hingga Rp 260 miliar. Hal ini bertolak belakang dengan kondisi sekarang, dimana seharusnya pemerintah lebih fokus mengatasi wabah corona, justru semakin menambah beban rakyat dengan membebaskan ribuan napi.
Publik semakin jelas melihat bobroknya sistem kapitalis yang dianut negeri ini. Yaitu ketidakmampuan negara mengurusi rakyat serta menjamin rasa aman dalam setiap kondisi.
Apalagi dalam kondisi di tengah wabah. Setelah rakyat diminta jaga diri sendiri dari penyebaran virus, kini juga menjaga diri sendiri dari tindakan kriminal ulah napi yang dibebaskan. Selain itu dalam hal pemberian efek jera, maka jelaslah bahwa kembali berulahnya sebagian napi menunjukkan kurangnya efek jera yang mereka dapatkan.
Namun berbeda dengan sistem Islam yang senantiasa memprioritaskan keselamatan rakyatnya. Terlebih dalam kondisi wabah seperti saat ini, penanganan wabah akan diutamakan demi menjamin keselamatan rakyat dengan serangkaian mekanisme yang telah diatur oleh syariat. Disamping itu, para tahanan juga tak semudah itu dibebaskan. Terlebih lagi saat kondisi yang tak stabil akibat wabah yang melanda.
Maka dengan adanya pembebasan para napi dengan alasan upaya untuk menanggulangi wabah corona ini tidak masuk akal. Bukankah akan lebih aman jika para napi tetap dalam tahanan? kalaupun ada upaya untuk mengatasi penyebaran virus corona, mengapa tak dilakukan saja rapid test untuk mengetahui kondisi para napi ?, sungguh sangat tak masuk akal.
Sementara dalam sistem islam mengharuskan para tahanan menjalani hukuman sesuai syariat islam dan kebijakan khalifah. Sehingga jika bebas pun tidak akan menyebabkan masalah baru. Sebab sanksi yang diterapkan bersifat zwajir (pencegah) dan jawabir (penebus dosa). Syariat islam telah mengatur sedemikian rupa apa saja yang dibutuhkan dan tentunya terbaik untuk makhluk ciptaaNnya termasuk sistem sanksi. Dan terbukti dengan adanya syariat islam telah menjamin keamanan dan kesejahteraan masyarakat selama 13 abad.
Dalam buku sistem sanksi dalam Isla dijelaskaan bahwa penjara adalah tempat untk menjatuhkan sanksi bagi orang yang melakukan kejahatan. Penjara adalah tempat dimana orang menjalani hukuman yeng dengan pemenjaraan itu seorang h penjahat menjadi jera dan bisa mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa.
Didalamnya harus ada pembinaan kepada para napi agar mampu meningkatkan rasa takut kepada Allah dan memperkuat ketaqwaan. Setelah bebas dari penjara, ia kembali menjadi masyarakat yang bermanfaat untuk sesama manusia dan kejahatan tak akan terulang lagi. Allahu a’lam bishawab
Oleh : St. Nurwahyu