Romadhon, Hiburan di Tengah Kesedihan Pandemi

Ainul Mizan

Rasa kesedihan rakyat di tengah pandemi ini, seolah habis kata – kata untuk melukiskannya. Korban yang berjatuhan, sulitnya pemenuhan kebutuhan hidup belum kelar. Kesedihan semakin bertambah seiring meningkatnya kriminalitas.

Rakyat dipaksa harus tetap survive dengan polanya masing – masing. Menyelamatkan dirinya sendiri. Yang tidak kuat tentunya akan terkapar tak berdaya. Sebelum kondisi wabah pun demikianlah potret kehidupan dalam sistem sekulerisme.

Iklan Pemkot Baubau

Akankah kesedihan dan penderitaan ini berakhir? Tentunya. Di tengah rasa putus asa yang seakan menjadi wabah tersendiri, hadirlah Romadhon sebagai harapan. Harapan untuk diampuni segala dosa yang menyebabkan turunnya wabah. Di samping doa yang dipanjatkan untuk berakhirnya wabah Covid-19.

Romadhon sebagai taman rekreasi umat guna menggapai keberkahannya. Bukankah kabar gembira Rasul saw akan datangnya Romadhon menjadi penenang jiwa?
Pastinya, tidak perlu menjadi keraguan.

Romadhon telah memberikan wahana yang seluas- luasnya untuk manusia menjadi lebih baik. Dari yang awalnya tidak ta’at syariat, menjadi ta’at syariat. Inilah prasyarat agar keberkahan turun baik dari langit maupun dari bumi.

Di dalam bulan Romadhon, Alloh mewajibkan ibadah puasa sebulan penuh. Tujuannya agar terbentuk ketaqwaan. Berawal dari ketaqwaan personal bertransformasi menjadi ketaqwaan sosial.

Melalui puasa, individu dilatih untuk ta’at pada rambu – rambu seharian penuh. Dari imsak hingga adzan Maghrib. Jangankan makanan dan minuman yang haram, yang halal pun dijauhi. Di samping menjaga dari yang membatalkan puasa, juga menjaga dari terhapusnya pahalanya. Mereka disiplin karena selalu merasa diawasi Alloh Swt.

Inilah energi yang akan menggerakkan untuk taat pada keseluruhan syariat, termasuk dalam bidang politik, pemerintahan, ekonomi, pendidikan, sosial, peradilan dan hankam. Di sinilah letak urgensi untuk menjadikan Romadhon sebagai media penyadaran umat akan kewajiban menerapkan Islam secara paripurna.

Bulan Romadhon yang di dalamnya diturunkan Al Qur’an. Selain sebagai sumber hukum Islam, al- Qur’an itu petunjuk bagi kehidupan manusia. Di dalam al – Qur’an terdapat berbagai pengaturan hidup dalam segala bidang, termasuk dalam menanggulangi wabah penyakit. Agar semua petunjuk al – Qur’an itu dapat diterapkan secara nyata, tentunya hukum positif negara harus mengacu pada al – Qur’an.

Begitu pula di dalam Romadhon terjadi Perang Badar. Perang pembuktian akan keunggulan Islam di atas segala pemikiran, keyakinan, dan ideologi kekufuran. Tentunya semangat juang Badar akan terpatri dalam jiwa kaum muslimin. Mereka menjadi kaum yang bangkit dari keterpurukan. Mereka akan bahu membahu mengakhiri penderitaan akibat penerapan sekulerisme. Bukankah pandemi yang menjadi ancaman ini dikarenakan solusi penanggulangannya dari ideologi Kapitalisme Sekulerisme? Oleh karena itu pandemi ini menjadi titik perjuangan untuk kesadaran umat untuk mengambil ideologi Islam sebagai solusi menyeluruh bagi kehidupan manusia.

Bukankah amalan wajib di Bulan Ramadhan itu pahalanya dilipatgandakan hingga 70 kali lipat? Sedangkan untuk amalan sunnah, pahalanya seperti melakukan kewajiban. Inilah hadiah yang diberikan oleh Alloh dengan hadirnya Romadhon.

Dengan demikian, Kaum muslimin akan semangat melakukan kewajiban. Sholat 5 waktu, berpuasa, berzakat, menuntut ilmu tentang kesempurnaan Islam dan berjuang bagi tegaknya sistem Islam. Adapun berjuang demi tegaknya sistem Islam adalah melalui aktifitas dakwah. Di tengah pandemi, dakwah yang dilakukan bisa secara optimal menggunakan media online. Artinya, dakwah Islam mampu menembus batas dimensi waktu dan ruang, bahkan ke ranah kehidupan privat. Di samping dengan gembira melakukan hal – hal yang sunnah seperti sholat Taraweh dan Tadarus al Qur’an. Dengan demikian, Romadhon menjadi penghibur kaum muslimin guna meraih kemenangan Islam atas semua ideologi dan sistem kehidupan lain di dunia ini.

Tentunya, pada saat itu akan bergembira kaum muslimin. Mereka mampu keluar dari belenggu sekulerisme, di samping mendapatkan predikat sebagai orang yang bertaqwa. Kalau memang demikian adanya, pantaslah kita mengatakan Marhaban Ya Ramadhan, dengan penuh suka cita.

Oleh : Sibuk Milan (Pemerhati Sosial Politik)
Penulis tinggal di Malang