Badai Corona Tiba, Rakyat Kecil Pun Menderita

Hasryana, S. Pd

Ramadan adalah bulan mulia dan penuh ampunan di dalamnya terdapat malam lailatul qadar dan malam di turunkannya Al-Qur’an. Tentu sebagai seorang muslim dengan datangnya bulan yang suci ini, umat Islam berlombah-lomba meraih pahala di dalamnya. Tak terkecuali dengan berbagi pada sesama muslim lainnya.

Sayangnya di tengah bulan Ramadan ini, masih banyak di antara kaum muslim yang tidak dapat menjalankan ibadah dengan maksimal. Seperti yang belum lama ini terjadi penemuan mayat di salah satu kamar kos di depan kampus UHO, seperti yang dilansir dari inilahsultra.com jasad alimuddin (46) ditemukan telah kaku dikamar kos, asrama hidayat lantai dua, di lorong berlian jalan HEA mokodompit, kelurahan Lalolara, kecamatan Poasia, kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) selasa 28 april 2020, sekitar pukul 20.00 wita. Belum di ketahui penyebab pasti, namun menurut saksi mata, diduga korban meninggal karena kelaparan (Inilahsultra.com, 28/04/2020).

Iklan Pemkot Baubau

Sungguh sangat disayagkan, jika ada penduduk negeri ini yang meregang nyawa hanya karena kelaparan. Hal itu jelas bukan tanpa sebab. Adapun penyebab hal itu di antaranya: Pertama, meningkatnya beban ekonomi. Terlebih di tengah wabah Covid-19 yang mana beban ekonomi justru semakin sulit.

Misalnya saja beras dan gula yang mengalami kenaikan harga. Menurut pusat informasi harga pangan strategis nasional, harga beras medium rata-rata nasional berada di level Rp 11.750-12.000/kg. Sedangkan beras premium atau super berada di level 12.650-13.200/kg. Sementara harga eceran tertinggi untuk beras medium ialah Rp 9.450/kg dan beras premium Rp 12.800/kg menurut peraturan mentri perdagang (permendag) nomor 57 tahun 2017 (Detik.com, 16/4/20). Gula pun naik hingga harga 19.000 per kilogram, jauh di atas harga eceran tertinggi 12.500 per kilogram (Okezone.com. 26/04/2020).

Kedua, masih minimnya peran penguasa terhadap rakyat. Ini sebagaimana adanya kasus kematian warga karena kelaparan. Padahal semestinya menjadi koreksi penguasa bahwa rakyat membutuhkan bantuan dan penghidupan yang layak, terlebih saat wabah ini yang mana ekonomi rakyat begitu terguncang. Sebab, persoalan ekonomi seakan lebih sulit dipenuhi saat pandemi ini.

Kebijakan yang diambil oleh penguasa dalam menanggulangi wabah virus corona pun masih belum mampu meminimalisir virus tersebut. Ini nampak dari jumlah kasusnya yang terus meningkat tiap harinya. Sebagaimana per tanggal 2 Mei 2020, telah mencapai 10.843 kasus. Sedangkan pasien sembuh Corona berjumlah 1.665 orang dan meninggal 831 orang (Detik.com, 02/05/2020). Miris!

Tak hanya itu, di masa pandemi ini bahkan banyak perusahaan yang tutup dan karyawan harus menelan pil pahit karena mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Imbasnya meningkatnya jumlah penganguran. Inilah yang memperparah keadaan rakyat, terutama kelas ekonomi menengah ke bawah. Karena bagi masyarakat kecil membeli beras saja untuk makan sudah susah mereka dapatkan saat wabah Covid-19 belum ada, apatah lagi saat wabah ini datang.

Hal tersebut tentu berbeda dalam sistem yang berlandaskan asas yang bersumber dari-Nya. Karena sejatinya pengurusan rakyat oleh penguasa memiliki pertanggung jawaban dunia dan akhirat. Sehingga penguasa benar-benar menjalankan amanah yang diembannya karena adanya dorongan takwa.

Selain itu, persoalan jaminan kesejateraan hidup masyarakat, tentu sistem Islam memiliki sumber-sumber yang memungkinkan rakyat dapat mendapatkan kesejahteraan hidup. Di antara sumber pemasukan tersebut salah satunya berasal dari sumber daya alam seperti tambang emas, nikel dan berbagai kekayaan alam lainnya yang merupakan kepemilikan umum di mana pengelolaannya diserahkan kepada negara, dan hasilnya diserahkan kepada rakyat dalam bentuk pemenuhan kebutuhan pokok seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Begitu pula zakat yang diperuntukkan hanya kepada 8 golongan saja yang berhak menerimanya, di antaranya mereka yang tergolong orang fakir dan miskin sebagaimana yang ditetapkan dalam Al-Qur’an.

Kisah seorang Khalifah Umar bin Khattab yang telah masyhur yang kala itu mengalami tahun paceklik tentu dapat dijadikan teladan, bagaimana pengurusannya terhadap rakyat. Sebagaimana dikisahkan bahwasanya Umar dan sahabatnya Aslam menjalankan kebiasaanya menyisir kota untuk memastikan tidak ada warganya yang tidur dalam keadaan lapar. Hingga akhirnya, langkah mereka terhenti saat mendengar tangisan anak perempuan yang keras. Khalifah kemudian bertanya siapa yang sedang menangis dan ternyata adalah anak perempuan dari ibu itu. Anak itu menangis karena kelaparan dan seketika Umar dan Aslam tertegun.

Beberapa lama kemudian, Umar dan Aslam merasa heran karena sang ibu tidak kunjung selesai memasaknya. Setelah melihat isi panci itu, mereka terkejut karena di dalamnya hanya ada batu-batu dan air. Ibu itu kemudian menjelaskan jika ia memasak batu dan air hanya untuk menghibur anaknya yang kelaparan. Setelah itu, Umar mengajak Aslam untuk kembali ke Madinah dengan meneteskan air mata. Ia mengambil sekarung gandum untuk diberikan pada sang ibu dan mengangkatnya seorang diri.

Kisah keteladanan seorang pemimpin, yakni Khalifah Umar bin Khattab dalam menyelesaikan kelaparan harusnya patut ditiru oleh para penguasa, karena pemimpin adalah penaggung jawab atas urusan rakyat yang dipimpinnya. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda yang artinya, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).

Oleh karena itu, sulit mewujudkan kesejahteraan rakyat, jika pemimpin masih belum dapat bertanggung jawab atas apa yang menjadi amanahnya. Terlebih saat apa yang menjadi landasan dalam mengemban tugas tersebut masih minim ketakwaan terhadap-Nya. Karena itu, untuk mewujudkan pemimpin yang benar-benar bertanggung jawab atas urusan rakyatnya, yakni hanya pemimpin yang menjadikan aturan-Nya sebagai pijakan dalam mengambil kebijakan. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Oleh: Hasriyana, S.Pd
(Pemerhati Sosial Asal Kabupaten Konawe, Sultra)