Bansos Covid-19, Maslahah Atau Masalah ?

Norma Rahman. S. Pi

VIVAnews Bantuan sosial semakin gencar di seluruh daerah sejak pandemi Corona covid 19 makin meluas di tanah air dan pemberlakuan Pembatasan sosial Berskala Besar (PSBB). Pemerintah daerah hingga masyarakat membagikan sembako dan kebutuhan pokok lainnya. Meski begitu, banyak masyarakat miskin yang belum tersentuh. Bahkan tak jarang bantuan sosial atau bansos dari pemerintah daerah malah tak tepat sasaran. Misalnya saja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, Jhonny Simanjuntak, yang terdata sebagai salah satu penerima bansos.

Karena hal ini, Pemprov DKI Jakarta dianggap asal dalam menyalurkan bansos.
Tak hanya di Jakarta, di Jawa Timur, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur, Achmad Amir, menceritakan bantuan antara pemerintah propinsi dan tingkat desa yang tumpang tindih. Lalu masyarakat yang berada di rumah hanya mendapat masker dan sembako.Tapi, mereka yang keluyuran malah dapat bantuan lebih.Dan kesannya mempersulit rakyat, syarat yang pelit dan berbelit pun membuat masyarakat sulit mengakses bantuan. Misal saja kriteria keluarga miskin penerima bansos berdasarkan peraturan Menteri Desa PDTT nomor 6 tahun 2020 yang dinilai keterlaluanBetapa tidak, rakyat harus menempuh mekanisme berbelit yang diciptakan oleh sistem hari ini untuk mendapatkan hak nya.

Iklan Pemkot Baubau

Bupati Boltim yang marah sambil mengumpat para menteri adalah representasi yang mewakili perasaan rakyat di semua daerah, yang mana mekanisme pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari pemerintah pusat dianggap sulit. Dikatakannya mekanisme pemberian BLT tersebut terbilang menyulitkan warga. Warga, menurutnya, tak bisa harus menunggu lama untuk mendapatkan bantuan itu.

Jika merujuk pada surat No 1261 Kementerian Desa (Kemendes)-PDT, penerima manfaat Bantuan Langsung Tunai (BLT), disyaratkan memenuhi 9 dari 14 kriteria yang digariskan. Yaitu bertempat tinggal dengan luas lantai <8m2/orang, lantai tanah/bambu/kayu murah; dinding bambu/rumbia/kayu murah/tembok tanpa plester; buang air besar tanpa fasilitas/bersama orang lain, penerangan tanpa listrik, air minum dari sumur/mata air tak terlindung/sungai/air hujan, bahan bakar kayu bakar/arang/minyak tanah; konsumsi daging/susu/ayam hanya 1 kali per minggu, satu setel pakaian setahun; makan 1-2 kali per hari; tidak sanggup berobat ke puskesmas/poliklinik; sumber penghasilan KK petani berlahan <500m2, buruh tani, buruh nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, pekerjaan lain berupah kurang dari Rp 600 ribu per bulan; pendidikan KK tidak sekolah/tidak tamat SD/tamat SD, dan tidak memiliki tabungan/barang mudah dijual minimal Rp 500 ribu.

Penyaluran dana BLT sebesar 600 ribu selama 3 bulan ini merupakan kebijakan penyesuaian untuk penanggulangan Covid 19 dari pengalihan dana Desa. Sebesar 22 Triliun atau sekitar 35% dana desa akan dialokasikan untuk kurang lebih 12 juta penduduk desa.Besaran dananya jelas tidak mampu memenuhi kebutuhan yang harus ditanggung masyarakat selama masa pembatasan fisik. Apalagi jumlah dan luasan penerima manfaat juga tidak menjangkau semua masyarakat miskin. Belum terhitung masyarakat kelas menengah yang usaha dan pekerjaannya terdampak langsung pandemik dan turun kelas menjadi miskin.

Skema BLT memang bukan satu-satunya dana bagi masyarakat untuk penanggulangan dampak wabah. Namun mencermati jumlah masyarakat miskin yang begitu besar, jumlah tersebut nampak sangat jauh dari idealnya negara memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan seluruh rakyat. Menurut Asia Development Bank (ADB) saja masih terdapat 22 juta penduduk yang kelaparan dari 25 juta penduduk yang diakui pemerintah terkategori miskin di era Jokowi. (www.cnnindonesia.com//adblaporkan-22-juta-orang-kelaparan-
Akibatnya Perspektif publik terkait program pemberian bantuan sosial (bansos) untuk menanggulangi dampak negatif pandemi virus corona (Covid-19), berubah dari positif menjadi negatif. Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengungkapkan, melalui pemantauan media sosial Twitter awalnya terlihat publik menyambut baik kebijakan pemerintah menetapkan sejumlah bansos, mulai dari bansos sembako hingga bansos tunasi. Implementasi penyaluran bansos yang tidak terarah dan tumpang tindih dianggap menjadi penyebab masyarakat tidak lagi memandang program bansos secara positif.

Kembali Kepada Islam

Dalam sistem kapitalistik hari ini persoalan penyaluran dana bantuan memang bukan hanya persoalan teknis berupa salah sasaran, data ganda, dan mekanisme berbelit.Jumlah atau besaran dana yang dialokasikan Negara untuk rakyat banyak seringkali mengusik rasa keadilan publik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sektor perbankan, pariwisata, dan pajak pengusaha seringkali mendapat perhatian lebih untuk mendapat anggaran besar. Karena dianggap sebagai wajah dan ukuran kekuatan ekonomi Negara. Tak terkecuali di era krisis saat ini.
Berbeda dengan sistem pemerintahan bercorak kapitalisme, sistem Islam akan melahirkan para pemimpin yang berfokus pada kemaslahatan umat.

Sehingga kebijakan-kebijakan yang lahir adalah kebijakan yang mampu menyelesaikan permasalahan umat tanpa menimbulkan permasalahan baru. Karena sesungguhnya, para pemimpin dalam Islam memahami bahwa keberadaannya di pemerintahan adalah semata untuk beribadah kepada Allah swt. Mereka takut akan azab Allah swt. bagi penguasa yang lalai terhadap amanahnya. Apalagi menjadikan amanahnya sebagai jalan tol perburuan rentenya.

Rasulullah SAW bersabda, Siapa yang diamanahi mengurusi umatku lalu menyusahkan mereka, maka baginya Bahlatullahi. Para sahabat bertanya, apakah itu Bahlatullahi? Rasulullah menjawab, Laknat Allah. (HR Abu Awanah dalam kitab sahihnya).
Dalam sistem pemerintahan Islam, yaitu Khilafah, rakyat tidak akan dibiarkan sendiri dalam memenuhi kebutuhannya, karena hal demikian adalah hak rakyat yang harus dipenuhi negara. Negara berkewajiban menjamin kebutuhan pokok rakyat: sandang, pangan, papan, keamanan, kesehatan, dan pendidikan.

Sesungguhnya, sebaik-baik teladan adalah Rasul dan para sahabatnya. Dalam permasalahan penanganan wabah, kita bisa meneladaninya dari Khalifah Umar bin Khaththab.
Dikisahkan dalam buku The Great Leader of Umar bin Khaththab, Kisah Kehidupan dan Kepemimpinan Khalifah Kedua, bahwa pada 18 H, orang-orang di Jazirah Arab tertimpa kelaparan hebat. Makanan sungguh sulit didapatkan. Langkah awal Umar saat itu adalah menjadi teladan terbaik bagi rakyatnya dalam menghadapi krisis. Ia dan keluarganya selalu berhemat dan hidup sederhana, agar beliau bisa merasakan penderitaan yang dialami oleh rakyatnya.
Teladan ini telah membawa pejabat di bawahnya mengikuti langkah beliau. Perilaku ini berbanding terbalik dengan pejabat di sistem saat ini yang boros dan bermewah-mewahan.

Setelah itu, dengan kecerdasan dan kepekaan perasaannya, Khalifah Umar langsung membuat keputusan, lalu mengatur dan mengelola seluruh struktur pemerintahan di bawahnya, sehingga bisa cepat, sigap, dan tuntas dalam memenuhi kebutuhan umat saat krisis. Beliau mengerahkan seluruh struktur dan perangkat negara untuk membantu masyarakat yang terdampak. Para pejabat pun dengan sigapnya merespons hal tersebut, seperti yang dilakukan Wali Mesir, Amr bin Ash.
Khalifah Umar melayangkan surat kepada wali Mesir, Amr bin Ash, yang memerintahkan Amr bin Ash untuk mengirimkan pasokan makanan ke Madinah. Menanggapi surat tersebut Amr bin Ash menuliskan, Saya akan mengirimkan unta-unta yang penuh muatan bahan makanan, yang kepalanya ada di hadapan Anda (di Madinah) dan ekornya masih di hadapan saya (Mesir), dan aku lagi mencari jalan untuk mengangkutnya dari laut.

Perkataan Amr bin Ash direalisasikannya saat itu juga. Cepatnya respons Amr bin Ash terhadap perintah Khalifah Umar, merupakan bukti keharmonisan pemerintah pusat dan daerah.
Begitu pun kecintaan Umar pada rakyatnya, terwujud berupa kebijakan yang menyelesaikan seluruh hajat umat, yang dibalas dengan doa terbaik seluruh rakyatnya untuk Sang Khalifah. Alhasil, hubungan antara pemerintahan pusat dan daerah berlangsung harmonis, dan antardepartemen begitu sinergis.Banyaknya penguasa yang dalam benaknya selalu memikirkan kondisi umat, adalah kondisi saat sistem Islam menjadi arah pandang negaranya.

Begitulah, saat Islam menjadi ideologi negara, semua penguasa akan berpandangan sama, yaitu keberadaan mereka semata untuk umat. Tidak seperti saat ini yang menjadikan kepentingan pribadi dan golongan sebagai asas mereka bekerja. Wallahu alam.

Oleh : Norma Rahman, S.Pi (Guru SMKN 1 Pomalaa, Kolaka)