Dunia digemparkan dengan kehadiran makhluk tak kasatmata, siapa sangka makhluk kecil yang akrab disebut Covid-19 atau virus Corona telah berbulan-bulan hidup di bumi. Covid-19 adalah lawan yang tak terlihat dan ia bukan hanya menyasar kesehatan manusia tetapi masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan, efeknya timbul beragam masalah yang tak pernah terselesaikan.
Hari ini kita diingatkan lagi dengan berita bahwa dunia terancam dilanda kelaparan, seperti dilansir dari lembaga dunia World Food Program yang mengatakan masyarakat dunia akan menghadapi ancaman kelaparan akibat pandemi Covid- 19.
Saat ini ada 135 juta orang menghadapi ancaman kelaparan. Proyeksi dari WFP menunjukkan jumlahnya bisa meningkat dua kali lipat menjadi 270 juta orang. Jumlah ini masih bisa bertambah karena ada sekitar 821 juta orang yang kurang makan. Sehingga, total warga dunia yang bisa mengalami bencana kelaparan melebihi 1 milliar orang. (Tempo.co/23/4)
David Beasley memperkuat data ini dengan mengatakan bahwa ada sepuluh negara yang telah mengalami kelaparan dan menimpa sekitar 1 juta warga. Tidak hanya itu, menurut WFP akan ada 55 negara yang diprediksi terkena bencana ini.
Lantas bagaimana dengan Indonesia, agaknya kita makin sesak mendengarnya. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Asia Development Bank (ADB) bersama International Food Policy Research Istitute (IFPRI) mengungkap sebanyak 22 juta penduduk Indonesia masih mengalami kelaparan kronis. Jumlah tersebut sekitar 90% dari total jumlah penduduk miskin Indonesia, yakni 25 juta jiwa. (Beritagar.id/6/11).
Tidak menutup kemungkinan di tengah wabah Covid-19 kondisi ini bisa jadi tambah parah apalagi melihat minimnya perhatian dari pemerintah. Beberapa kasus kelaparan terungkap seperti ada yang harus makan nasi basi demi, ada yang meninggal setelah dua hari hanya minum air galon, juga seorang bapak yang harus keliling jual hp rusak demi membeli beras untuk makan. Tampaknya rakyat seperti dipaksa untuk mati, bila mereka berdiam diam dengan kebijakan Sosial distancing dan PSBB dari pemerintah apa jadinya, diam diri berarti siap mati kelaparan sedang nekat keluar bekerja berarti siap positif Covid-19.
Meskipun pemerintah menggaet beberapa asosiasi pengusaha untuk membantu menjadi pemasokan pangan atan menaikkan nominal dana Bantuan Pangan Nontunai (BPN) menjadi 200 ribu, tetap menyakitkan. Bayangkan saja hidup di zaman sekarang dengan harga barang meroket dengan jumlah anggota keluarga banyak hanya bermodal 200 ribu, bisakah? Jangan lagi ingin mengatakan rakyat miskin dilarang memperbanyak anak, dilarang banyak makan atau disuruh tanam-tanam segala macam untuk dimakan.
Dirut Perum Bulog, Budi Waseso boleh saja mengatakan stok beras aman karena bulog masih memiliki stok sebanyak 1.4 juta ton di seluruh gudang Indonesia, tapi nyatanya stok pangan di lapangan selalu tak sesuai. Harga barang-barang terus meningkat.
Sebelum wabah Covid-19 saja masalah kemiskinan tidak tuntas apalagi setelah wabah ini datang, sudah jelas membuat kita tersadar. Betapa kapitalisme gagal mengatasi masalah, khusus masalah pangan yang telah terjadi hari ini, malah kondisi ini makin buruk di tengah wabah.
Inilah gambaran kapitalisme yang hanya mampu menghasilkan ketimpangan kaya-miskin pada level individu hingga bangsa. Para kapitalis diberi kebebasan untuk menguasai rantai pasok pangan hingga menikmati kekayaan sumber daya alam. Kalau begini seterusnya, apa lagi yang harus diharapkan pada sistem hari ini?
Kalau mau ingin ke luar dari penderitaan berkepanjangan maka saatnya kita membutuhkan sistem baru. Sistem yang bisa menyelamatkan rakyat dari segala petaka dan memberikan solusi menyejahterakan di tengah wabah kini. Oleh karena itu, satu-satunya sistem yang bisa memberikan angin segar adalah sistem Islam.
Terkait penanganan wabah sistem Islam memberikan solusi Lockdown, mengunci total wilayah wabah sehingga mengurangi penularan ke wilayah lain sementara di luar wilayah wabah aktivitas tetap berjalan sebagaimana biasanya. Untuk persoalan pelik pangan, negara akan mengelola sumber daya alam yang ada tanpa perlu memberikan pengelolaannya kepada asing. Melihat kekayaan bumi pertiwi tampaknya lebih daripada mampu untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyatnya.
Sistem Islam ini juga memiliki visi ketahanan pangan yang jelas, visi ini diarahkan pada 3 target yaitu, 1) ketahanan pangan untuk konsumsi harian, 2) ketahanan pangan untuk kondisi krisis (termasuk bencana, wabah, dst serta 3) ketahanan pangan untuk kebutuhan jihad. Dengan visi inilah sistem Islam akan serius memaksimalkan semua potensi pertanian yang dimiliki di dalam negeri untuk membangun ketahanan pangan tanpa tergantung pada negara asing. (MuslimahNews.com)
Demikianlah gambaran singkatnya sistem Islam dalam menangani wabah. Sistem ini telah terbukti berhasil selama 12 abad, keshahihan visinya dengan tetap berpegang teguh terhadap aturan Ilahi membuatnya mampu menunjukkan kekuatannya. Pertanyaan lagi, masihkah kita berharap pada sistem Kapitalisme sedang di depan mata sistem Islam menawarkan solusi yang mulia? Yakni dalam naungan Khilafah. Wallahu a’lam. [IRP]
Khaeriyah Nasruddin, masih aktif sebagai mahasiswi di jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam. Bergelut dalam Forum Lingkar Pena dan pernah menjadi Duta Literasi UIN Alauddin Makassar 2019.
Oleh: Khaeriyah Nasruddin