Oligarki di Tengah Pandemi, Makin Bergigi

drg. Endartini Kusumastuti

Tidak ada yang mengingkari, di tengah pandemi wabah ini semua lini terkena imbas ekonomi. Bahkan Indonesia sedang dalam krisis ekonomi jilid 2. Dalam sejarah Indonesia memperlihatkan bahwa kelompok 1 persen alias super-kaya tak hilang meski diterpa gelombang krisis ekonomi, seperti pada 1998 dan 2008. Bahkan, mereka bertambah kaya, atau anggotanya bertambah, berkat krisis.

Ada peran kebijakan politik, terutama yang berwatak ‘socialism for the rich and capitalism for the poor’ dengan dalih menyelamatkan yang berdampak sistemik, ‘too big to fail’. (www.cnnindonesia.com, 30/04/2020). Kini di masa pandemi Corona, di saat dua juta pekerja terkena PHK, kebijakan baru bak membuka peluang lebar penambahan kekayaan para oligarki, kembali dengan mendompleng ancaman resesi, pandemi Covid-19.

Oligarki Rezim Makin Terlihat Saat Pandemi
Penelitian Megawati Institute pada 2017 menunjukkan bahwa nilai Material Power Index (MPI), yang merupakan ukuran kadar oligarki ekonomi di sebuah negara, mencapai 584.478. Maknanya, orang yang masuk daftar 40 orang terkaya di Indonesia rata-rata memiliki kekayaan 584.478 kali lipat dari rata-rata pendapatan per kapita. Data-data itu bisa diartikan bahwa orang kaya semakin bertumbuh kekayaannya. Ini menjurus pada sekelompok kecil yang menguasai kekayaan, gejala nyata dari oligarki. (www.cnnindonesia.com, 30/04/2020).

Michael Cohen dalam “A Garbage Can Model of Organizational Choice” mengemukakan istilah garbage can model bagi sebuah regulasi atau kebijakan. Istilah ini menggambarkan regulasi atau kebijakan yang diformulasikan secara sembrono oleh berbagai kepentingan dan agenda yang saling bercampur, tanpa pemahaman penuh tentang konteks permasalahan yang harus di atasi. Istilah garbage can model dari Cohen itu dinilai identik dengan perumusan hingga eksekusi program Kartu Prakerja melalui Perpres No. 36 tahun 2020.

Letupan kecil berupa keganjilan awal mengenai Kartu Prakerja seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sehingga memberikan efek domino berupa persepsi minor dan polemik konkret yang meluas. Mulai dari indikasi konflik kepentingan akibat keterlibatan perusahaan, yang ketika itu masih merupakan, salah satu Staf Khusus Presiden dalam program pelatihan Kartu Prakerja, hingga indikasi adanya permainan dana dan kepentingan seperti yang belakangan disampaikan DPR kepada KPK. (www.pinterpolitik.com, 30/04/2020).

Birokrasi dalam Islam Terhindar dari Oligarki
Gurita politik oligarki dalam sistem demokrasi sesuatu yang sering terjadi. Hal tersebut menunjukkan gagalnya partai politik sistem demokrasi dalam menjalankan fungsinya. Fungsi kaderisasi macet dan partai politik lebih suka menggelar karpet merah bagi pemburu kekuasaan bermodal uang miliaran rupiah. Ongkos politik yang mahal memaksa partai politik melakukan segala macam cara untuk mendapatkan pendanaan. Celah ini dimanfaatkan para pengusaha, konglomerat, dan pelaku dunia korporasi untuk masuk dan menancapkan oligarkinya.

Hal itu sangat berbeda dengan Islam. Sistem birokrasi dan administrasi dalam Islam memiliki ciri yang khas, yaitu basathah fi an-nizham (sistemnya sederhana), sur’ah fi injaz (cepat selesai), dan kifayah fi man yatawalla al-a’mal (cukup pelaksanaannya).
Dengan ketiga ciri khas tersebut, semua urusan rakyat bisa tertangani dan terselesaikan dengan baik dan cepat, juga bisa mencegah terjadinya korupsi dan suap di setiap lini. Sebab, ciri khas orang yang membutuhkan pelayanan biasanya ingin cepat terselesaikan. Jika sistem birokrasinya bertele-tele, maka ini akan membuka pintu terjadinya suap dan korupsi.

Inilah cara Islam menyusun birokrasinya hingga dapat menghindari oligarki. Mengharapkan sistem yang baik dan benar hanya ada pada sistem Islam. Sederhana dalam birokrasinya dan ditempati oleh para ahli yang amanah serta bertakwa.

Penulis:
Drg Endartini Kusumastuti
(Pemerhati Sosial Masyarakat Kota Kendari)