Oleh: Erni Yuwana (Aktivis Muslimah)
Dunia terasa tak lagi sama. Pandemi virus corona (covid-19) mengancam hak paling dasar pada manusia, yakni hak hidup. Jutaan manusia terinfeksi virus dengan ratusan ribu diantaranya meninggal dunia. Solusi social distacing atau gerakan “di rumah saja” untuk menghentikan penyebaran virus, memunculkan permasalahan baru. Akibatnya, sektor publik tutup. Sekolah, universitas, pasar dan sektor publik lainnya kini terasa sunyi. Sektor swasta lumpuh. Perusahaan-perusahaan tak lagi beroperasi. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di mana-mana. Perekonomian negeri berada di titik nadir. Kemiskinan merajalela. Kelaparan menjadi pemandangan baru. Kriminalitas meningkat tajam. Lantas, harus bagaimana membangkitkan kembali perekonomian negeri melawan pandemi ini?
Untuk mendongkrak perekonomian rakyat, pemerintah mengucurkan berbagai stimulus untuk mengatasi dampak ekonomi yang ditimbulkan pandemi. Salah satu stimulus itu adalah bantuan sosial berupa sembako dan bantuan langsung tunai atau BLT. Presiden Joko Widodo telah menyetujui penyaluran BLT Corona sebesar Rp 600 ribu per keluarga dan akan diberikan selama tiga bulan. Pemerintah mengalokasikan BLT ini bagi warga yang berada di luar Jabodetabek. Tidak semua warga miskin di luar Jabodetabek akan mendapatkan BLT tersebut. Sebab, BLT hanya akan diberikan kepada warga yang belum menerima bantuan sosial lainnya, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), dan Kartu Pra Kerja.
Namun sayangnya bantuan yang telah disalurkan Pemerintah, baik itu BLT maupun sembako dirasa belum menyentuh kepada lapisan bawah. Bahkan sebagian masyarakat belum menerima bantuan tersebut. Direktur eksekutif Center of Public Policy Studies (CPPS) Bambang Istianto mengungkapkan, persoalan keterlambatan bantuan lagi-lagi menjadi masalah klasik birokrasi di negeri ini. Selain itu SOP yang kurang jelas dan data yang tidak akurat menjadikan manajemen distribusi menjadi lemah.
Kepala Desa Nglandung, Kecamatan Geger, kabupaten Madiun, Jawa timur, Pamuji, bercerita pencairan Bansos terkait penanggulangan Covid-19 belum ada yang terealisasi. Wali Kota Tangerang Arief Wismansyah mengatakan, bantuan dari pemerintah pusat bagi warga Kota Tangerang tak kunjung turun padahal pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di wilayah itu sudah berjalan 11 hari. Pada hari Selasa (28/4/2020), saat ditanya Kompas.com tentang bansos itu, Arief menyatakan bingung dengan informasi yang diberikan pemerintah pusat karena bantuan yang dijanjikan tak ada tanda-tanda akan segera cair.
Nyatanya, program-program bantuan dari pemerintah pusat kepada warga terdampak Covid-19 terkendala pencairan. Sejumlah kepala daerah menilai aturan yang pemerintah buat berbelit-belit dan menimbulkan masalah baru. Bahkan sebuah video viral yang tersebar di media sosial memperlihatkan Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim) Sehan Salim Landjar mengamuk karena warganya susah makan dan belum dapat bantuan dari pemerintah akibat pandemi Corona. Bupati Sehan sampai menghardik menteri yang mengeluarkan mekanisme BLT melalui transfer bank. Sehan mengatakan para menteri mempersulit pembagian BLT kepada rakyat yang terdampak Covid-19. Menurutnya, rakyat sudah kelaparan dan membutuhkan kehadiran negara.
“Rakyat minta seliter beras, dia tunggu BLT tapi BLT-nya kapan? Bahkan ada yang bilang kasih saja beras 5 kg, biar nggak usah BLT. Kita sudah mau makan sekarang,” kata Sehan.
Karena itu, wajar jika banyak kepala daerah yang kesal dengan pola penyaluran bansos pemerintah pusat. Sudah kewenangannya diambil, di lapangan juga tak dilaksanakan dengan baik. Akibatnya, kepala daerah yang harus menghadapi kondisi di lapangan yang kian berat.
Sementara itu, pada Rabu 29 April 2020 lalu, penyaluran bansos berupa paket sembako untuk warga terdampak Covid-19 sempat tersendat. Hal itu dikarenakan harus menunggu tas pembungkus untuk mengemas paket sembako. Tas untuk mengemas paket sembako itu bewarna merah putih dan bertuliskan ‘Bantuan Presiden RI Bersama Lawan Covid-19’. Di tas itu juga terdapat logo Presiden Republik Indonesia dan Kementerian Sosial serta cara-cara agar terhindar dari virus corona.
“Pemberian bantuan sosial semestinya tidak boleh tersendat karena persoalan non-esensial seperti itu. Masyarakat saat ini benar-benar sangat membutuhkan bantuan. Mereka sebetulnya tidak mempermasalahkan tas pembungkusnya. Yang mereka tunggu saat ini adalah bagaimana agar kebutuhan hidup mereka tercukupi,” ujar Saleh, anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PAN kepada Liputan6.com, Kamis (30/4/2020).
Buruknya birokrasi pemerintah menjadikan masyarakat sulit menerima bantuan, sedangkan perut sudah menjerit meminta haknya. Apalagi harus diwarnai dengan pencitraan lewat tas paket sembako yang bertuliskan ‘Bantuan Presiden RI Bersama Lawan Covid-19’. Padahal bantuan sosial tersebut bukan berasal dari kantong pribadi presiden, namun dari APBN yang notabene uang rakyat.
Hal ini membuktikan bahwa penguasa tidak mampu dalam memenuhi kebutuhan rakyat. Bantuan sosial tak ubahnya sekedar janji manis yang tak bisa diharapkan. Hak hidup rakyat bukan menjadi hal yang diprioritaskan oleh negara. Peran negara untuk memenuhi kebutuhan rakyat terus diabaikan. Bahkan yang terasa adalah nyawa rakyat tidak pantas dinomorsatukan. Inilah paradigma negeri kapitalis sesungguhnya, bahwa nama baik penguasa lebih tinggi dari nyawa rakyat.
Dalam sistem Islam, negara berkewajiban memenuhi kebutuhan pokok rakyat. Khalifah sebagai kepala negara juga harus memastikan seluruh warganya tidak kekurangan dalam memenuhi kebutuhan pokoknya. Sedangkan ketika wabah melanda, negara wajib memastikan kebutuhan pokok rakyat tercukupi hingga berakhirnya wabah.
Negara juga menjamin kemudahan rakyat dalam mengakses pelayanan publik seperti listrik dan internet di tengah wabah. Negara memastikan seluruh rakyat memperoleh layanan listrik dan internet dengan murah dan berkualitas, bahkan gratis.
Kewajiban negara memenuhi kebutuhan pokok dan kemudahan pelayan publik kepada rakyat, menjadikan rakyat semangat dan optimis dalam menghadapi wabah. Rakyat pun terhindar dari stres yang melemahkan imun dan iman.
Menakjubkannya pemenuhan kebutuhan pokok dan pelayanan publik ini tidak hanya diberikan saat ada wabah saja. Namun, memang menjadikan kewajiban utama dan pertama khalifah kepada rakyatnya setiap saat. Semua itu negara berikan kepada warga negara yang berada dalam naungannya. Tanpa memandang agama, bangsa, etnik, suku dan rasnya.
Adapun sumber pembiayaan negara untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat dan pelayanan publik, diperoleh dari baitul mal (kas negara). Sumber dana baitul mal sendiri diperoleh dari hasil pengelolaan harta kepemilikan umum, jizyah, fai’, kharaj, dll. Bila dana baitul mal tidak mencukupi, maka negara akan membuka pintu sedekah dan memberlakukan pajak bagi orang kaya saja.
Inilah fungsi dari negara dan penguasa yang sesungguhnya. Menjadi pengurus dan penjaga rakyatnya. Sebagaimana dalam hadis, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Negara dan penguasa yang adil dan amanah hanya akan terwujud jika sistem Islam diterapkan secara kaffah dalam institusi negara. Bukan dengan terus menerus mempertahankan sistem rusak kapitalisme-demokrasi yang hanya melahirkan negara dan penguasa yang abai dan lalai mengurus rakyat. Getol membangun pencitraan demi menutupi kegagalan. Wallahu’alam bish shawwab.