Ada banyak buku yang tercipta, lembaran-lembarannya mengupas kepribadian sosok agung yang jika disandingkan dengan seluruh pemimpin sejak awal manusia diciptakan hingga hari ini maka dialah pemimpin yang paling agung, baik, dan amanah. Tidak ada keindahan, kenyamanan, dan kenikmatan yang dapat mengungguli indahnya mengenal kehidupanNya.
Dialah Amirul mu’minim kaum Muslim yang pertama. Seorang lelaki yang dibekali dengan tabiat perkasa lagi tak kenal rasa takut, tegas tanpa mengenal keraguan, dan bertekad kuat tanpa mengenal futur, bernama Umar bin Khattab Radiallahu’anhu.
Rela berjalan di bawah terik panas matahari yang menyengat demi menjaga harta kaum Muslimin dari kelenyapan dan kehilangan. Menemani istrinya di penghujung malam untuk memikul sekarung gandum serta membawa sekantung air dan mentega. Atau seorang Khalifah yang terlambat datang ketika hendak berkhutbah Jum’at lantaran hanya memiliki satu selendang yang masih dicuci.
Saat memangku kekuasaan, Umar bin Khattab menyampaikan kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikannya kepada rakyat, yaitu;
Pertama, aku tidak akan mengambil sesuatu pun dari harta pajak yang kalian bayar dan harta yang telah Allah jatah untuk kalian kecuali dengan haknya. Kedua, jika harta tersebut jatuh ke tanganku, Aku tidak akan mengeluarkannya kecuali dengan haknya pula.
Ketiga, aku akan memakmurkan dan mensejahterakan kalian, serta menutup semua kekurangan kalian, InsyaAllah. Keempat, aku tidak akan menjerumuskan kalian ke dalam jurang kehancuran.
Kemudian ia memulai tanggung jawab atas rakyatnya dengan cara hidup seperti rakyat yang paling miskin. Memikul beban tanggung jawab di atas pundaknya, tidak membebankannya kepada orang lain yang sibuk dengan tanggung jawabnya masing-masing. Sangat hina baginya jika ada yang datang untuk menggantikan posisinya dalam melaksanakan tugas dan membantunya.
Adapun tanggung jawabnya atas harta kaum Muslimin mencapai batas tertinggi dalam penjagaan dan kehati-hatian terhadapnya. Hari kiamat seakan berdiri di hadapanNya jika mendengar berita bahwa satu dirham dari harta kaum Muslimin di curi, di rampas atau digunakan secara boros atau berlebihan. Badannya bergoncang dan bergetar, seakan-akan simpanan baitul mal telah hilang seluruhnya. Sebab Ia takut jika Allah mempertanyakan soal satu dirham itu.
Umar percaya akan keistiqamahan prinsipnya sehingga Ia berani mengangkat tinggi bendera saran dan kritik. Siapapun berhak untuk mengkritisi kebijakan pemerintahannya sebab baginya tidak ada kebaikan jika tidak mendengarkannya. Terbukti saat seorang lelaki dengan muka marah mendatanginya dan membawa sekepal potongan rambut ditangannya, tiba-tiba melemparkannya ke dada Umar Ra dan mengeluhkan Abu Musa Al-Asy’ari seorang Gubernur yang telah memberinya hukuman padahal Ia tidak berhak dihukum. Mendengar itu Umar kemudian menulis surat untuk Abu Musa agar memberikan peluang bagi lelaki ini untuk membalas perbuatan itu.
Sungguh menyedihkan bila sosok mulia, agung dan suci ini disamakan dengan pemimpin yang kebijakannya dari rakyat bangun tidur hingga tidur kembali hanya dibuat sengsara. Ketika pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab dibuka lebar-lebar pintu kritik justru hari ini ada banyak kritisi yang dihukum karenanya. Saat Umar marah ketika delegasinya memberlakukan hukuman tanpa pertimbangan, seketika Umar memberlakukan qishah terhadapnya. Hari ini para pembuat keputusan, aparat dan para prajurit justru bertindak sewenang-wenang dan pemimpinnya hanya mengungkap rasa kaget dan heran saat dimintai keterangan.
Pantaskah disamakan? Saat Umar Radhiyallahu’anhu di malam hari memikul gandum untuk rakyatnya sedangkan Ia pada malam hari diam-diam menaikkan harga bahan bakar minyak. Saat wabah terjadi dimasanya, Umar dengan tegas memberlakukan karantina wilayah, Ia malah menolak dan berdalih itu bisa menghambat perputaran perekonomian.
Hanya karena aksi blusukannya pada malam hari di perkampungan untuk memberikan bantuan langsung sembako kepada warga, Lantas ia bisa disamakan dengar sosok hebat tanpa pencitraan seperti Umar bin Khattab. Belum lagi bantuan langsung tunai selama pandemi yang hanya diberikan pada rakyat yang terpilih saja, padahal Umar bin Khattab memperhatikan seluruh rakyatnya tanpa terkecuali, semua mendapatkan hak, baik yang masuk dalam kategori kaya ataupun miskin sebab semua rakyat mempunyai hak yang sama. Apalagi virus ini tidak hanya berdampak pada orang tertentu saja melainkan semua berpotensi untuk terjangkiti.
Sungguh dari sisi manapun Ia tak layak disamakan dengan Khalifah Umar bin Khattab, jika memang harus ada yang disamakan, maka merekalah para donatur-donatur hebat bagian dari masyarakat yang paling berhak disamakan. Mereka memberikan bantuan jauh sebelum pemerintah menyalurkan dana.
Memang betul bahwa Umar telah membuat lelah para pemimpin setelahnya dan menjadikan tanggung jawab mereka besar dan berat. Sebab Ia mampu mencapai puncak tertinggi dalam keadilan, kasih sayang dan amanah. Maka apa alasan para pemimpin masa depan jika tekad mereka sudah melemah? Umar adalah hujjah Allah bagi setiap pemimpin. Di hari penghisapan kelak, jika seorang pemimpin mengatakan, “Ya Allah, Aku tidak sanggup.” Maka Allah akan bertanya kepadanya, “Lalu mengapa Umar bisa melakukan itu semua?”
Maka patutlah para pemimpin hari ini, jika menyadari tentang kehebatan seorang Khalifah Umar bin Khattab, Ali bin Abu Thalib dan para pemimpin lainnya di masa pemerintahan Khilafah, memosisikan pandangan mereka pada kaedah yang menjadi dasar bangungan raksasa kehebatannya yaitu sebuah sistem Islam. Wallahu a’lam.
Oleh: Marhamni Aulia (Pegiat Literasi Makassar)