Demokrasi Telah Gagal Menangani Virus, Islam Solusinya

Yusrah Ummu Izzah

Dunia saat ini terasa mencekam dan memprihatinkan. Sudah hampir 5 bulan wabah virus Covid-19 menimpa 210 negara di Dunia, tercatat 2.008.164 orang telah terinveksi berdasarkan situs referensi statistic Worldmeter per rabu (15/4).

Sebanyak 127.147 nya meninggal dunia. Semua negara dibuat sibuk menghadapi ancaman dan dampak virus global Covid-19 ini. Virus ini telah berhasil melemahkan system imun tubuh kita, juga meruntuhkan system ketahanan negara. Di banyak negara, akibat virus ini telah menghentikan sementara gerak, daya, pikiran dan nyawa manusia. Pun keganasan virus ini berhasil memporak-porandakan klaim kemajuan dan kecanggihan suatu negara.

Iklan Pemkot Baubau

Semua kita termasuk negara besar, seolah tak berdaya menghadapi gerak laju virus ini. Kecepatan serta daya penetrasi virus ini melebihi kecepatan pikiran, gerak, daya dan reaksi negara dalam upaya mitigasikebencanaan dan kondisi kedaduratan. Bagi masyarakat awam secara umum serangan dan dampak virus ini menimbulkan kepanikan, sehingga memicu kegelisahan dan kebingunan memilih tindakan.

Sementara bagi para korban dan keluarganya, virus Covid-19 ini meninggalkan penderitaan dan trauma yang membekas. Betapa tidak, para korban pasien harus terisolasi, bahkan korban meninggal hingga pemakaman pun, melalui protocol khusus Covid-19 sangat memilukan terpisah dari keluarga dan kerabat.
Buah Dari Sistem Demokrasi Kapitalis
Di Indonesia, serangan virus ini membuat pemerintah panik dalam mengambil tindakan. Akibatnya, paket kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah, tidak bersinergi, terkesan carut marut, minim koordinasi, lemah komunikasi serta saling lepas tanggung jawab. Bahkan beberapa kasus kepala daerah mengambil kebijakan sepihak dengan alasan kemanusiaan.

Kebijakan lockdown misalnya, tercatat 6 kepala daerah menerapkan ‘locallockdown’ yakni ; propinsi Papua, Kota Tegal, Tasikmalaya, Bali, propinsi Maluku dan Propinsi Sumatra Barat, (kompas.com, 29/03/2020). Kondisi di atas terjadi karena penerapan manajemen krisi bukan pilihan yang dilakukan pemerintah (baca; negara).
Ditambah kebijakan pemerintah yang super aneh yaitu pembebasan para napi demi cegah Corona. Setidaknya ada 30.432 napi telah dibebaskan oleh kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumhan) di masa wabah ini (cnnindonesia, 05/06/2020).
Dan ternyata setelah dilepas merekapun berulah lagi. Mulai dari menjadi kurir narkoba hingga terlibat dalam aksi penjambretan di sejumlah lokasi. (kompas.com, 12/14/2020). Sungguh berat beban yang harus diterima dan dipikul rakyat saat ini.

Sistem ekonomi kapitalis, yang diterapkan di negara-negara demokrasi, termasuk Indonesia menjadi penyebab buruknya penanganan wabah. Sebagai system yang hanya bertumpu kepada capaian materialistic, maka menyelamatkan ekonomi negara lebih diutamakan dari pada menyelamatkan rakyat. Berbagai program untuk keselamatan rakyat hanyalah sebagai peleyanan ‘alakadarnya’ atas apa yang sudah diberikan rakyat kepada negara (berupa berbagai macam pajak maupun asuransi yang sudah dibayarkan preminya).

Keselamatan rakyat diberikan hanya demi pemulihan ekonomi pasca krisis, demi kepentingan kaum kapitalis. Bantuan terhadap Indonesia misalnya, telah diberikan oleh USAID (United States Agency For International Development) senilai US$2,3 juta (Rp.36 miliar). Dan Bank Dunia baru saja menyetujui pinjaman US$300 juta (Rp.4,95 triliun) untuk Indonesia. Apakah bantuan ini tulus? Jelas tidak. Indonesia harus pulih ekonominya agar bisa dijarah kembali oleh Amerika. Itulah motif sejati diberikannya bantuan.

Demikianlah beberapa bukti kegagalan Negara Demokrasi dalam menangani wabah Covid-19. Bagaimana dengan Negara Khilafah ?
Islam Solusi Paripurna
Negara Islam tegak di atas aqidah Islam, yang meyakini kehidupan ini adalah ladang beramal yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Ta’ala. Dalam Islam, seorang pemimpin menempatkan dirinya sebagai raa’in (pengurus) sekaligus junnah (pelindung) bagi ummat. Ia akan sungguh-sungguh melaksanakan ke-2 fungsi tersebut karena beratnya pertanggungjawaban di sisi Allah Ta’ala. Kesadaran inilah yang menjadikannya sangat serius dalam penanganan wabah dengan prioritas keselamatan rakyat.

Mitigasi kebencanaan pun menjadi bagian tugas kepemimpinan. Negara Islam akan bersegera melakukan berbagai upaya untuk mengurangi resiko dan memastikan kebutuhan dasar serta keselamatan rakyat tetap terjaga, juga akan menegakkan semua hukum syara yang terkait dengannya.

Lockdown syari akan segera diberlakukan untuk mencegah resiko yang lebih besar. Konsep lockdown yang syari ini tidak mengenal sekat-sekat negara bangsa dan egois kedaerahan yang diharamkan Islam.
Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam sudah mengajarkan, jika wabah terjadi di suatu daerah bagaimana ummatnya harus menyikapi.

Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam bersabda “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka janganlah tinggalkan tempat itu.” (HR. Al-Bukhari)
Hadits ini menjelaskan larangan memasuki wilayah wabah, agar tidak tertular. Begitu juga yang sudah di dalam, tidak boleh keluar. Agar tidak menularkan kepada yang lain, kecuali keluar dari wilayah itu untuk berobat. Ketika wabah terjadi di zaman Kekhalifaan Umar bin Khaththab Radhiallahu ‘anhu –saat itu wilayah wabahnya adalah Amawasash, dekat Palestina, wilayah Syam-, Umar pun menaati syariat dengan melaksanakan prinsip hadits ini dengan membatalkan kepergiannya ke lokasi wabah.

Keputusan negara Islam untuk lockdown syari, akan diikuti oleh rakyat karena ketaatan mereka kepada pemimpin, terlebih mereka yakin bahwa negara tak akan abai. Negara akan menerapkan system ekonomi Islam yang memastikan perekonomian negara stabil. Ini karena system ekonomi Islam adalah system yang anti riba, moneter berbasis emas perak yang stabil nilainya, dan menempatkan izin Allah Ta’ala sebagai basis penentun kepemilikan serta basis dalam pengelolaan dn pengembangan harta.

Dengan penerapan system ekonomi seperti ini, negara akan memiliki dana dalam menghadapi wabah sehingga mampu mengerahkan seluruh yang dibutuhkan seperti fasilitas kesehatan, logistic, dan jaminan keamanan. Negara juga akan mendorong berbagai riset untuk menciptakn teknologi, obat, atau apapun yang dibutuhkan ummat, sebagai bentuk khidmat negara kepada mereka. Sehingga fungsi pengurus dan penjaga ummat akan betul-betul tertunaikan secara maksimal.
Inilah bedanya negara demokrasi dan negara Islam dalam menangani wabah. Yang satu mengabdi pada hawa nafsu para pemburu harta dan kekuasaan, sedang yang lain dibimbing wahyu Allah Ta’ala dan keimanan. Negara demokrasi secara nyata telah gagal, sangat tak layak dipertahankan.

Sistem Islam lah satu-satunya harapan kita. Saatnya bagi ummat Islam untuk menjadikan system alternatif untuk diterapkan.
Tidak cukup hanya mengimani janji Allah Ta’ala dan kabar gembira dari Rasulullah Shalallahu ‘alahi Wasallam akan kembali tegaknya system tersebut, tapi juga turut memperjuangkannya, sebagaimana Firman Allah Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, …” (QS. AL-Anfal ayat 24)
Wallahu a’lam bishshawab

Oleh : Yusra Ummu Izzah (Pendidik Generasi-Komunitas Ibu Cinta Qur’an)