Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mewaspadai terjadinya baby boom pasca pandemi COVID-19 atau virus Corona. (detik.com, 8/5/2020)
Kekhawatiran BKKBN bukan tanpa alasan. Menurunnya keikutsertaan KB oleh masyarakat secara signifikan di berbagai wilayah cukup menggejala. Wabah virus Corona diakui mampu menahan animo para pasutri yang sebelumnya adalah akseptor KB untuk datang ke fasilitas kesehatan karena takut tertular. Risiko kegagalan KB siap mengintai. Hingga baby boom pun dirasakan penting untuk diwaspadai.
Benarkah demikian? Mengapa baby boom dicemaskan, sedang hadirnya bayi dalam rahim di luar kehendak manusia? Sungguh dunia sudah terbalik.
Bukan Salah Baby Boom Mengandung
Baby boom, sebuah istilah yang merujuk pada ledakan angka kelahiran bayi. Dengan kata lain ada lonjakan kelahiran bayi dalam waktu yang hampir bersamaan.
Konon ledakan angka kelahiran bayi yang terjadi bisa menimbulkan beberapa permasalahan terkait kependudukan, kualitas SDM, hingga ekonomi.
Jelas hal ini bukan perkara main-main bagi BKKBN, lembaga yang khusus menjalankan program untuk menekan populasi penduduk. Ambisi menyukseskan Keluarga Berencana (KB) yang digelar sejak akhir 1970-an terancam musnah dengan selama pandemi. Ledakan penduduk bakal terjadi.
Imbasnya kemiskinan dan kelaparan siap membayangi.
Benarkah demikian? Sayangnya tidak. Sebab pencanangan KB berangkat dari asumsi bahwa pertumbuhan populasi penduduk selamanya tidak akan pernah seimbang dengan ketersediaan barang dan jasa. Hal ini sejalan dengan teori populasi yang dikenal dengan Teori Malthus.
Abad 18, Seorang ahli ekonomi dari Inggris, Thomas Robert Malthus mengemukakan teori yang menggemparkan dunia. Ia menjelaskan bahwa pertumbuhan penduduk akan lebih cepat dari pada pangan itu sendiri. Karena pangan bertambah menurut deret hitung sementara populasi orang melaju sesuai deret ukur.
Bila dikaji lebih jauh, pernyataan Malthus jauh dari fakta, sejauh bumi dan langit. Tak lain karena produksi pangan dunia bukannya kurang, melainkan cukup, bahkan lebih dari cukup untuk memberi makan seluruh populasi manusia di dunia. Pada bulan Mei tahun 1990, FAO (Food and Agricultural Organization) mengumumkan hasil studinya, bahwa produksi pangan dunia ternyata mengalami surplus 10 % untuk dapat mencukupi seluruh populasi penduduk dunia.
Dalam sebuah studi terbaru yang menganalisis data tahunan PBB tentang perdagangan makanan internasional dari tahun 1986 hingga 2010 di hampir 180 negara, juga ditemukan bahwa produksi pangan cukup menyuplai kebutuhan seluruh dunia. Mulai dari negara-negara dengan produksi tinggi seperti Amerika Serikat dan Brasil hingga negara-negara dengan sumber daya pertanian yang lebih terbatas seperti Jepang dan negara-negara Timur Tengah. Penelitian yang diterbitkan di Jurnal BioScience ini fokus pada 266 komoditas seperti beras, gandum, jagung, dan kedelai serta produk hewani. (tirto.id, 12/4/2019)
Lebih dari itu, dalam konteks politik dan ekonomi global, teori ini pun basi. Karena terbatasnya barang dan jasa jelas hanya dugaan.
Padatnya populasi maupun kurangnya produksi pangan bukanlah penyebab kelangkaan. Melainkan lebih disebabkan adanya masalah dalam distribusi barang dan jasa. Semua ini terjadi ketika ideologi kapitalisme oleh Barat (negara-negara penjajah) dipaksakan atas Dunia Ketiga, termasuk Dunia Islam. Tabiat serakah yang dimiliki kapitalisme tampak dari penguasaan sekitar 80 persen barang dan jasa dunia, oleh negara-negara kapitalis yang jumlah penduduknya hanya sekitar 25 persen dari seluruh penduduk dunia. (Rudolf H. Strahm, Kemiskinan Dunia Ketiga, Pustaka Cidesindo, 1999).
Anak adalah Anugerah dari Sang Khalik, Mengapa Ditolak?
Siapa tak senang melihat anak-anak? Sungguh Allah SWT telah jadikan fitrah dalam diri manusia untuk cenderung dan mengasihi mereka. Tak disangkal lagi, memiliki anak adalah anugerah semata-mata dari Sang Maha Pencipta. Sekaligus amanah yang tak diberikan ke semua pasangan suami istri.
Firman Allah SWT,
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. Asy Syura: 49-50)
Secara gamblang ayat ini menjelaskan bahwa perkara ada tidaknya anak semata hak prerogatif Allah. Tak satu pun makhluk di muka bumi ini kuasa menolak jika Allah telah berkehendak. Maka persoalannya bukan pada baby boom atau tidak, karena jelas hal itu di luar kekuasaan manusia untuk menetapkan. Alih-alih merisaukan baby boom, mengapa tidak membenahi sengkarut distribusi barang dan jasa yang sumbernya dari penerapan ideologi kapitalisme?
Mengutip dari tulisan KH Shiddiq Aljawi yang merujuk pada Prof. Ali Ahmad As-Salus menyayangkan KB jadi program yang harus dilaksanakan masyarakat luas, dengan umat Islam di dalamnya. Membatasi kelahiran dengan alasan takut akan kemiskinan dan kelaparan sungguh tertolak syariat karena tak sejalan dengan Aqidah Islam. Yakni ayat-ayat yang menjelaskan jaminan rezeki dari Allah untuk seluruh makhluknya. (Prof. Ali Ahmad As-Salus, Mausu’ah Al-Qadhaya Al-Fiqhiyah Al-Mu’ashirah, 2002)
Firman Allah dalam surah Huud,
“Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (QS Huud : 6)
Adapun KB dalam konteks mengatur jarak kelahiran, boleh dilakukan. Selama tidak mendatangkan mudarat juga tidak permanen seperti tubektomi dan vasektomi. (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham al-Ijtima’i fi Al-Islam, hal. 148).
Dalil kebolehannya jelas. Diriwayatkan dari sahabat Nabi Saw, Jabir ra yang berkata,
”Dahulu kami melakukan azl [senggama terputus] pada masa Rasulullah ﷺ sedangkan alquran masih turun.” (HR Bukhari).
Alhasil, kerisauan akan terjadinya baby boom harusnya memantik pula kegalauan akibat tidak diterapkannya syariat Allah dengan kaffah. Karena hal inilah yang akan menjaga kokohnya iman terhadap Allah Sang Maha Pemberi Rezeki dalam diri tiap individu juga menjadi Rahmat bagi seluruh alam, tanpa kecuali. Wallahu a’lam
Ummu Zhafran
(Pegiat Opini Islam, Komunitas AMK)