Manusia dalam melintasi sejarah panjangnya telah menderita banyak epidemi yang mempengaruhi keselamatan fisik mereka, juga mempengaruhi perkembangan mereka secara numerik atau praktis karena penyebaran epidemi ini yang begitu cepatnya, serta kemunculannya secara tiba-tiba dan cepat, sehingga orang tidak diberi kesempatan untuk melawan dan membasminya kecuali setelah merenggut ribuan nyawa, dan setelah menyebabkan kekacauan dan kebingungan di tengah masyarakat. Jika kita amati sejarah epidemi dalam hal waktu dan tempat, maka kita menemukan bahwa tidak ada satu pun negara yang bebas dari kemunculan dan penyebarannya, seperti thā’ūn (wabah), termasuk wabah hitam atau maut hitam (black death), dan influenza dari segala jenis, terutama Spanyol, yang merenggut nyawa 75 juta orang di seluruh dunia, kolera, Ebola, SARS, dan lainnya hingga Corona.
Mungkin virus Corona akan terus menyerang negara-negara di dunia, dan ketidakmampuan untuk menghadapinya atau menemukan vaksin yang dapat menghentikannya, meskipun ada upaya untuk membatasi itu, terlepas dari langkah-langkah ketat pemerintah untuk membatasi penyebarannya, dengan kegagalan banyak negara seperti Italia, Spanyol, Prancis dan Amerika Serikat menghadapi epidemi yang tidak terlihat oleh mata telanjang ini, serta menyerahnya sejumlah negara lain sebagai deklarasi kekalahan untuk melawannya, dengan mengekspos kelemahan sistem medis bahkan pada tingkat negara-negara maju, telah memunculkan banyak pertanyaan ke benak orang: Kapan krisis Corona berakhir? Dan kapan orang akan mendapatkan kembali kehidupan normalnya?
Karena epidemi ini masih memburuk menurut laporan medis resmi, serta terus meluas dan memakan lebih banyak korban, menimpa kaum Muslim dan orang-orang kafir, dari bumi belahan timur hingga barat. Namun perbedaannya adalah dalam hal menganggapnya sebagai bencana, di mana khusus bagi orang Muslim yang beriman dengan akidahnya, dan yang berprasangka baik kepada Tuhannya, maka pandangannya ini akan membimbingnya terhadap perilaku terbaik, kesadaran, dan menghadapinya untuk mengatasi krisis ini dengan cara yang baik, bebas dari frustrasi, keputusasaan, ketakutan dan kegelisahan yang tengah diderita Barat, di mana mereka menghitung setiap teriakannya.
Sebelum kita bertanya kapan krisis Corona berakhir? Pertama, kita harus mengerti poin penting, bahwa epidemi adalah bencana yang akan berlalu, yang tidak akan bertahan dan tidak akan berlangsung seterusnya. Krisis ini akan berjalan sebagaimana banyak epidemi yang telah terjadi sebelumnya, dengan seizin Allah, karena tidak ada hal yang kekal di alam semesta ini, semuanya ada awal dan akhir yang telah tentukan baginya. Sejarah adalah bukti terbaik untuk hal ini, seperti yang disebutkan sebelumnya, bahwa epidemi telah menimpa banyak negara sebelum kita, tetapi semuanya berlalu.
Mentalitas seorang Muslim yang meyakini keterbatasan alam semesta dan kehidupan ini, serta semua fenomena yang menimpanya, membuatnya yakin bahwa setiap sesuati memiliki ajal yang telah ditetapkan, dan bahwa epidemi adalah takdir yang berlalu, di mana Allah akan menimpakannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari para hamba-Nya.
Di sisi lain, berakhirnya krisis Corona tergantung pada penemuan vaksin untuk virus ini, seperti halnya yang berlaku pada epidemi yang lain, mungkin butuh waktu, namun harinya akan tiba untuk mengumumkannya. Hal ini ditegaskan oleh sejumlah hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Dalam Shahih al-Bukhari, dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Allah tidak akan menurunkan penyakit melainkan menurunkan obatnya juga.
Di dalam Shahih Muslim dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Setiap penyakit ada obatnya. Apabila ditemukan obat yang tepat untuk suatu penyakit, akan sembuhlah penyakit itu dengan izin Allah.
Dalam Musnad Imam Ahmad dari Usama bin Syarik radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Sesungguhnya Allah tidak menurunkan suatu penyakit melainkan juga menurunkan obat baginya, yang diketahui oleh orang yang mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang yang memang tidak mengetahuinya.
Kedua, iman pada qadar bahwa baik dan buruk itu dari Allah, akan menambah kenyamanan dan ketentraman seorang hamba yang beriman, khususnya di saat terjadi bencana dan krisis, karena konsep qadha dan qadar menghilangkan rasa cemas dan khawatir dari manusia. Untuk itu, hendaklah kita mengingat dengan baik wasiat Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada Ibnu Abbas, karena itu juga merupakan wasiat kepada seluruh umat Islam:
Bahwa apa saja yang menimpamu (sebagaimana yang sudah ditakdirkan), maka tidak akan pernah meleset darimu, dan apa saja yang tidak terkena padamu (karena bukan ditakdirmu), maka tidak akan menimpamu. (HR. At-Tirmidzi, Ahmad, Thabrani, al-Hakim)
Dan kalau Allah telah menetapkan pandemi ini menimpa kita, maka tidak akan ada benteng dan menara yang bisa mencegahnya dari kita. Apa yang terjadi pada dunia saat ini membuat kita sadar akan kelemahan manusia menghadapi takdir (ketentuan) Allah, sehingga uang, senjata, pengetahuan, dan kekuasaan mereka tidak berguna untuk mencegah apa yang sudah pasti akan menimpanya! Ini saja sudah cukup bagi kita untuk merasakan kebesaran Allah dan kelemahan manusia. Allah telah menetapkan dengan sebenarnya, maka kita wajib berperasangka baik (husnudzan) pada-Nya, mempercayai janji-janji-Nya, dan mengagungkan-Nya.
Ketiga, bagaimana menghadapi pandemi ini? Hal paling penting untuk dilakukan oleh seorang hamba yang beriman dalam menyikapi keadaan ini adalah melakukan tindakan pencegahan yang diperlukan, mematuhi instruksi dan arahan, serta mendidik dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya terkait bagaimana menangani epidemi seperti ini dengan kesadaran dan perlawanan, dengan melakukan tindakan pencegahan yang sifatnya fisik dan kognitif, serta tidak pernah melupakan doa, sebab doa merupakan obat paling bermanfaat, dan musuh bagi bencana. Doa juga menghilangkan, mengatasi dan mencegah turunnya bencana, serta meringankannya jika bencana telah turun. Dan yang jelas bahwa doa adalah senjata orang yang beriman.
Al-Hakim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari ‘Aisyah radhiyallahu anha berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Sikap berhati-hati itu tidak akan mencukupi takdir. Sedangkan doa bermanfaat terhadap apa yang sudah diturunkan dan yang belum diturunkan. Manakala musibah turun lalu bertemu dengan doa yang dipanjatkan akan saling bertikai (manakah yang lebih kuat) sampai hari kiamat.
Salah satu tindakan paling penting yang dilakukan seorang hamba yang beriman ketika terjadi epidemi dan penyakit, adalah melakukan koreksi!
Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah mengoreksi pemerintah yang lemah di negeri-negeri Islam yang mengambil keuntungan dengan menghinakan rakyatnya dalam kondisi yang sedemikian keras, tidak melayani dengan baik terkait kesehatan, materi, atau bahkan dalam membangun kesadaran. Mereka hanyut dalam mengikuti kebijakan negara-negara di dunia barat dengan memutuskan lockdown dan isolasi penuh, padahal keadaan dan lingkungannya berbeda. Sehingga keputusannya yang rapuh ini menjadi sebab yang semakin memperdalam krisis dalam masyarakat, dengan menghentikan roda kehidupan ekonomi, dan mengurung orang di rumah mereka, sementara pemerintah tidak mampu mengurus kepentingan dan mata pencaharian mereka, bahkan menyediakan elemen paling dasar dari kehidupan mereka saja tidak mampu! Di sisi lain, kita menemukan pemerintah-pemerintah ini berebut untuk membatalkan pelaksanaan ketentuan syariah, seperti shalat di masjid, pelaksanaan haji dan umrah, dengan alasan mencegah berkumpulnya manusia, sampai ada fatwa yang membolehkan tidak puasa karena Corona, atau tidak perlu keluar melakukan rukyatul hilal demi tetap melakukan isolasi diri!
Sikap serius dalam menghalangi pelaksanaan syariah dan targetnya secara langsung oleh beberapa pemerintah Arab yang membuat pandemi ini menjadi ruang bernafas bagi mereka untuk semakin membatasi umat Muslim dari keterikatan pada syariah, dan sebaliknya kita melihat penundaan demi penundaan mereka dalam menyediakan kesehatan dan kebutuhan hidup masyarakat.
Peran seorang hamba yang beriman dalam keadaan ini, dan khususnya pengemban dakwah, adalah mengoreksi para penguasa ini atas sikapnya yang meremehkan nyawa manusia, kepentingan dan mata pencahariannya, terutama karena Corona ini telah membuka semua keburukan yang selama ini ditutup rapat terkait kebijakan mereka yang korup, serta secara terbuka keadaan ini mengungkapkan kerapuhan sistem kesehatan dan institusi-institusi yang menjalankannya, terlepas dari kerja keras para dokter, perawat dan insinyur, yang tidak henti-hentinya terus berusaha.
Sungguh keadaan ini membuat kita semakin merasakan kebutuhan pada negara yang sesungguhnya, yang menjaga hidup manusia, dan berupaya melindungi kepentingan dan mata pencahariannya, serta mengurus semua urusannya, dan melakukan segala upaya untuk mengatasi bencana seperti itu, meningkatkan penanganan krisis ekonomi dan kesehatan, serta memiliki daya bersaing dalam penyediaan pengobatan dan vaksin, tidak harus terus menunggu Barat, agar dikasihani dan direndahkan (seperti seorang dokter Prancis yang menyarankan pengujian vaksin virus Corona pada rakyat Afrika, seperti yang mereka lakukan dalam beberapa penelitian tentang AIDS).
Kebutuhan kita dalam keadaan seperti itu terhadap penerapan hukum syariah dengan berdirinya negara yang perkasa dan kuat, di mana penguasanya akan menjadi pelayan bagi agama dan rakyatnya, serta menjaga tanah air Islam dan kaum Muslim, takut pada Allah dan menyayangi rakyatnya. Tindakan-tindakan inilah yang meninggikan derajat seorang hamba, dan yang mendekatkannya kepada Allah. Sehingga dengannya orang yang beriman akan mendapatkan kemuliaan dunia dan kenikmatan.
Oleh: Al Azizy Revolusi
(Editor dan Kontributor Media