RUU Cikala Dibahas, Potret Penguasa dalam Belenggu Pengusaha

Siti Komariah

Entah apa yang terbersit dalam pemikiran wakil rakyat saat ini. Ditengah pandemi covid-19 yang menelan banyak korban, mereka tetap bersikukuh membahas Undang-Undang Cipta Kerja atau RUU Cikala.

Sebagaimana dilansir tiro.id_Pemerintah dan DPR terus membahas Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (sebelumnya bernama Cilaka atau Cipta Lapangan Kerja) yang disusun dengan metode omnibus. Dalam rapat kerja Selasa (15/4/2020) kemarin, hanya dua partai yang menyatakan menolak melanjutkan pembahasan . Sisanya, dengan berbagai alasan, memilih sebaliknya.

Iklan Pemkot Baubau

Sejak awal dirancang pemerintah, RUU Cilaka sebenarnya telah mendapat penolakan tegas dari masyarakat, terutama serikat buruh. Peraturan itu dianggap menghapus banyak hak-hak buruh yang tertuang dalam UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Pun pembahasannya tidak transparan. Pihak yang lebih banyak didengar sekaligus diakomodasi kepentingannya adalah pengusaha.

Hal ini juga membuat para elit politik angkat bicara. Mereka menilai RUU Cikala harus dihentikan pembahasannya dan beralih kepada penanganan covid-19. Mengingat, saat ini penanganan covid-19 masih belum maksimal. Mulai dari data yang amburadul, Alat Pelindung Diri (APD) bagi nakes yang kurang memadai, tertolaknya jenazah covid-19, banyaknya terjadi PHK hingga kelaparan yang mengintai rakyat jelata.

Sebagaimana, Ketua LBH Jakarta Arif Maulana mengatakan karena corona, dapat dipastikan partisipasi publik dalam proses pembahasan RUU Cipta Kerja akan jadi minim. Padahal, berdasarkan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, masyarakat berhak memberikan masukan dalam pembentukan peraturan. Dia juga menilai jika pemerintah saat ini lebih mendengar masukan dari pengusaha ketimbang rakyatnya.

Arif lantas mengatakan, DPR RI sebaiknya lebih fokus mengawasi kerja pemerintah dalam menangani penyebaran Corona. “DPR RI wajib menjalankan fungsi dan pengawasannya,” kata Arif. Sejauh ini peran tersebut belum terlalu terasa.

Ya, dengan dibahasnya RUU Cikala di tengah pandemi yang mengintai rakyat Indonesia, semakin mengisyaratkan bahwa pemerintah terkhusus DPR telah gagal meriayah rakyatnya. Padahal, mereka adalah para wakil rakyat yang harusnya mendengar suara rakyat, pun memahami kondisi mereka. Bukannya lebih mementingkan para pengusaha atau para investor, ketimbang kemaslatan rakyatnya dan nyawa rakyat yang ada diujung tanduk akibat covid-19.

Hal ini juga nantinya jelas akan mengundang masalah baru yang berujung pada protes ataupun demontrasi. Karena rakyat akan semakin tidak mempercayai kinerja dari para penguasa. Rakyat pun akan semakin susah untuk diatur. Akibatnya negara akan semakin amburadul.

Namun, apalah daya inilah potret kepemimpinan ala kapitalisme. Yang mana, para penguasa tidak akan mampu menjadi periayah rakyatnya dengan sempurna. Para penguasa dalam sistem kapitalis pun tidak mampu menciptakan masyarakat yang taat terhadap ulil amri. Mengingat, rakyat telah merasa tersakiti, akibat aspirasi mereka tidak didengar, bahkan para penguasa tidak mementingkan kemaslahatan mereka.

Kepemimpinan ala kapitalisme yang bersandar kepada materi telah nyata mendarah daging pada diri penguasa negeri ini. Sehingga tak heran jika mereka rela mengorbankan kemaslahatan rakyatnya, demi kepentingan pribadinya ataupun segelincir elit.

Hal ini berbeda dengan kepemimpinan ala Islam. Yang menyandarkan segala sesuatunya kepada akidah Islam. Kepemimpinan Islam benar-benar menyadari hakekat mereka sebagai pemimpin yang harus melindungi dan melayani rakyatnya dengan sepenuh jiwa. Karena pemimpin dalam Islam sadar, jika kepemimpinannya adalah amanah yang akan dimintai pertangungjawaban kelak di akhirat.

Imam (kepala negara) adalah pemimpin yang akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya. (HR. Muslim).

Kepemimpinan dalam Islam pun mampu menghasilkan kepatuhan rakyat terhadap aturan yang dibuat oleh para penguasa, karena aturan yang dibuat bersumber dari zat yang maha Perkasa dan Maha Mengetahui. Rakyat pun dengan sendirinya mempercayai para penguasanya. Karena memang pemimpin dalam Islam senan tiasa mendahulukan kemaslahatan rajyatnya, dari pada urusan yang lainnya, bahkan urusan pribadi mereka.

Hal itu pun tergambar, pada diri khalifah Umar bin Al-Khattab. Dimana pada tahun kelabu (tahun kaceklik), ia rela hanya memakan dengan minyak dari pada mentega demi rakyatnya. Sebagaimana diriwayatkan dari Anas, “perut Umar selalu keroncongan di tahun kelabu, sebab ia hanya makan dengan minyak. Ia mengharamkan mentega untuk dirinya. Ia memukul perut dengan jari-jarinya sembari berkata, “Berbunyilah karena kita tidak punya apapun selain minyak hingga rakyat sejahtera”. Hal itu mengambarkan bahwa seorang pemimpin dalam Islam benar-benar memprioritaskan kemaslahatan raķyatnya. Wallahu A’alam Bisshawab.

Oleh : Siti Komariah (Pegiat Opini, dan Pemerhati Urusan Umat)