Example floating
Example floating
Berita Utama

Kebijakan Dzolim Menaikkan Iuran BPJS di Sela Carut Marut Covid 19

1182
×

Kebijakan Dzolim Menaikkan Iuran BPJS di Sela Carut Marut Covid 19

Sebarkan artikel ini

Oleh : Ema Fitriana Madi S. Pd

(Pemerhati Sosial)

Entah apa yang merasuki pemerintah Republik Indonesia. Tak hentinya mengeluarkan kejutan demi kejutan. Disela makin sulitnya rakyat hari ini akibat dampak covid 19, melalui Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk kelas I dan II. Adapun untuk kelas III baru akan naik pada 2021 (detik.com, 13/5/2020)

Masih sebagaimana yang dilansir detiknews.com diatas, rincian kenaikannya  ialah sebagai berikut: Iuran Kelas I yaitu sebesar Rp 150 ribu per orang per bulan dibayar oleh Peserta PBPU dan Peserta BP atau pihak lain atas nama Peserta. Iuran Kelas II yaitu sebesar Rp 100 ribu per orang per bulan dibayar oleh Peserta PBPU dan Peserta BP atau pihak lain atas nama Peserta. Iuran Kelas III Tahun 2020 sebesar Rp 25.500, tahun 2021 dan tahun berikutnya menjadi Rp 35 ribu. Perpres menjelaskan ketentuan besaran iuran di atas mulai berlaku pada 1 Juli 2020.

Hal ini sudah barang tentu menuai kecaman dari banyak pihak. Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar menilai kebijakan itu akan semakin memberatkan rakyat. “Pemerintah sudah kehabisan akal dan nalar sehingga dengan seenaknya menaikkan iuran tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat. Padahal di pasal 38 di Pepres ini menyatakan kenaikan iuran harus mempertimbangkan kemampuan masyarakat,” ucapnya.

Belum lagi layanan BPJS Kesehatan yang malah menurun selama masa COVID-19. “Contoh yang banyak terjadi dan menjadi persoalan saat ini, seorang pasien JKN ketika harus dirawat inap harus melakukan test COVID-19 dan pasien diminta bayar Rp 750.000 untuk test COVID-19 tersebut. Padahal jelas di pasal 86 Perpres 82 tahun 2018 pasien JKN tidak boleh diminta biaya lagi. Ada pasien JKN yang karena tidak mampu bayar Rp 750.000 jadi pulang yang seharusnya dirawat di RS, si pasien meninggal di rumah,” ungkapnya. (Detikfinance.com, 13/5/2020)

Kapitalisme Demokrasi tidak Pernah Berpihak pada Wong Cilik

Menggemaskan memang. Rakyat selalu kena prank.  BPJS yang tadinya diklaim kehadirannya mampu memudahkan alias menolong beban masyarakat dalam hal kesehatan. Nyatanya, hanya polesan saja. Akhirnya rakyatpun melihat sendiri bahwa program satu ini tak ubahnya sebagai pemalakkan yang bersembunyi dibalik selimut jaminan sosial dengan mengangkat prinsip gotong royong, membantu sesama, dan semacamnya. Negarapun terbantu dalam melepas tanggung jawab dengan cara yang soft dan indah.

Namun, sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga. Sepandai-pandai manusia berbuat makar pasti akan ketahuan juga. Tidak bisa kita pungkiri bahwa dalam sistem kapitalisme sekuler yang ada sekarang ini, Kenaikan harga termasuk kenaikan iuran BPJS adalah sebuah keniscayaan,  cepat atau lambat.  Bagaimana tidak, melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diresmikan pada 1 Januari 2014, pengelolaan hajat hidup yang berkaitan langsung dengan nyawa masyarakat diserahkan pada korporasi Badan Pengelola Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan).

Dalam General Agreement on Trade and Services (GATS), dalam pandangan neoliberalisme kesehatan adalah jasa yang harus dikomersialkan. Sementara fungsi negara, sebagaimana logika neolib Good Governance, adalah regulator (pembuat aturan) bagi kepentingan korporasi.

Kedua prinsip batil ini dilegalkan dan diinstitusikan melalui Undang-Undang No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan berikut sejumlah peraturan turunannya.

Awalnya kemasannya indah rupawan, lama-lama setiap orang diwajibkan menjadi anggota BPJS Kesehatan (Universal Health Coverage – UHC), yang kemudian akan mendapatkan sanksi bagi penunggak. Negarapun tak ubahnya bagaikan debt collector. Meski ditengah pandemi corona yang menghimpit ekonomi rakyatnya, pemerintah tak Peduli nasib wong cilik.

Pelayanan Kesehatan Terbaik hanya Ada Dalam Khilafah

Berharap kesehatan murah di sistem yang kapitalistik sekuler seperti sekarang, ibarat memasukkan unta ke lubang jarum. Tak mungkin!. Lalu, bisakah kesehatan diperoleh secara murah? Jawabannya, bisa. Jika kita membaca lintasan sejarah, akan didapati bahwa peradaban Islam pernah berhasil mewujudkan layanan kesehatan murah. Bahkan gratis.

Will Durant dalam The Story of Civilization menyatakan, “Islam telah menjamin seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak, sekaligus memenuhi keperluannya. Contohnya, Bimaristan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160 telah bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit, tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis. Para sejarahwan berkata, bahwa cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun.”

Keberhasilan peradaban Islam ini disebabkan paradigma yang benar tentang kesehatan. Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Setiap dari kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab untuk orang-orang yang dipimpin. Jadi, penguasa adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya.” (Bukhari dan Muslim)

Ya, kesehatan adalah kebutuhan dasar rakyat. Negara bertanggung jawab untuk memenuhinya secara optimal dan terjangkau oleh masyarakat. Khalifah memosisikan dirinya sebagai penanggung jawab urusan rakyat, termasuk urusan kesehatan.

Khilafah tidak akan menyerahkan urusan kesehatan pada lembaga asuransi seperti BPJS. Lembaga asuransi bertujuan mencetak untung, bukan melayani rakyat. Islam meletakkan dinding tebal antara kesehatan dengan kapitalisasi, sehingga kesehatan bisa diakses oleh semua orang tanpa ada kastanisasi secara ekonomi.

Dikutip dari helpsharia.com (20/1/2017), dalam Islam, sistem kesehatan tersusun dari tiga unsur sistem. Pertama, peraturan, baik peraturan berupa syariah Islam, kebijakan maupun peraturan teknis administratif. Kedua, sarana dan peralatan fisik seperti rumah sakit, alat-alat medis, dan sarana prasarana kesehatan lainnya. Ketiga, sumber daya manusia (SDM) sebagai pelaksana sistem kesehatan, yang meliputi dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya. [S. Waqar Ahmed Husaini, Islamic Sciences, hlm. 148]

Agar kebutuhan rakyat terhadap layanan kesehatan gratis terpenuhi, Khilafah banyak mendirikan institusi layanan kesehatan. Di antaranya adalah rumah sakit di Kairo yang didirikan pada tahun 1248 M oleh Khalifah al-Mansyur, dengan kapasitas 8.000 tempat tidur, dilengkapi dengan masjid untuk pasien dan chapel untuk pasien Kristen. Rumah sakit dilengkapi dengan musik terapi untuk pasien yang menderita gangguan jiwa. Setiap hari melayani 4.000 pasien. Layanan diberikan tanpa membedakan ras, warna kulit, dan agama pasien; tanpa batas waktu sampai pasien benar-benar sembuh.

Selain memperoleh perawatan, obat, dan makanan gratis tetapi berkualitas, para pasien juga diberi pakaian dan uang saku yang cukup selama perawatan. Hal ini berlangsung selama tujuh abad. Sekarang, rumah sakit ini digunakan untuk opthalmology dan diberi nama Rumah Sakit Qalawun.

Negara juga tidak luput melaksanakan tanggung jawabnya kepada orang-orang yang mempunyai kondisi sosial khusus, seperti yang tinggal di tempat-tempat yang belum mempunyai rumah sakit, para tahanan, orang cacat, dan para musafir. Untuk itu, negara mendirikan rumah sakit keliling tanpa mengurangi kualitas pelayanan. Ini seperti pada masa Sultan Mahmud (511-525 H). Rumah sakit keliling ini dilengkapi dengan alat-alat terapi kedokteran, dengan sejumlah dokter. Rumah sakit ini menelusuri pelosok-pelosok negara.

Dari manakah dana untuk menggratiskan layanan kesehatan di Khilafah Islam? Dalam Khilafah, kesehatan merupakan salah satu bidang di bawah divisi pelayanan masyarakat (Mashalih an-Nas). Pembiayaan rumah sakit seluruhnya ditanggung oleh negara.

Dananya diambil dari baitulmal yakni: Pertama, dari harta zakat, sebab fakir atau miskin (orang tak mampu) berhak mendapat zakat. Kedua, dari harta milik negara baik fai’, ghanimah, jizyah, ‘usyur, kharaj, khumus rikaz, harta ghulul pejabat dan aparat, dsb. Ketiga, dari harta milik umum seperti hutan, kekayaan alam dan barang tambang, dsb. Jika semua itu belum cukup, barulah negara boleh memungut pajak (dharibah) hanya dari laki-laki muslim dewasa yang kaya.

Demikianlah, layanan kesehatan dalam khilafah yang begitu bagus kualitasnya dan juga gratis.Layanan kesehatan seperti ini hanya ada dalam Khilafah. Solusi Islam ini akan efektif mengatasi polemik BPJS Kesehatan. Saat Khilafah tegak, sehat tak lagi mahal. Wallahu a’lam bishshawab.

error: Jangan copy kerjamu bos