Fitrah setiap manusia pasti mendamba hadirnya sosok pemimpin yang berkapasitas negarawan, ikhlas dan bertanggung jawab mengurusi urusan rakyatnya. Sederhananya, hadirnya pemimpin bisa menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan karena mampu menyelesaikan problematika kehidupan yang dihadapi.
Sosok pemimpin seperti ini bukan hal yang mustahil untuk hadir. Telah tercatat dalam sejarah penerapan islam, salah satunya seperti sosok khalifah Umar Bin Khatab.
Ketika Umar diangkat menjadi khalifah maka seluruh hidupnya dibaktikan untuk mengurusi kepentingan rakyatnya. Dalam suatu riwayat disebutkan beliau hampir tiap malam meronda, berkeliling ke pelosok-pelosok kampung sebab ia khawatir kalau ada penduduk yang urusannya terabaikan, perutnya kelaparan dsb.
Hal ini dilakukan karena beliau sangat takut jangankan terhadap urusan manusia, terhadap hewan pun ia begitu sangat memperhatikan sebagai konsekuensi atas pengangkatannya sebagai pemimpin umat.
Sehingga pernah ia berkata: ”Aku sangat takut kalau ada unta yang terkantuk di jalan itu akan memberatkanku di hadapan Allah nanti.” Bahkan suatu riwayat menyebutkan pada saat Umar melakukan ronda tanpa sengaja ia mendengar ucapan seorang ibu yang sedang memasak batu untuk anaknya yang kelaparan. Ia berkata ”Aduh celaka engkau Umar, engkau tidur nyenyak dengan keluargamu sedangkan kami pedih menahan lapar”.
Mendengar ini, Umar sedih hatinya dan ia pun menangis. Lalu bergegas mengambil makanan dari Baitul Mal dan dipikulnya makanan itu dan ketika pembantunya menawarkan untuk membantunya beliau berkata: ”Engkah tidak akan bisa memikul dosaku di akhirat kelak”.
Inilah karakter pemimpin yang lahir dalam sistem kehidupan islam. Jauh sekali dari pencitraan dan aksi cari panggung. Tidak rakus kekuasaan. Pertanyaannya adalah bagaimana islam bisa melahirkan pemimpin seperti ini? Dan mengapa hari ini kita tidak memiliki pemimpin berkarakter negarawan, ikhlas dan bertanggung jawab? Padahal negeri kita mayoritas beragama islam!
/Gila Pencitraan, Haus Kekuasaan Lahir dalam Sistem Kapitalis/
Hari ini, sosok pemimpin dengan karakter tersebut sulit ditemukan. Bahkan yang hadir malah sebaliknya. Kita hidup bersama pemimpin yang cenderung abai terhadap jaminan kesejahteraan dan keselamatan rakyatnya. Seperti sulitnya rakyat mengakses bantuan dari pemimpin. Mulai dari administrasi yang kacau, bantuan sering tak tepat sasaran. Diperparah dengan adanya potensi korban saat bantuan tersebut dibagikan. Masyarakat yang berebut bantuan, berdesakkan, hingga mengancam keselamatan. Padahal bantuan itu menyangkut kebutuhan asasi(dasar) berupa pangan.
Lihatlah bagaimana pendidikan, kesehatan, keamanan harus dibiayai sendiri oleh individu rakyat. Tak jarang “simiskin dilarang sakit”. Karena tak ada biaya untuk berobat. Begitu juga dengan akses pendidikan. Jika dalam kondisi normal saja ini pemandangan yang biasa disaksikan, maka kondisi wabah saat ini tentu membuat masyarakat semakin mengharapkan dan membutuhkan bantuan.
Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara mengakui penyaluran bantuan sosial (bansos) berupa paket sembako untuk warga terdampak virus Corona (Covid-19) sempat tersendat. Hal itu dikarenakan harus menunggu tas pembungkus untuk mengemas paket sembako.
Seolah-olah bantuan dikeluarkan langsung oleh pemimpin. Padahal sumber dana bantuan sosial berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dipungut dari uang rakyat. Foto Bupati Klaten Sri Mulyani yang menempel di paket bantuan sosial (bansos) penanganan virus corona (Covid-19) memantik polemik. Kasus ini membuka mata publik terkait politisasi bansos saat krisis di tengah pandemi.(Merdeka.co, 29/4/20)
Beginilah karakter pemimpin ditingkat pusat maupun daerah dalam mengurusi urusan rakyatnya. Mereka tidak menjadikan kebutuhan rakyat sebagai hal utama yang harus segera dipenuhi. Tapi malah mementingkan pencitraan, cari panggung demi melanggengkan kekuasaan di masa depan. Bukankah yang dibutuhkan rakyat isi tasnya, bukan label siapa pengirimnya!
Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI Kunto Adi Wibowo berpendapat kultur politisasi bansos sudah terjadi sejak lama di dunia politik. Di Indonesia, praktik ini marak dilakukan setidaknya sejak pemerintahan Presiden SBY meluncurkan bantuan langsung tunai (BLT).
Kunto mengatakan politisasi bansos merupakan salah satu trik kampanye dalam politik. Eropa lebih mengenalnya dengan istilah pork barrel atau gentong babi. “Istilahnya pork barrel, tong yang isinya daging babi dulu di Eropa. Jadi memberikan supply makanan kepada konstituennya, bahkan jauh hari sebelum pemilu. Tujuannya membangun favorability, kesukaan terhadap dia.
Artinya, pemimpin yang tidak berkapasitas dan diragukan keikhlasannya dilahirkan oleh sistem hidup yang diterapkan saat ini. Yaitu sistem Kapitalis liberal. Sistem yang tegak atas dasar pemisahan agama dari kehidupan, sekaligus memisahkan agama dari negara. Yang menjadikan kehidupan berjalan atas dasar kebebasan. Diperparah lagi dengan menjadikan materi dan manfaat sebagai tujuan.
Terlihat bahwa ketika seseorang berkuasa dia akan menghalalkan segala cara untuk meraih tujuannya. Mengamankan kepentingannya dan parpolnya. Tidak lagi mengingat bahwa sebagai muslim Allah selalu mengawasi perbuatannya dan kelak ia akan dimintai pertanggungjawabkan. Jadi wajar saja, terlambatnya rakyat mengakses bantuan bukan masalah bagi penguasa selama tujuan pencitraan tercapai. Rakyat hanya berguna dan dianggap ada saat pemungutan suara/pemilu. Setelah itu dianggap tiada.
Rakyat yang malang. Tidak tau harus mengadu pada siapa tentang sulitnya kehidupan mereka. Padahal harapan rakyat punya pemimpin tentu untuk mengurusi mereka dan memudahkan semua urusan mereka. Inilah akar masalah lahirnya pemimpin tak berkapasitas. Penerapan sistem hidup yang salah yaitu kapitalis yang bukan berasal dari Pencipta. Jika masyarakat ingin keluar dari semua problematika yang komplek dan berharap hadir pemimpin berkapasitas Umar Bin khatab hanya mungkin dengan menerapkan sistem kehidupan islam.
Sistem Islam lahirkan karakter pemimpin idaman. Islam adalah agama yang sempurna. Penerapan sistem kehidupan berlandaskan pada syariat islam akan memberikan rahmat pada seluruh alam. Allah SWT berfirman : “Dan tiadalah Kami mengutusmu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Qs Al-Anbiya [21]: 107).
Termasuk perkara kepemimpinan. Sangat mudah menghadirkan karakter pemimpin ideal saat islam diterapkan. Pemimpin dengan kapasitas negarawan, keikhlasan penuh dan bertanggung jawab. Meski negeri kita hari ini mayoritas beragama islam, tapi syariat islam tidak diterapkan dalam mengatur kehidupan. Padahal kunci lahirnya pemimpin ideal hanya dengan penerapan islam.
Ada 3 aspek yang akan melahirkan sosok pemimpin ideal tersebut.
Pertama, penerapan islam akan menghasilkan individu yang bertakwa. Ketakwaan yang tinggi kepada Allah sebagai pencipta dan pengaturan kehidupan akan membuat seseorang selalu berbuat sesuai hukum syara. Jika dia seorang pemimpin, maka dia akan memimpin sesuai tuntunan syariat.
Dia akan berhati-hati dalam setiap kebijakan yang diambil. Merasa selalu diawasi Allah dan meyakini penuh bahwa dia akan dihisab atas kebijakan yang diambil. “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Ketakwaan individu inilah yang hilang dari sosok pemimpin saat ini.
Kedua, adanya ketakwaan masyarakat. Masyarakat yang bertakwa akan memiliki keterikatan pada syariat islam. Mereka akan memahami sebagai bagian masyarakat mereka memiliki kewajiban untuk melakukan aktivitas amar makruf nahi mungkar (dakwah). Jika ada kebijakan pemimpin yang tidak sesuai dengan syariat islam mereka akan melakukan koreksi. Koreksi pada pemimpin bukan karna kebencian. Sabda Nabi Saw, “Seutama-utamanya jihad adalah menyampaikan kalimat yang haq kepada penguasa (sulthan) atau pemimpin (amiir) yang zalim.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Hari ini koreksi pada pemimpin berpotensi mendapat persekusi. Ini menunjukkan hilangnya masyarakat yang bertakwa dalam kondisi saat ini. Koreksi ini harus mengandung dua hal. Satu, menunjukkan kesalahannya. Dua, menjelaskan bagaimana islam telah mengaturnya. Rakyat mengoreksi karena Allah telah mewajibkan. Dan pemimpin ridho atas koreksi yang diberikan. Demi menyelamatkan dirinya dari beratnya penghisaban.
Ketiga, dibutuhkan negara yang bertakwa. Peran negara sangat penting dalam menjamin terbentuknya individu yang bertakwa dan masyarakat yang bertakwa. Karena hal ini hanya mungkin jika negara memastikan seluruh syariat islam diterapkan dengan baik. Hal ini juga hilang dari negara kita saat ini. Tidak ada satupun syariat islam yang diterapkan dalam tataran pengaturan hubungan sosial. Baik dalam pendidikan, kesehatan, keamanan, dll.
Inilah 3 aspek yang mampu melahirkan pemimpin idaman. Berkarakter negarawan, ikhlas dan bertanggung jawab. Maka tugas setiap muslim untuk memperjuangkan agar aspek ini bisa terbentuk. Caranya dengan terus melakukan dakwah islam guna membentuk kesadaran penuh pada masyarakat bahwa akar masalah problem kita saat ini adalah tidak menerapkan islam. Maka solusinya adalah dengan kembali mengambil dan menerapkan syariat islam.
Oleh : Farah Sari, A. Md
(Aktivis Dakwah Islam, Jambi)