Di tengah pandemi ini, telah disahkan Perpres No 64/Tahun 2020 pada 5 Mei 2020. Adapun isinya adalah tentang kenaikan iuran BPJS bagi peserta mandiri.
Kenaikan iuran BPJS yang dimaksud dengan ketentuan berikut ini. Kelas I dari Rp 80 ribu menjadi Rp 150 ribu. Kelas II dari Rp 51 ribu menjadi Rp 100 ribu. Dan Kelas III dari Rp 25,5 ribu menjadi Rp 42,5 ribu. Kenaikan ini akan dimulai per 1 Juli 2020.
Tentunya kenaikan iuran BPJS di tengah pandemi sangatlah tidak manusiawi. Hal demikian bisa kita lihat dari beberapa hal berikut ini.
Pertama, Sebelumnya MA telah membatalkan Perpres No 65/Tahun 2019 yang merencanakan naiknya iuran BPJS mulai Januari 2020. Pasalnya, di tengah kondisi ekonomi rakyat yang sulit tidaklah pantas. Apatah lagi dalam kondisi pandemi lebih tidak layak lagi.
Dampak pandemi secara sosial sangatlah memukul perekonomian. Diperkirakan ada 8,5 juta orang miskin baru (www.bisnis.tempo.co, 17 April 2020).
Kedua, Sebenarnya kalau menilik Perppu Corona No.1/2020, terdapat alokasi Rp 405,1 trilyun untuk penanggulangan dampak pandemi. Artinya, tidak perlu lagi adanya kenaikan iuran BPJS. Mestinya utang jatuh tempo BPJS tahun ini ke rumah sakit sekitar Rp 4 trilyun bisa dilunasi dari dana tersebut.
Ketiga, Tatkala rakyat dibebani dengan naiknya iuran BPJS, justru operasional BPJS tidak rasional. Dalam RKAT 2019, dana operasional untuk delapan direksi sebesar Rp 32,88 milyar. Rinciannya anggota direksi menerima Rp 270 juta per bulan. Ketua Dewan Pengawas sebesar Rp 180 juta, Sedangkan anggota pengawas, menerima Rp 162 juta.
Jadi sangatlah menyakitkan. Para pejabat BPJS bisa tersenyum lebar di atas air mata rakyat Indonesia.
Keempat, Lantas, apakah kenaikan iuran BPJS ada kaitannya dengan kebijakan relaksasi PSBB? Relaksasi PSBB diklaim untuk memberikan ruang yang longgar bagi masyarakat guna bekerja seperti biasanya. Dengan begitu akan bisa mengurangi beban masyarakat termasuk membayar iuran BPJS. Padahal di satu sisi, belum ada jaminan Indonesia sudah aman dari wabah Covid-19.
Apakah jaminan aman tersebut dilihat dari pemerintah yang tidak lagi mengumumkan jumlah kasus terinfeksi Covid-19? Sementara pada saat yang sama, TKA China masih berdatangan ke Indonesia. Semakin menjadi aneh, bila diklaim kurva kasus Covid-19 landai, tapi tenaga kesehatan menyerah melihat amburadulnya penanganan kasus Covid-19 di Indonesia.
Jaminan Kesehatan Islam
Disebut sebagai jaminan itu diberikan secara cuma – cuma saat dibutuhkan. Bukan jaminan namanya, jika diharuskan membayar. Sebenarnya yang terjadi adalah akad asuransi.
Rasul Saw pernah enggan mensholati jenazah seseorang yang masih punya tanggungan utang. Lalu datanglah orang lain yang menjamin pelunasan utang si mayit. Setelah itu, Rasul Saw baru bersedia mensholatinya. Keluarga duka tidak diminta membayar ganti rugi oleh Rasul Saw kepada orang yang menjamin tersebut.
Menjamin kesehatan rakyat adalah tanggung jawab negara. Di samping berdasarkan hadits Nabi Saw yang menyatakan bahwa pemimpin itu pengurus rakyatnya dan bertanggung jawab dalam urusan – urusan rakyatnya. Ada riwayat lain yang menceritakan bahwa Nabi Saw menjadikan dokter hadiah dari Muqauqis, Kaisar Mesir, sebagai dokter negara Madinah waktu itu. Bahkan Nabi Saw membolehkan sekelompok orang Bani Urainah untuk meminum susu dari peternakan unta negara hingga sembuh dari sakitnya.
Bahkan peradaban Islam yang pertama kali membangun rumah sakit dengan istilah Bimaristan. Al Razi sebagai dokter pertama di rumah sakit pada jaman Khalifah Harun al Rasyid.
Tentunya negara untuk bisa memberikan jaminan kesehatan terbaik dan cuma – cuma kepada rakyatnya, negara mempunyai sumber pemasukan yang memadai. Sumber pemasukan kas negara diperoleh dari beberapa sumber di antaranya harta kepemilikan umum berupa semua kekayaan alam, harta kepemilikan negara, ghanimah, fai, harta rikaz, usyur, zakat, dan lain sebagainya. Sedangkan pajak bukanlah sumber utama pemasukan negara. Pajak hanya di saat kas negara kosong atau tidak mencukupi. Itu pun diambil dari orang yang kaya dari kalangan muslimin sesuai kemampuan. Pemberlakuannya hingga bisa mengkover kebutuhan saat itu. Jadi tidak berlaku terus – menerus.
Demikianlah jaminan kesehatan Islam yang menenteramkan. Rakyat sehat dan gembira, tentunya negara juga menjadi kuat.
Oleh Ainul Mizan (Pemerhati Sosial Politik, Penulis tinggal di Malang)