Semakin ke sini terlihat upaya pencegahan dan penanganan wabah mulai tampak longgar. Kebijakan transportasi, kebijakan mudik, PSBB, work from home, semuanya nyaris berubah. Wajar jika kondisi sosial masyarakat juga mengikuti kebijakan yang tak jelas, pergerakan terjadi di mana-mana.
Lihatlah situasi stasiun, bandara, jalan-jalan, pasar, dan mal-mal. Hari ini tak ubahnya dengan kondisi sebelum wabah. Semuanya dipenuhi masyarakat yang tak peduli lagi akan ancaman corona. Semuanya terjadi disebabkan tak ada ketegasan dan kedisiplinan dari pemilik kebijakan.
Adanya kebijakan baru dari Menhub, relaksasi PSBB dan membolehkan alat transportasi beroperasi memicu arus mudik yang tak terkendali. Seperti yang baru – baru ini dilansir dari laman liputan6.com, ratusan penumpang berdesakan di Terminal 2 Soekarno Hatta, Tangerang. Mereka bertumpuk tanpa memperhatikan jarak aman di posko pemeriksaan dokumen perjalanan.
Sekejap potret kerumuman calon penumpang yang antre tanpa jaga jarak itu viral di media sosial. Sebagian mengecam karena protokol kesehatan di tengah pandemi virus corona atau COVID-19 tidak dilaksanakan dengan tegas. Satu sisi ada larangan mudik, namun ternyata ada pelonggaran, inikan bertolak belakang tidak konsisten.
Menurut Epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Hermawan Saputra, Kebijakan pemerintah yang tak konsekuen. Misalnya, kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang hanya diberlakukan di beberapa daerah, namun dibuat juga kebijakan baru seperti pelonggaran aturan bepergian yang tak ketat, dan parsial alias per daerah dinilai bisa menyebabkan munculnya gelombang kedua atau second wave virus corona di Indonesia. (cnnindonesia.com)
Pemerintah sendiri memang terus berupaya meyakinkan bahwa sebentar lagi wabah akan usai, kurva COVID-19 akan melandai. Padahal faktanya, jumlah kasus positif corona malah terus meningkat tajam. Apalagi dengan adanya sejumlah kebijakan yang selalu plin plan terlihat tak serius menangani wabah tentu akan memacu jumlah korban pandemi bertambah banyak.
Situasi ini tentu dirasa sangat ironi dan memprihatinkan. Kritikan maupun protes datang dari berbagai kalangan baik politisi, pengamat, aktivis, akademisi, dan praktisi. Mereka protes keras akan kebijakan rezim yang mencla-mencle dan terkesan abai terhadap tanggungjawab dalam urusan menjaga nyawa rakyat.
Apalagi bagi kalangan nakes yang selama ini selalu ada di garda terdepan dalam mempertaruhkan nyawa demi kesembuhan pasien corona yang terus bertambah setiap harinya. Wajar jika mereka mempertanyakan sikap para elit, dan layak mereka marah jika risiko penularan sengaja makin diperbesar.
Tampak sekali terlihat kian hari para elit pemegang kekuasaan kian tak peduli dan kehilangan rasa empati dan lepas tangan dari kewajiban mengurus rakyat terutama yang terdampak wabah. Pertanyaannya adalah bagaimana wabah pandemi corona ini akan berakhir, sementara kebijakan terus berubah tanpa ada kepastian dan keseriusan pemerintah.
Memang tidak bisa dipungkiri dampak pandemi ini sudah sangat menjadikan perekonomian dunia bahkan Indonesia sendiri anjlok. Roda ekonomi sudah nyaris lumpuh dan saatnya harus kembali diputar menurut pemerintah. Namun mengapa strategi jalan keluarnya seakan trial and error, dengan membiarkan rakyat kembali beraktivitas diluar sementara wabah masih melanda. Apakah ini konsep semacam “herd immunity” yang kemudian jadi pilihan jalan?
Jika meniru cara alami ini, maka semakin banyak orang yang terinfeksi dan sembuh, maka semakin banyak juga orang yang kebal. Lama-kelamaan, herd immunity akan terbentuk. Namun pertanyaanya, apakah hal tersebut setimpal dengan risiko kematian dan jumlah infeksi yang akan terjadi?.
Perlu diingat bahwa covid-19 adalah penyakit baru. Saat penyakit ini muncul, belum pernah ada orang yang mengalaminya. Lagipula, jika seluruh dunia sepakat untuk membentuk suatu herd immunity untuk covid-19 tanpa adanya vaksin, dibutuhkan waktu bertahun-tahun. Dalam jangka waktu itu, risiko terjadinya kematian dan keparahan infeksi tetap terus ada.
Jika herd immunity untuk covid-19 diterapkan di Indonesia, dampaknya akan sangat merugikan. Hal ini diungkapkan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI). Organisasi tersebut telah melakukan kajian untuk melihat skenario jika sekiranya negara ini benar-benar akan menerapkan konsep herd immunity untuk meredakan virus corona. (kompas.com)
Hasilnya bisa dibilang mengerikan karena dengan begitu, angka kematian akibat infeksi virus corona di Indonesia akan melonjak jauh. Alhasil siapa yang terdampak lagi, tentu rakyat yang jadi korban.
Apalagi jika menyerahkan penyelesaian wabah pada mekanisme seleksi alam, jelas merupakan sebesar-besarnya bentuk kezaliman. Demi alasan ekonomi, rakyat dibiarkan bebas tertular.
Maka adanya pandangan bahwa rezim hari ini sesungguhnya sedang berdiri di sisi kepentingan para pemilik bisnis besar yang notabene adalah pemilik modal global. Pandangan tersebut cukup beralasan, terlihat dengan membuka kembali aktivitas perekonomian yang sedang coba kembali diputar hakikatnya adalah roda ekonomi kapitalisme global.
Lihat saja siapa pemilik bisnis besar itu, bukan memakmurkan perekonomian rakyat yang di situasi wabah semestinya jadi tanggungan pemerintah. Akibat penerapan sistem kapitalis sekuler di negeri ini, para elit hanya mementingkan kepentingan para kapitalis ketimbang rakyat. Sistem ekonomi negeri dikelola dengan sistem kapitalis neoliberal hingga kekayaan alam milik rakyat pun hampir seluruhnya dikuasai korporasi lokal dan global.
Bahkan hajat hidup orang banyak pun habis dibisniskan oleh para elit pemangku kebijakan. Bisa dibayangkan dengan membuka ekonomi baru atau memutar roda ekonomi di tengah wabah, berarti berkonsekuensi mendorong masyarakat untuk masuk ke tengah kancah? tentu resikonya adalah dengan membiarkan rakyat keluar menantang virus yang lemah menjadi pihak yang kalah?
Sejatinya bagi peradaban kapitalisme, penerapan konsep yang berisiko mengancam keselamatan rakyat seperti ini memang sah-sah saja. Karena dalam peradaban ini semua aspek, termasuk aspek kemanusiaan harus tunduk pada kepentingan pemilik modal/kapitalis.
Itulah kenapa selama ini rakyat banyak selalu menjadi pihak yang dikorbankan. Bahkan di tengah krisis ini pun para kapitalis tetap berusaha meraup sebesar-besar keuntungan. Mulai dari industri farmasi, alat kesehatan, telekomunikasi, industri layanan berbasis online, hingga industri asuransi, infrastruktur, dan yang lainnya.
Bagaimana dengan negara? dalam sistem kapitalisme negara hanya bertindak sebagai fasilitator dari segala kepentingan para pemilik modal. Sebab dalam sistem kapitalis biaya politinya demokrasi itu sangat mahal, harus banyak modal untuk meraih kekuasaan. Tak heran jika penguasa akan selalu bergandengan tangan dengan para pengusaha, sponsor atau pemilik modal.
Tidak ada makan siang gratis dalam sistem ini, maka timbal baliknya adalah segala kebijakan yang dibuat para elit hanya untuk kepentingan kapitalis sedang rakyat dibiarkan tanpa pengurusan.
Pertanyaannya adalah akankah sistem ini terus dipertahankan? tidak cukupkah segala macam fakta yang terpampang nyata tentang kerusakan sistem kapitalisme menjadi bukti untuk segera berbenah? beralih pada sistem kehidupan yang akan membawa berkah untuk kebaikan dunia dan keberkahan akhirat? Sistem Islam yang pernah dicontohkan oleh Rasul Saw. dan para khalifah setelah kepemimpinan beliau.
Dalam Islam, urusan nyawa rakyat menjadi hal yang diutamakan. Bahkan keberadaan syariat dan negara dalam Islam (yakni khilafah) salah satunya berfungsi untuk penjagaan nyawa manusia dan penjamin kesejahteraan hidup mereka.
Wajar jika saat peradaban khilafah ini selama 13 abad lamanya tegak, umat manusia hidup dalam kedamaian sesungguhnya. Apa yang dibutuhkan manusia, mulai dari kebutuhan dasar termasuk kesehatan, kehormatan, keamanan, benar-benar dipenuhi negara. Negara betul-betul bertanggungjawab dalam mengatasi wabah pandemi hingga tuntas. Pemimpin yang terdepan dalam mengurus rakyatnya.
Sebab peradaban Islam tegak di atas keshalihan pemimpin, paradigma bahwa amanah kekuasaan tak hanya berdimensi dunia, tapi juga berdimensi akhirat. Maka bisa dipastikan, negara dan penguasanya akan sungguh-sungguh menunaikan kewajiban. Menjadi pengurus umat sekaligus menjadi penjaganya.
Sudah waktunya kembali pada sistem aturan yang Allah wajibkan, sistem syariah Islam yang membawa pada peradaban emas mercusuar dunia dengan kegemilangannya. Dengan penerapan sistem Islam, maka kesejahteraan dan kemakmuran akan dirasakan baik muslim maupun non muslim. Tidakkah kita menginginkannya kembali?
Wallahu a’lam bish shawab.
Oleh: Nelly, M.Pd
(Pengamat Kebijakan Publik, Pegiat Opini Medsos)