Baru saja dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA), Presiden Joko Widodo (Jokowi) merilis Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam Perpres ini pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk kelas I dan II. Sementara itu, untuk kelas III baru akan naik pada 2021 (Liputan6.com,13/05/2020).
Adapun besaran iuran untuk kelas I naik dari Rp. 80 ribu menjadi Rp. 150 ribu per bulan. Kelas II naik dari Rp. 51 ribu menjadi Rp. 100 ribu. Ini mulai berlaku 1 Juli 2020. Sedangkan bagi kelas III naik dari Rp. 25.500 menjadi Rp. 35 ribu per bulan. Mulai berlaku 2021.
Semakin Membebani
Sebelumnya, naiknya iuran kesehatan dalam Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan telah digugat oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI). Gugatan ini kemudian dikabulkan oleh MA.
Ada beberapa alasan MA membatalkan kenaikan iuran BPJS. Salah satunya adanya kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS.
Menurut MA, sebagaimana diutarakan oleh Ketua Majelis Supandi, kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS yang menyebabkan terjadinya defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan, tidak boleh dibebankan kepada masyarakat, dengan menaikkan Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres No. 75 Tahun 2019 (detik.com, 31/03/2020).
Namun, alih-alih mengevaluasi hasil keputusan MA, Jokowi kembali membuat Perpres baru yang menaikkan iuran kesehatan. Jelas hal ini membuat rakyat kecewa. Terlebih disaat pandemi, kenaikan iuran kesehatan ini semakin memberatkan rakyat yang sudah sulit.
Reaksi kecewa ditunjukkan KPCDI. Mereka menilai tarif BPJS Kesehatan masih memberatkan masyarakat. Bahkan Petrus Hariyanto, Sekjen KPCDI, mengatakan bahwa hal itu sebagai bentuk pemerintah mengakali keputusan MA. Lebih lanjut dikatakan, pihaknya akan mengajukan uji materi ke MA atas Perpres tersebut (detik.com, 13/05/2020).
Hal senada diungkapkan oleh Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mengatakan bahwa seharusnya iuran BPJS Kesehatan tak perlu naik. Terlebih di masa pandemi Virus Corona saat ini. Menurutnya, BPJS seharusnya bisa menutup beban tahun ini dengan iuran lama bahkan bisa memperoleh surplus. Sebagaimana dilansir dari Merdeka.com, Rabu (13/05/2020), dia menjelaskan bahwa semestinya Presiden melakukan evaluasi kepada seluruh anak buahnya yang terkait JKN, terutama evaluasi kinerja Direksi BPJS Kesehatan.
Di tengah masa pandemi dan lesunya ekonomi, rakyat sejatinya membutuhkan layanan kesehatan gratis dan berkualitas. Namun, mereka justru dihadiahkan kenaikan iuran kesehatan. Padahal, tidak sedikit masyarakat yang terdampak Covid 19, PHK terjadi dimana-mana akibat krisis ekonomi, harga BBM pun tak kunjung turun. Rakyat semakin terpukul dengan naiknya iuran kesehatan ini.
Jaminan kesehatan yang digadang-gadang dapat diberikan oleh BPJS, nyatanya justru malah membebani rakyat. Layanan kesehatan hanya bisa diperoleh ketika rakyat membayar iuran. Aspek untung rugi malah menjadi pertimbangannya. Padahal dana tersebut bersumber dari kantong rakyat. Inilah fakta negara kapitalis. Dimana negara melakukan hitung-hitungan terhadap rakyatnya sendiri. Negara tidak ubahnya seperti perusahaan, bukan hadir sebagai pengurus dan pelayan rakyat.
Jaminan Kesehatan Dalam Islam
Dalam pandangan Islam, negara adalah penanggungjawab atas urusan rakyat. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW: “Imam (penguasa) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya”. (HR al –Bukhari dari Abdullah bin Umar ra.) Karenanya, negara mesti memastikan kebutuhan rakyat terpenuhi termasuk dalam perkara kesehatan. Sebab kesehatan merupakan salah satu kebutuhan pokok. Maka mekanisme pemenuhannya langsung dipenuhi oleh negara.
Karena pelayanan kesehatan adalah tanggung jawab negara, maka rakyat tidak akan dibebankan dengan kewajiban membayar iuran sepeserpun. Menjadi kewajiban negara memberi jaminan kesehatan bagi rakyatnya. Maka, negara akan mengadakan rumah sakit, klinik, obat-obatan dan kebutuhan-kebutuhan kesehatan lainnya yang diperlukan untuk melaksanakan tanggungjawabnya.
Terkait pendanaannya ditunjang oleh sistem ekonomi yang komprehensif. Dimana negara akan mengoptimalkan pengelolaan kekayaan alam yang dimiliki. Kemudian hasilnya dapat dirasakan oleh rakyat salah satunya disalurkan untuk pembiayaan kesehatan.
Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, digambarkan bahwa Nabi Muhammad SAW pun (dalam kedudukan beliau sebagai kepala negara) pernah mendatangkan dokter untuk mengobati salah seorang warganya, yakni Ubay. Saat itu Muqauqis, Raja Mesir, menghadiahkan dokter untuk Nabi SAW. Beliau lalu menjadikan dokter itu sebagai dokter umum bagi seluruh warganya.
Diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari dan Muslim, dari Anas ra. bahwa serombongan orang dari Kabilah Urainah masuk Islam. Lalu mereka jatuh sakit di Madinah. Rasulullah SAW kemudian meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola Baitul Mal di dekat Quba’. Mereka dibolehkan minum air susunya sampai sembuh.
Kedua hadis di atas itu menjadi bukti bahwa pelayanan kesehatan merupakan kebutuhan dasar bagi seluruh rakyat. Maka wajib bagi negara memberikan pelayanan secara gratis tanpa diskriminasi.
Inilah gambaran jaminan kesehatan dalam Islam yang khas. Berbeda dengan pengaturan layanan kesehatan dalam sistem manapun di dunia hari ini. Yakni pertama, berlaku umum tanpa diskriminasi, tidak ada sistem kelas yang kemudian membedakan perolehan fasilitas kesehatan. Kedua, bebas biaya, rakyat tidak dibebankan untuk membayar iuran apapun. Ketiga, mudah diakses rakyat tanpa dipusingkan dengan prosedur administrasi yang ribet. Sistem jaminan kesehatan Islam ini akan terlaksana secara sempurna ketika Islam diterapkan secara komprehensif dalam kehidupan kita dengan negara sebagai pelaksananya.
Wallahua’lam
Oleh: Ahyani R. (Pemerhati Sosial)