Kematangan dan kesigapan pemerintah dalam menghadapi bencana rasanya seperti menelan pil pahit. Ketiadaan manajemen resiko di negara ini menyebabkan amburadulnya penanganan setiap bencana, nampak lambat hingga pemerintah daerah terkadang mengambil kebijakan langsung demi menyelamatkan jiwa warganya.
Kondisi pandemi Covid-19 ini luar biasa mengharu biru. Sebagian rakyat Indonesia habis dibuat terbelalak hingga terkesan tak percaya dengan kelabilan sang pemimpin negeri dan jajarannya dalam menentukan kebijakan.
Sejatinya, kepala negara bisa membuat rakyatnya tenang tidak panik serta memberikan kenyamanan disetiap kebijakannya, dan yang pasti memihak kepada kepentingan rakyat, dan meminggirkan kepentingan pribadi dan yang lainnya.
Coba kita renungkan saat diawal pandemi Covid-19 ini muncul, kasus masker, penanganan pasien positif corona pun menjadi masalah. Belum lagi kesediaan alat pelindung diri (APD) bagi para tenaga kesehatan (Nakes) yang akhirnya berujung pada banyaknya kematian dari mereka. Dan parahnya APD yang diproduksi bukan untuk kebutuhan dalam negeri malah dimpor demi keuntungan semata, otak kapitalisme telah mengalahkan hati nurani.
Sejak dua bulan berlalu pandemi, negeri ini bertambah masalah lagi. Sejak bulan Maret seluruh sekolah mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi dipindahkan pembelajarannya yaitu dirumah dengan metode daring. Begitu juga para pekerja melakukan tugasnya di rumah. Namun tidak untuk pekerja harian, toko serta restoran serta hotel. Sejak pemerintah melakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) maka secara otomatis usaha mereka sepi dan akhirnya tutup alias merugi, jangankan untuk memberikan bonus hari raya, untuk menggaji satu bulan saja mereka kesulitan. Sehingga banyak masyarakat yang tak berpenghasilan, kian hari kehidupannya semakin sulit hingga ada yang berujung kepada kematian akibat kelaparan. Dan sekali lagi pemerintah abai untuk mengurusinya, seakan tak peduli.
Lalu diinisiatif dengan bantuan sosial (Bansos) untuk masyarakat yang terdampak pandemi covid-19 namun sayangnya pemberian bansos itupun akhirnya ricuh karena pendataan yang tidak akurat. Bantuan dana bagi pekerja yang terkena dampak PHK juga menjadi korban janji palsu penguasa.
Belum lagi kebijakan PSBB yang setengah hati. Kebijakan mudik versus pulang kampung juga bagian dari kegaduhan pemimpin negeri ini, semuanya tak pernah serius untuk diurusi. Otak kapitalisme pemimpin negeri ini sungguh diluar nalar berpikir rakyat, social distancing yang diharapkan dapat memutus rantai penularan wabah ini dicederai dengan alasan kepentingan ekonomi. Karena sepinya transaksi perekonomian maka kebijakan PSBB direlaksasi alias dilonggarkan untuk membuka kembali semua aktifitas perekonomian. Akibatnya lebih parah lagi, warga yang seharusnya tetap menjaga jarak dan diam dirumah hilang arah, kini ramai-ramai mendatangi mal dan pusat perbelanjaan serta berkerumun di tempat keramaian, aksi ini berakhir dengan diselenggarakannya konser bersama melawan corona yang digagas BPIP dan MPR yang dihadiri oleh Presiden Jokowi. Parahnya, konser tersebut dilakukan di saat kaum muslimin sedang beribadah di malam lailatul qodr. Sungguh aktivitas yang sangat menyakiti hati rakyat juga para nakes yang berjuang menjadi pahlawan bagi ribuan pasien terpapar wabah corona.
Kurva landai yang mereka gadang-gadang sebagai penurunan korban Covid-19 ternyata dihasilkan bukan dari kajian ilmiah dilapangan yang akurat. Itu semua untuk apa? Untuk alasan relaksasi PSBB dan membangun kembali ekonomi yang sempat mati suri. Serta menentukan setiap kebijakan lainnya, tapi mereka lupa kebijakan yang mereka ambil hanya berdasar asas manfaat yaitu mengaktifkan kembali pergerakan ekonomi agar melesat dan menguntungkan, tapi rakyat dibiarkan sendiri dalam kondisi wabah yang itu sama artinya dengan kondisi herd immunity, rakyat tidak diurusi sebagaimana mestinya. Setiap kebijakan yang diambil pemerintah hanya berdasar issue yang berkembang di masyarakat tanpa kajian ilmiah serta bukt di lapangan.
Sungguh kebijakan demi kebijakan yang dikeluarkan selama pandemi ini menjadi cerminan kelabilan penguasa dalam mengurusi rakyatnya. Kegagalan komunikasi di dalam birokrasi pemerintahan menjadikan rakyat dibuat resah, ketakutan dan tak tentu nasibnya. Kegundahan menghampiri, kelaparan mengintai, kematian bisa menjadi kenyataan setiap saat.
Apakah mereka tidak takut tatkala Allah SWT meminta pertanggungjwabannya diakhirat kelak? dengan segala kepengurusannya di dunia saat mereka berkuasa. Sebagaimana hadits Nabi :
“Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urusi”. (HR Al-Bukhari dan Ahmad).
Islam hadir dengan tuntunan syariat bagi seluruh problematika kehidupannya. Islam mampu memberikan solusi yang sistematis tentang bagaimana saat penguasa mengurungi hajat rakyatnya baik primer maupun sekunder.
Kini, rakyat rindu dengan hadirnya pemimpin Islam yang sholeh serta menjadikan Al Quran dan Sunnah sebagai pijakannnya dan ia memimpin dengan kecintaan terhadap rakyatnya melebihi cinta kepada dirinya sendiri. Menjaga serta melindungi rakyatnya dengan aturan Allah SWT. Dan semua itu bisa terlaksana dengan penerapan Islam yang sempurna dibawah naungan kepemimpinan Islam.
Diah Winarni, S.Kom (Praktisi Pendidikan/Guru Tangerang Banten)