Pandemi covid-19 belum mau hengkang dari bumi pertiwi. Dampaknya yang dahsyat, menghantam kehidupan rakyat di segala lini, sehingga hampir saja mereka kehilangan kendali. Namun, di tengah kegalauan rakyat terkait jawaban kapan berakhirnya wabah di negeri tercinta, pemerintah justru menebar sensasi dengan kebijakan “flip-flop”.
Belum lama ini, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, semua moda transportasi direncanakan kembali beroperasi mulai Kamis (7/5/2020). Namun, dengan pembatasan jumlah dan penetapan kriteria penumpang. Salah satu kriteria yang bisa menggunakan moda transportasi adalah pejabat negara seperti anggota DPR dalam rangka melakukan tugas negara. (Kompas.com., 6/5/2020)
Wacana tersebut merupakan penjabaran Permenhub Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah dan Surat Edaran dari Menko Perekonomian. Inti dari penjabaran ini dimaksudkan memberikan kelonggaran bagi moda transportasi untuk kembali beroperasi. Kebijakan ini bertujuan agar perekonomian nasional tetap berjalan. Namun demikian, menurut Menhub, kebijakan ini bukan berarti mencabut larangan mudik untuk masyarakat. (Kompas.com., 6/5/2020)
Menanggapi ucapan Menhub, Dinas Perhubungan DKI Jakarta berencana akan menerapkan pembatasan jam operasional dan jumlah penumpang. Aturan tersebut berlaku pada bus antarkota dan antarprovinsi (AKAP) selama masa PSBB. Namun, aturan itu hanya diperuntukan bagi penumpang yang memenuhi kriteria dan memenuhi persyaratan perjalanan.
Hal senada dilakukan Bandara Soekarno Hatta Banten. Fakta bisa dilihat dengan kembali beroperasinya layanan penerbangan komersial secara domestik. Meski tetap berpedoman pada protokol kesehatan dan aturan kriteria penumpang di masa pandemi, kepadatan dan antrian yang mengular tentunya bertentangan dengan aturan social distancing dan PSBB.
Padahal sebelumnya, Plt. Menhub Luhut Binsar Panjaitan telah menerbitkan Permenhub Nomor 18 Tahun 2020 yang secara garis besar mengatur beberapa hal, yakni mengenai pengendalian transportasi untuk seluruh wilayah, pengendalian transportasi yang ditetapkan sebagai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dan pengendalian transportasi untuk kegiatan mudik tahun 2020. (CnbcIndonesia.com., 12/4/2020)
Tentunya aturan yang berubah-ubah membuat masyarakat semakin bingung membaca kebijakan pemerintah. Belum lagi pemerintah pusat dan daerah yang belum satu bahasa dalam menetapkan langkah praktis menangani bencana covid-19. Alih-alih ingin menekan angka korban pandemi covid-19, penguasa malah membuat masyarakat sulit memahami dan bimbang untuk mengambil aturannya sebagai panduan aktivitas sehari-hari.
Kebijakan inkonsisten dan tidak konsekuen ini dikhawatirkan bisa memperpanjang masa wabah berikut konsekuensinya. Jangan sampai tindakan gegabah penguasa menjadi bumerang bagi penduduknya. Karena inkonsistensi kebijakan bisa menjadi malapetaka yang terus mengintai keselamatan jiwa bangsa.
Ini juga sangat berbahaya bagi upaya memutus rantai sebaran virus covid-19. Langkah maju-mundur pemerintah justru bisa memicu gelombang kedua corona Sehingga, akan muncul cluster-cluster baru penyebaran covid-19 yang tidak diprediksi sebelumnya. Semua ini memberi celah bagi masyarakat untuk melanggar aturan PSBB. Kondisi seperti ini semakin diperparah karena adanya tumpang tindih kebijakan transportasi dengan kebijakan PSBB yang membuat masyarakat dan pemerintah daerah mengalami dilema.
Idealnya pembuatan dan penetapan kebijakan yang dilakukan Menteri Perhubungan dan jajarannya haruslah berorientasi pada tujuan utama yaitu memberantas sebaran covid-19. Sehingga strategi dan langkah yang diambil tepat sasaran dengan memperhatikan koordinasi dengan pihak yang kompeten dan mumpuni seperti epidemiolog, dokter, dan tenaga medis. Sumber daya yang dimiliki harus dioptimalkan agar memberi rasa aman dan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Dukungan politik secara menyeluruh juga sangat dibutuhkan guna menjalin kerja sama yang solid dalam menangani penyebaran virus covid-19.
Oleh karena itu, untuk menyiasati kesenjangan antara kebijakan pemerintah pusat, daerah dan masyarakat, informasi yang disebarkan harus satu pintu, valid dan amanah. Sayangnya, fenomena yang terjadi justru menggambarkan tidak adanya rencana strategis penanganan yang tepat dan negara terkesan absen dari tanggung jawab dalam penanganan wabah. Secara jelas hal ini terlihat dari pelonggaran PSBB yang dilakukan pemerintah dengan dalih menyelaraskan antara tuntutan pelayanan kesehatan dan kehidupan ekonomi masyarakat agar berjalan lebih baik. Pastinya, alasan tersebut justru bisa mengantar pada kesimpulan bahwa kebijakan negara didominasi oleh kepentingan korporasi.
Hal itu lumrah dalam sistem demokrasi kapitalis karena wataknya yang materialistis dan selalu ingin meraup keuntungan sebesar-besarnya. Kesejahteraan rakyat ada di nomor sekian karena bukan merupakan tujuan utama dari penguasa. Sehingga, kebijakan yang dilahirkan bisa disesuaikan keinginan para penguasa dan kapital yang menopangnya.
Sangat berbeda dengan sistem Islam yang menjadikan ketaqwaan kepada Allah Swt. sebagai dasar kepemimpinan. Sistem shahih ini akan melahirkan pemimpin yang shalih dan amanah. Sehingga undang-undang dan kebijakan yang lahir tidak akan melenceng dari Al Quran dan assunnah. Tentunya ketaatan pada hukum Allah Swt. secara otomatis akan membawa umat pada kebahagiaan dan kesejahteraan lahir dan batin. Rasulullah Saw. bersabda: “Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus”. (HR. Bukhari dan Ahmad).Wallahualam
ANGGUN PERMATASARI